Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami
Selasa, 18 Juni 2024 - 19:08 WIB
Susanti (2018) menegaskan bahwa UU PKDRT belum mengakomodir kepentingan perempuan atau belum berperspektif korban. Hal ini disebabkan Sistem Peradilan Pidana bergantung pada tekanan normatif untuk mengendalikan kejahatan melalui mekanisme normatif dari pengawasan kejahatan yang bekerja secara resmi untuk membawa pelaku perilaku yang dilarang sebagai seseorang yang tidak konsisten dengan norma-norma hukum, sehingga apapun alasannya, pelaku harus dihukum (Flavin, 2001). Dalam kasus Mojokerto, istri yang membunuh suaminya, meskipun ia mengakui perbuatannya, namun sang korban (suami) juga diduga memiliki kontribusi dengan keterlibatannya dalam perjudian online yang memicu emosi sang istri. Dalam hal ini, sang suami dapat dikategorikan sebagai victim with minor guilt, provocative victim atau participating victim (Mendelsohn & Wolfgang, 1976).
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang kurang memperhatikan kebutuhan serta perlindungan perempuan korban KDRT menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus KDRT (Situmoran & Susnati, 2022). Aturan hukum yang melindungi perempuan masih rapuh (Putra, dkk., 2018). Hal ini selaras dengan temuan Sette (2023) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialami adalah ketidakpercayaan mereka pada sistem peradilan. Menurut Wolfgang (1957;1967), victim precipitation umum ditemukan pada kasus pembunuhan antara pasangan intim (intimate partner homicides/IPHs), terutama yang melibatkan perempuan sebagai pelaku dan laki-laki sebagai korban (Suonpaa & Savolainen, 2019). Dengan demikian, pembunuhan antara pasangan intim yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki cenderung melibatkan peran korban (laki-laki), hingga akhirnya perempuan mengambil tindakan untuk membunuhnya.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang kurang memperhatikan kebutuhan serta perlindungan perempuan korban KDRT menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus KDRT (Situmoran & Susnati, 2022). Aturan hukum yang melindungi perempuan masih rapuh (Putra, dkk., 2018). Hal ini selaras dengan temuan Sette (2023) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialami adalah ketidakpercayaan mereka pada sistem peradilan. Menurut Wolfgang (1957;1967), victim precipitation umum ditemukan pada kasus pembunuhan antara pasangan intim (intimate partner homicides/IPHs), terutama yang melibatkan perempuan sebagai pelaku dan laki-laki sebagai korban (Suonpaa & Savolainen, 2019). Dengan demikian, pembunuhan antara pasangan intim yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki cenderung melibatkan peran korban (laki-laki), hingga akhirnya perempuan mengambil tindakan untuk membunuhnya.
Kesimpulan
Secara umum, perspektif kriminologi feminis dalam tulisan ini menekankan pentingnya memahami alasan di balik tindakan kejam seorang istri yang membunuh suaminya, seperti dalam kasus di Mojokerto. Pendekatan ini berupaya untuk menganalisis permasalahan dari sudut pandang korban, dalam hal ini adalah sang istri. Kriminologi feminis tidak sekedar melihat kejahatan yang terjadi, tetapi juga berusaha menggali latar belakang dan factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tindakan kejahatan tersebut. Meskipun sang istri mengaku bersalah, perspektif ini mengedepankan konsep 'Blurred Boundaries', yang memandang adanya tumpeng tindih antara posisi korban dan pelaku. Dengan demikian, keadilan tidak hanya ditentukan oleh definisi normatif pelanggaran huku, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman dan kondisi korban secara komprehensif. Kriminologi feminis percaya bahwa penghukuman harus disesuaikan dengan konteks dan melibatkan pemahaman terhadap konsep ‘victim precipitation’ yang mengakui adanya peran korban dalam memicu terjadinya kejahatan.(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda