Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami

Selasa, 18 Juni 2024 - 19:08 WIB

Catatan Hukum Kita dalam Perspektif Kriminologi Feminis

Perspektif kriminologi feminis menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam mengkaji kasus istri bunuh suami. Kriminologi feminis berfokus pada isu-isu yang menyoroti perbedaan antara pola kejahatan dan viktimisasi laki-laki dan perempuan (Walklate, 2004). Dengan menerapkan perspektif gender dalam pembahasan kejahatan dan viktimisasi, kriminologi feminis berupaya membuat korban tersembunyi, seperti KDRT menjadi terlihat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa terdapat implikasi gender dalam konteks KDRT. Dengan demikian, kriminologi feminis memberikan perspektif yang lebih komprehensif dalam memahami dinamika KDRT, serta mengupayakan keadilan bagi korban yang sebelumnya tersembunyi atau terpinggirkan. Dalam hal ini, sudut pandang penulis adalah istri sebagai korban yang menjadi pelaku. Berikut ini adalah gambaran terkait istri yang mengalami KDRT yang dituduhkan membunuh suaminya.

Gambar 1.

Perempuan Korban KDRT yang menjadi Pelaku Pembunuhan



Istri yang membunuh suaminya merupakan suatu kejahatan yang khas dalam konteks KDRT. Kekerasan yang dilakukan oleh istri sebagai pelaku menurut hukum kita sering dilatar belakangi oleh adanya KDRT, seperti penelantaran ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan psikis yang dialami sebelumnya, seperti yang terjadi pada kasus di Mojokerto. KDRT menunjukkan bahwa tindakan bunuh suami ini dalam konteks domestik yang berkelanjutan.

Perspektif kriminologi feminis menunjukkan kasus tersebut bahwa perempuan (istri) melakukan pembunuhan karena pada dasarnya ia adalah korban KDRT yang dilakukan suaminya (Renzetti, 2013). Dalam hal ini, korban (suami) ikut andil terjadinya pembunuhan oleh istri karena tindakan kekerasan yang dilakukannya sebelumnya. Wolfgang (1957) menyebutkan korban secara langsung berperan dalam kejahatan. Dengan kata lain, tindakan membunuh tersebut merupakan pelanggaran hukum, namun kriminologi feminis memandang dari sudut pandang yang berbeda, berusaha memahami alasan atau latar belakang yang mendorong istri melakukan tindakan tersebut.

Dalam kasus di Mojekerto, perempuan pelaku pembunuhan di dalam keluarga, seperti seorang istri yang membunuh suaminya, tidak dapat dilepaskan dari peran korban (suami) yang turut berkontribusi terhadap kejahatan tersebut, seperti kebiasaan suami yang bermain judi yang dapat menjadi alasan ekonomi bagi istri untuk melakukan tindakan ekstrim tersebut. Namun, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi viktimisasi istri (Susanti, 2020), antara lain: 1) Kekerasan, budaya dan sistem patriarki yang mendominasi; 2) Hubungan interpersonal yang tidak sehat; 3) Karakteristik individu dan temperamen dari pelaku kekerasan; 4) Peran gender yang timpang; serta 5) Kekerasan dalam keluarga yang menjadi pola turun-temurun.

Perspektif kriminologi feminis hadir tidak untuk membela perempuan yang melakukan kesalahan (woman offender), melainkan untuk memahami posisi perempuan sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan secara lebih komprehensif. Dengan demikian, kriminologi feminis berupaya menangkap kompleksitas pengalaman perempuan yang sering terjebak dalam siklus kekerasan dan viktimisasi, yang kemudian dapat memicu perilaku melanggar hukum. Feminis hadir agar suara perempuan dapat terdengar dan didengarkan sehingga perempuan mendapatkan keadilan gender.

Konsep Blurred Boundaries dalam kriminologi feminis berkontribusi dalam menunjukkan adanya tumpang tindih dalam melihat posisi perempuan, sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan (Walklate, 2004). Konsep ini menunjukkan bahwa pola viktimisasi yang dialami perempuan pada masa lalu dapat memunculkan perilaku pelanggaran kekerasan yang dilakukan perempuan di masa depan. Hal ini selaras dengan kasus istri yang membunuh suaminya, di mana pengalaman menjadi korban KDRT sebelumnya dapat menjadi pemicu tindakan kekerasan balik yang dilakukan.

Mengenai penghukuman, perspektif kriminologi feminis, fokus utamanya bukan mengapa orang melakukan kejahatan, melainkan pada bagaimana proses kejahatan terjadi dan bagaimana agen penegakan hukum serta sistem peradilan pidana mendefinisikan suatu perilaku sebagai kejahatan (latar belakang pendefinisian) (Flavin 2001). Terkait dengan konsep victim precipitation dalam kasus KDRT (Susanti, 2018), menyebutkan bahwa tidak tepat jika penghukuman terhadap kasus pembunuhan menggunakan hukuman yang sama untuk setiap kasus (KUHP). Diperlukan alternatif penyelesaian masalah, seperti bentuk penghukuman yang berbeda dan disesuaikan dengan konteksnya, misalnya ketika pelakunya terlebih dahulu adalah korban KDRT.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More