Usaha Padat Karya yang Berdaya Saing
Senin, 20 Juli 2020 - 06:29 WIB
Hasil kajian SMI menyebutkan bahwa secara nasional, Informasi dan komunikasi menjadi sektor unggulan bagi seluruh provinsi di Jawa. Adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi mobilitas penduduk dan kontak secara langsung menyebabkan permintaan terhadap sektor telekomunikasi mengalami peningkatan.
Permintaan terhadap layanan data, telekomunikasi dan internet diperkirakan tetap tumbuh sehubungan beralihnya aktivitas masyarakat dari kantor, pusat perbelanjaan, dan sekolah ke rumah masing-masing. Kebiasaan tersebut diperkirakan berlanjut pada masa new normal sehingga dapat mendukung kinerja sektor telekomunikasi.
Berbagai sektor usaha dipaksa untuk terus beradaptasi di masa sulit. Adaptasi yang lebih maju pada saat sulit adalah dengan melakukan berbagai inovasi, di mana sektor usaha melakukan suatu tindakan kreatif yang sistematis dan terencana dengan proyeksi masa depan. (Baca juga: 10 Barang Wajib Dibawa Saat Adaptasi New Normal)
Salah satu bentuk inovasi bagi dunia usaha yang dapat dilakukan di masa pandemi ini ialah “bersahabat” dengan teknologi. Para pelaku usaha kini harus berani manfaatkan penjualan secara daring, sebab terhubung dengan ekosistem digital akan memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk usaha yang diperdagangkan. Selain inovasi melalui teknologi, para pelaku usaha kini juga perlu lebih adaptif dalam menyikapi pandemi. Adaptif dalam hal ini ialah mengalihkan produksi bisnisnya ke berbagai barang yang diperlukan konsumen saat ini. Digitalisasi dan bisnis yang adaptif merupakan dua hal penting yang kini dapat menjadi senjata bagi pelaku usaha untuk mampu bertahan selama masa pandemi.
Sebagai upaya mendukung sisi suplai, kehadiran pemerintah melalui bantuan modal dan insentif pajak dapat menjadi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mampu bertahan selama pandemi. Berdasarkan perincian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah menyiapkan dana subsidi bunga bagi UMKM, dunia usaha, dan masyarakat sebesar Rp34,12 triliun, untuk insentif perpajakan kepada UMKM, dunia usaha dan masyarakat sebesar Rp123,01 triliun, dan untuk penjaminan untuk kredit modal kerja baru bagi UMKM sebesar Rp6 triliun.
Selain mendorong sisi suplai, saat ini pemerintah juga perlu mendorong sisi permintaan dengan mempertahankan daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat konsumsi rumah tangga melemah signifikan menjadi 2,84% pada kuartal I/2020. Angka tersebut turun drastis dibandingkan dengan kuartal I/2019 yang mencapai 5,02%. (Baca juga: 5 Orang Positif Covid-19, Lawan Petugas Saat Akan Dievakuasi)
Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa angka inflasi terpantau terus mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir selama masa pandemi. Hingga Juni, BPS mencatat bahwa inflasi sebesar 0,18% (month-to-month) pada Juni 2020, di mana angka tersebut lebih rendah dari Juni tahun sebelumnya, yakni 0,55%.
Perlambatan transaksi ekonomi telah terasa sejak Maret lalu dan belum membaik hingga Juni. Lesunya tingkat konsumsi ini disebabkan oleh terbatasnya mobilitas masyarakat. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, jumlah PHK perlahan terus bertambah.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK mencapai 1,7 juta orang hingga 8 Juli 2020. Hilangnya pemasukan masyarakat, otomatis menggerus daya beli dan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Melalui PEN, dukungan anggaran sebesar Rp172,1 triliun telah digulirkan pemerintah untuk mendorong sisi konsumsi, melalui subsidi atau bantuan sosial.
Bagaimana Fokus Ekonomi Indonesia?
Permintaan terhadap layanan data, telekomunikasi dan internet diperkirakan tetap tumbuh sehubungan beralihnya aktivitas masyarakat dari kantor, pusat perbelanjaan, dan sekolah ke rumah masing-masing. Kebiasaan tersebut diperkirakan berlanjut pada masa new normal sehingga dapat mendukung kinerja sektor telekomunikasi.
Berbagai sektor usaha dipaksa untuk terus beradaptasi di masa sulit. Adaptasi yang lebih maju pada saat sulit adalah dengan melakukan berbagai inovasi, di mana sektor usaha melakukan suatu tindakan kreatif yang sistematis dan terencana dengan proyeksi masa depan. (Baca juga: 10 Barang Wajib Dibawa Saat Adaptasi New Normal)
Salah satu bentuk inovasi bagi dunia usaha yang dapat dilakukan di masa pandemi ini ialah “bersahabat” dengan teknologi. Para pelaku usaha kini harus berani manfaatkan penjualan secara daring, sebab terhubung dengan ekosistem digital akan memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk usaha yang diperdagangkan. Selain inovasi melalui teknologi, para pelaku usaha kini juga perlu lebih adaptif dalam menyikapi pandemi. Adaptif dalam hal ini ialah mengalihkan produksi bisnisnya ke berbagai barang yang diperlukan konsumen saat ini. Digitalisasi dan bisnis yang adaptif merupakan dua hal penting yang kini dapat menjadi senjata bagi pelaku usaha untuk mampu bertahan selama masa pandemi.
Sebagai upaya mendukung sisi suplai, kehadiran pemerintah melalui bantuan modal dan insentif pajak dapat menjadi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mampu bertahan selama pandemi. Berdasarkan perincian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah menyiapkan dana subsidi bunga bagi UMKM, dunia usaha, dan masyarakat sebesar Rp34,12 triliun, untuk insentif perpajakan kepada UMKM, dunia usaha dan masyarakat sebesar Rp123,01 triliun, dan untuk penjaminan untuk kredit modal kerja baru bagi UMKM sebesar Rp6 triliun.
Selain mendorong sisi suplai, saat ini pemerintah juga perlu mendorong sisi permintaan dengan mempertahankan daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat konsumsi rumah tangga melemah signifikan menjadi 2,84% pada kuartal I/2020. Angka tersebut turun drastis dibandingkan dengan kuartal I/2019 yang mencapai 5,02%. (Baca juga: 5 Orang Positif Covid-19, Lawan Petugas Saat Akan Dievakuasi)
Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa angka inflasi terpantau terus mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir selama masa pandemi. Hingga Juni, BPS mencatat bahwa inflasi sebesar 0,18% (month-to-month) pada Juni 2020, di mana angka tersebut lebih rendah dari Juni tahun sebelumnya, yakni 0,55%.
Perlambatan transaksi ekonomi telah terasa sejak Maret lalu dan belum membaik hingga Juni. Lesunya tingkat konsumsi ini disebabkan oleh terbatasnya mobilitas masyarakat. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, jumlah PHK perlahan terus bertambah.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK mencapai 1,7 juta orang hingga 8 Juli 2020. Hilangnya pemasukan masyarakat, otomatis menggerus daya beli dan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Melalui PEN, dukungan anggaran sebesar Rp172,1 triliun telah digulirkan pemerintah untuk mendorong sisi konsumsi, melalui subsidi atau bantuan sosial.
Bagaimana Fokus Ekonomi Indonesia?
tulis komentar anda