Perspektif Kesadaran Kolektif HKSN

Rabu, 19 Desember 2018 - 08:30 WIB
Perspektif Kesadaran Kolektif HKSN
Perspektif Kesadaran Kolektif HKSN
A A A
Koesworo SetiawanDosen FISIP Universitas Djuanda Bogor

PADA 20 Desember esok, kita memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang secara nasional dipusatkan di Provinsi Gorontalo. Peringatan HKSN tidak lepas dari konteks sejarah, khususnya perjuangan mengusir Belanda, periode 1945–1948.

Pada periode pascakemerdekaan ini, masing-masing elemen bangsa memainkan peran sesuai kedudukan sosialnya, namun berintegrasi, saling mengisi, dan mengesampingkan segala perbedaan. Pimpinan politik berunding di meja diplomasi, militer melancarkan perang gerilya, dan rakyat memasok logistik untuk para pejuang. Tujuan mereka satu: mengusir penjajah.

Inilah nilai-nilai kesetiakawanan sosial yang menjadi roh dari peringatan HKSN. Esensinya adalah kepekaan sosial yang diwujudkan dalam karakter peduli, berbagi dalam suasana penuh toleransi.

Lepas dari aspek seremoninya, peringatan HKSN 2018 penting dimaknai, baik terkait kondisi umum kehidupan berbangsa kita, juga bila dikaitkan dengan momen pemilihan presiden dan wakil presiden pada April 2019.

Secara historis, kolektivitas dan sinergitas antarelemen bangsa di Indonesia untuk mencapai tujuan bersama, punya akar sejarah sangat tua. Kolonialisme memengaruhi proses transformasi semangat kekitaan tersebut dari ranah sosial ke perjuangan politik, dari skala lokal menjadi nasional.

Kekuatan kolonial yang dipersepsikan sebagai musuh bersama, telah merekatkan ikatan sosial. Mengutip sosiolog Prancis Emile Durkheim dalam The Division of Labour in Society (1893) hal ini disebut sebagai kesadaran bersama (collective conscience atau collective consciousness) dalam konteks cita-cita bangsa merdeka.

Kemerdekaan adalah satu-satunya jalan mengembalikan harga diri dan kemuliaan. Soekarno menanamkan kesadaran kolektif dengan frasa: kemerdekaan sebagai “jembatan emas”– konstruksi imajiner tentang kemuliaan masa depan.

Dengan diksi itu, Soekarno sanggup menggenerator mental bangsa Indonesia kala itu menjadi manusia efektif (effective people)—meminjam istilah Stephen R Covey (2010), yakni masyarakat yang berorientasi pada tercapainya kepentingan bersama.

Meski pada satu sisi mereka berangkat dari perbedaan (suku, ras, agama, status sosial, aliran politik dan sebagainya), mereka sanggup mereduksinya. Perbedaan identitas sosial ini menjadi katalisator satu bagi yang lain demi mencapai tujuan bersama.

Kemajemukan tidak menjadi sekat, melainkan justru menjadi kanal yang memfasilitasi, menghubungkan, dan mentransformasikan semangat nasionalisme. Keberagaman menjadi ladang subur bagi benih persatuan. Inilah sejatinya civic virtue bangsa ini.

Spirit kolektivitas dan sinergitas mengajarkan bahwa keseluruhan lebih besar dan lebih bermakna daripada bagian-bagian. Kuatnya kebersamaan membuat kolektivitas tidak hanya bersemayam pada kesadaran, namun juga mengejawantah dalam tindakan.

Sayangnya, sejalan dengan tantangan yang makin kompleks pascakemerdekaan, justru bangsa ini seperti kehilangan kesadaran kolektifnya. Era post-colonial, kita telah menempuh ijtihad politik dalam usaha mencapai tatanan berbangsa yang dianggap paling baik.

Melalui berbagai episode kelam dan getir, sekitar dua dekade terakhir kita sepakat menempuh jalur demokrasi. Bagi para pengusungnya, demokrasi diyakini akan memenuhi janjinya, yakni kebebasan, kemakmuran, dan keadilan.

Tapi, hingga hari ini, janji-janji itu sulit diwujudkan. Kolektivitas antara pemimpin dan rakyat di era kolonial, kini menguap entah ke mana. Dinding dan sekat kini ada di mana-mana, sebagian tumbuh tinggi dan tebal.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, 19 kepala daerah menjadi tersangka pada Januari–Juli 2018—15 terjaring operasi tangkap tangan. Sepanjang Januari–Mei 2018, sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka korupsi.

Perkembangan indeks persepsi korupsi Indonesia juga belum menggembirakan. Pada 2017, skor Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara. Hasil ini turun enam level dari 2016, di peringkat 90. Korupsi adalah pengkhianatan nyata terhadap rakyat sebagai pemberi mandat.

Dalam birokrasi dan sistem hukum yang korup, rakyat yang miskin akses menjadi mata rantai paling lemah. Rakyat menjadi korban ketidakadilan, baik dari aspek politik, hukum, maupun ekonomi.

Korupsi juga menunjukkan keterputusan (disconnection) ikatan atau kontrak sosial dan moral antara elite dan massa, sekaligus menunjukkan adanya masalah serius pada sistem demokrasi itu sendiri.

Partai politik tidak sanggup menjalankan fungsinya dalam proses perekrutan dan promosi kader partai. Elite sebagai pejabat publik, minus kecakapan dan kualitas moral. Masalah kualitas pejabat publik juga berimbas pada proses politik dalam skala lebih besar.

Periode kampanye yang berlangsung sejak akhir September lalu, jauh dari semangat edukasi politik kepada rakyat. Alih-alih mendidik rakyat dan adu program, narasi politik yang berkembang lebih banyak bernuansa permusuhan, kebencian, dan antidialog. Elite lebih suka diksi misuh (memaki) ketimbang menggugah kesadaran dan menebarkan kesejukan.

Bila elite bertindak kasar, di level akar rumput akan lebih ekstrem. Dua orang di Madura adu jotos diduga karena beda pilihan politik hingga salah satunya tewas. Pelanggaran kampanye marak terjadi. Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) menemukan 1.200-an pelanggaran selama musim kampanye Pilpres 2019.

Tantangan serius terhadap bangsa ini tidak hanya dari dalam negeri. Dari luar, ancaman berupa penetrasi paham transnasional seperti radikalisme, liberalisme, dan sekularisme. Tiga paham ini mengusung watak destruktif dan eksploitatif.

Menghadapi berbagai tantangan di atas, penting bagi kita untuk merevitalisasi atau bahkan merestorasi kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Banyak cara untuk itu. Salah satunya dengan menemukan, menumbuhkan, dan mentransformasikan civic virtue di atas, baik dalam kehidupan keseharian maupun kebangsaan yang berkeadaban.

Inilah pesan moral yang bisa ditangkap dari peringatan HKSN tahun 2018. Gorontalo menyimpan segudang kearifan lokal. Masyarakat Gorontalo mengenal ajaran mohuyula. Ungkapan ini memuat kualitas civic virtue seperti gotong-royong, kerja sama, saling membantu, dan mengesampingkan ego demi tujuan yang lebih besar dan mulia.

Gorontalo juga garda depan menegakkan NKRI. Dipelopori Nani Wartabone, Gorontalo mengibarkan Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya, 23 Januari 1942 sebelum Indonesia lahir. Dari “Bumi Serambi Madinah” semangat kolektif ini diharapkan mengalir ke seluruh elemen bangsa.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4098 seconds (0.1#10.140)