Zakat dan Kohesi Sosial
A
A
A
Andar Nubowo
Presiden Direktur Lembaga Amil Zakat Infaq
dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu),
Research Fellow di Rajaratnam School of International
Studies (RSIS) Nanyang Technological University Singapore
DALAM beberapa tahun terakhir, kohesi sosial di antara sesama anak bangsa Indonesia tampak mengalami peluruhan. Identitas kebangsaan yang terangkum dalam seruan patriotik ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” nyaring terdengar, tapi minus pemaknaan, penghayatan, dan pengamalan yang dalam dan praksis.
Hal ini disebabkan oleh—tentu saja, multifaktor; globalisasi, invensi teknologi, dan sosial media, dan masalah sosial politik yang rumit. Selain itu, faktor ekonomi yang timpang— terlihat dari indeks gini nasional yang lebar, makin membuat temali sosial getas dan mudah putus.
Temali sosial dan kebangsaan kita tidak boleh getas dan putus. Kita perlu menyelamatkan kembali jiwa-jiwa anak bangsa yang tidak lagi terikat satu sama lain dalam ”komitmen kebangsaan”. Sebab, komitmen itu adalah ”perjanjian agung” sekaligus titik temu (common platform) yang menjadi fondasi bagi tegaknya sebuah bangsa. Ketika ketimpangan ekonomi melipatgandakan angka kemiskinan (11% atau 28 juta jiwa), yang terjadi bukan saja proses peluruhan, tapi ledakan konflik di tengah masyarakat.
*** Dalam tradisi fikih klasik, dikenal dua terma thaharah dan zakah. Terma pertama, thaharah, secara syari’ merujuk pada aktivitas muslim untuk membersihkan diri dari kotorankotoran lahiriah (hadas besar dan kecil) dan berdimensi ritual- individual. Sedangkan zakat lebih merujuk kepada jenis aktivitas penyucian diri secara spiritual, gaib, tapi berdampak luas. Dalam tradisi sufisme Islam, zakat senafas dengantazkiyat al-nufus, pembersihan atau penyucian jiwa.
Sebagaimana denganthaharah,tazkiyat al-nufus berbeda dengan konsep zakat yang berdimensi praktis sosial ekonomi yang berdampak luas. Kendati demikian, dalam zakat terdapat dimensi tazkiyat al-nufus karena harta benda yang wajib dikeluarkan, seyogianya, ditujukan untuk pembersihan jiwa(tazkiyat al-nufus) sekaligus membersihkannya dari unsur haram. Di antara lima pilar Islam lain, zakat adalah yang paling kurang populer. Dibandingkan haji atau umrah, jumlah pembayar zakat harta masih jauh di bawah.
Dalam laporan Baznas (2015), tercatat baru ratusan ribu saja pembayar zakat yang tercatat di lembaga resmi dari 200-an juta muslim Indonesia. Selain itu, terdapat diskrepansi besar antara angka potensi zakat yang mencapai Rp217 triliun (Baznas, 2010) dan Rp280 triliun (Lazismu, 2017) dengan penggalian dan penghimpunannya: Rp4 triliun pada 2015, dan Rp5 triliun pada 2016. Kendala lain, sebagai bangsa Indonesia, umat Islam merasa memiliki kewajiban ganda berupa zakat dan pajak. Pada praktiknya, sebagian besar umat Islam masih mengutamakan bayar pajak daripada zakat harta, zakat perusahaan, dan sebagainya.
Meski hal ini bukan berarti bahwa umat Islam Indonesia tidak membayar zakat, karena ajaran dan praktik zakat—setidaknya zakat fitrah, telah dilakukan dan menjadi napas kehidupan seorang muslim. Kendati demikian, diskrepansi itu menandakan bahwa praktik berzakat di Indonesia masih bersifat personal dan konsumtif (disalurkan secara mandiri kepada mustahiq), tidak secara impersonal (dipercayakan kepada lembaga amil resmi).
Karena itu, penyaluran zakat hanya sebatas aksi karitatif konsumtif yang tidak berdampak luas dan berkelanjutan sehingga dampak liberasi dan transformasi sosialnya minim. Di lain pihak, diakui, Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) masih berjalan sendiri-sendiri dalam penggalian dan pendistribusian sehingga kerap terjadi benturan dan tumpang tindih (overlapping). Institusi zakat juga belum dibekali dengan suprasutruktur dan infrastruktur kelembagaan dan SDM yang memadai dan profesional sehingga tingkat kepercayaan publik kepada institusi zakat resmi belum optimal.
Kendala kultural dan struktural tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan juridis-formal, yakni pemberlakuan UU No 23 Tahun 2011, di mana tata kelola zakat diatur oleh negara untuk pemaksimalan penghimpunan, pengelolaan pendistribusian secara efektif dan efisien untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat dan bangsa. Dalam UU tersebut ditegaskan, hanya institusi resmi BAZ dan LAZ yang berhak menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan dana publik zakat.
Pengawasan terhadap BAZ dan LAZ melalui audit keuangan dan syariah juga dapat menjamin terciptanya good governance yang transparan, akuntabel, dan profesional. Harapannya, tidak lama lagi, zakat di Indonesia bisa diakui sebagai pengurang pajak (PP), bukan sekadar pengurang kena pajak (PKP). Hal paling penting adalah tumbuh meningkatnya kepercayaan publik kepada institusi atau amil zakat resmi.
*** Sebagai instrumen liberasi, transformasi dan humanisasi, zakat memiliki posisi strategis. Ketiganya menjadi basis konseptual dan paradigmatik bahwa zakat harus dikelola untuk membebaskan, mengubah, dan memanusiakan manusia. Untuk itu, dana zakat niscaya dikelola melalui perumusan program yang berdampak luas, produktif dan berkelanjutan. Kadang, amil atau institusi zakat masih terjebak kepada pemahaman klasik tentang delapan golongan penerima manfaat (asnaf/beneficiaries)—sebagaimana termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 60.
Saat ini mengingat kompleksitas persoalan umat diperlukan pemahaman progresif atas teks primer tersebut. Menyantuni fakir miskin, saat ini tidak cukup memberi mereka sembako dan sejumlah uang. Dalam konteks modern, fakir dan miskin dibedakan melalui agregat atau indeks kemiskinan, misalnya ketiadaan akses dasar air, listrik, dan makanan pokok atau penghasilan di bawah 2 dolar/hari. Karena itu, program percepatan penanggulangan kemiskinan perlu disusun berdasarkan kebutuhan pemenuhan akses dasar tersebut.
Karena itu, institusi zakat perlu mengembangkan program tersebut dengan merujuk kepada program pembangunan nasional atau Sustainable Development Goals (SDG’s) yang selaras dalil Alquran surat at-Taubah ayat 60. Dalam konstruksi pemahaman dan tafsir progresif ini, Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) memperluas acuan dan cakupan program yang terukur secara objektif. Di tingkat nasional, Lazismu meratifikasi 13 isu yang direkomendasikan PP Muhammadiyah, antara lain pemberantasan korupsi, narkoba, perlindungan buruh migran, kaum difabel, juga mitigasi bencana.
Dalam konteks global, Lazismu telah meratifikasi 17 tema SDG’s seperti energi terbarukan, kesehatan, ekonomi, juga lingkungan hidup. Program Klinik Apung Said Tuhulely untuk warga Kepulauan Maluku dan program Indonesia Terang, elektrifikasi 1.000 rumah miskin di Timor Tengah Selatan NTT merupakan ikhtiar untuk memperkuateratkan temali kasih dan kohesi sosial sesama anak bangsa. Wallahu a’lam bishawab.
Presiden Direktur Lembaga Amil Zakat Infaq
dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu),
Research Fellow di Rajaratnam School of International
Studies (RSIS) Nanyang Technological University Singapore
DALAM beberapa tahun terakhir, kohesi sosial di antara sesama anak bangsa Indonesia tampak mengalami peluruhan. Identitas kebangsaan yang terangkum dalam seruan patriotik ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” nyaring terdengar, tapi minus pemaknaan, penghayatan, dan pengamalan yang dalam dan praksis.
Hal ini disebabkan oleh—tentu saja, multifaktor; globalisasi, invensi teknologi, dan sosial media, dan masalah sosial politik yang rumit. Selain itu, faktor ekonomi yang timpang— terlihat dari indeks gini nasional yang lebar, makin membuat temali sosial getas dan mudah putus.
Temali sosial dan kebangsaan kita tidak boleh getas dan putus. Kita perlu menyelamatkan kembali jiwa-jiwa anak bangsa yang tidak lagi terikat satu sama lain dalam ”komitmen kebangsaan”. Sebab, komitmen itu adalah ”perjanjian agung” sekaligus titik temu (common platform) yang menjadi fondasi bagi tegaknya sebuah bangsa. Ketika ketimpangan ekonomi melipatgandakan angka kemiskinan (11% atau 28 juta jiwa), yang terjadi bukan saja proses peluruhan, tapi ledakan konflik di tengah masyarakat.
*** Dalam tradisi fikih klasik, dikenal dua terma thaharah dan zakah. Terma pertama, thaharah, secara syari’ merujuk pada aktivitas muslim untuk membersihkan diri dari kotorankotoran lahiriah (hadas besar dan kecil) dan berdimensi ritual- individual. Sedangkan zakat lebih merujuk kepada jenis aktivitas penyucian diri secara spiritual, gaib, tapi berdampak luas. Dalam tradisi sufisme Islam, zakat senafas dengantazkiyat al-nufus, pembersihan atau penyucian jiwa.
Sebagaimana denganthaharah,tazkiyat al-nufus berbeda dengan konsep zakat yang berdimensi praktis sosial ekonomi yang berdampak luas. Kendati demikian, dalam zakat terdapat dimensi tazkiyat al-nufus karena harta benda yang wajib dikeluarkan, seyogianya, ditujukan untuk pembersihan jiwa(tazkiyat al-nufus) sekaligus membersihkannya dari unsur haram. Di antara lima pilar Islam lain, zakat adalah yang paling kurang populer. Dibandingkan haji atau umrah, jumlah pembayar zakat harta masih jauh di bawah.
Dalam laporan Baznas (2015), tercatat baru ratusan ribu saja pembayar zakat yang tercatat di lembaga resmi dari 200-an juta muslim Indonesia. Selain itu, terdapat diskrepansi besar antara angka potensi zakat yang mencapai Rp217 triliun (Baznas, 2010) dan Rp280 triliun (Lazismu, 2017) dengan penggalian dan penghimpunannya: Rp4 triliun pada 2015, dan Rp5 triliun pada 2016. Kendala lain, sebagai bangsa Indonesia, umat Islam merasa memiliki kewajiban ganda berupa zakat dan pajak. Pada praktiknya, sebagian besar umat Islam masih mengutamakan bayar pajak daripada zakat harta, zakat perusahaan, dan sebagainya.
Meski hal ini bukan berarti bahwa umat Islam Indonesia tidak membayar zakat, karena ajaran dan praktik zakat—setidaknya zakat fitrah, telah dilakukan dan menjadi napas kehidupan seorang muslim. Kendati demikian, diskrepansi itu menandakan bahwa praktik berzakat di Indonesia masih bersifat personal dan konsumtif (disalurkan secara mandiri kepada mustahiq), tidak secara impersonal (dipercayakan kepada lembaga amil resmi).
Karena itu, penyaluran zakat hanya sebatas aksi karitatif konsumtif yang tidak berdampak luas dan berkelanjutan sehingga dampak liberasi dan transformasi sosialnya minim. Di lain pihak, diakui, Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) masih berjalan sendiri-sendiri dalam penggalian dan pendistribusian sehingga kerap terjadi benturan dan tumpang tindih (overlapping). Institusi zakat juga belum dibekali dengan suprasutruktur dan infrastruktur kelembagaan dan SDM yang memadai dan profesional sehingga tingkat kepercayaan publik kepada institusi zakat resmi belum optimal.
Kendala kultural dan struktural tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan juridis-formal, yakni pemberlakuan UU No 23 Tahun 2011, di mana tata kelola zakat diatur oleh negara untuk pemaksimalan penghimpunan, pengelolaan pendistribusian secara efektif dan efisien untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat dan bangsa. Dalam UU tersebut ditegaskan, hanya institusi resmi BAZ dan LAZ yang berhak menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan dana publik zakat.
Pengawasan terhadap BAZ dan LAZ melalui audit keuangan dan syariah juga dapat menjamin terciptanya good governance yang transparan, akuntabel, dan profesional. Harapannya, tidak lama lagi, zakat di Indonesia bisa diakui sebagai pengurang pajak (PP), bukan sekadar pengurang kena pajak (PKP). Hal paling penting adalah tumbuh meningkatnya kepercayaan publik kepada institusi atau amil zakat resmi.
*** Sebagai instrumen liberasi, transformasi dan humanisasi, zakat memiliki posisi strategis. Ketiganya menjadi basis konseptual dan paradigmatik bahwa zakat harus dikelola untuk membebaskan, mengubah, dan memanusiakan manusia. Untuk itu, dana zakat niscaya dikelola melalui perumusan program yang berdampak luas, produktif dan berkelanjutan. Kadang, amil atau institusi zakat masih terjebak kepada pemahaman klasik tentang delapan golongan penerima manfaat (asnaf/beneficiaries)—sebagaimana termaktub dalam Surat At-Taubah ayat 60.
Saat ini mengingat kompleksitas persoalan umat diperlukan pemahaman progresif atas teks primer tersebut. Menyantuni fakir miskin, saat ini tidak cukup memberi mereka sembako dan sejumlah uang. Dalam konteks modern, fakir dan miskin dibedakan melalui agregat atau indeks kemiskinan, misalnya ketiadaan akses dasar air, listrik, dan makanan pokok atau penghasilan di bawah 2 dolar/hari. Karena itu, program percepatan penanggulangan kemiskinan perlu disusun berdasarkan kebutuhan pemenuhan akses dasar tersebut.
Karena itu, institusi zakat perlu mengembangkan program tersebut dengan merujuk kepada program pembangunan nasional atau Sustainable Development Goals (SDG’s) yang selaras dalil Alquran surat at-Taubah ayat 60. Dalam konstruksi pemahaman dan tafsir progresif ini, Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) memperluas acuan dan cakupan program yang terukur secara objektif. Di tingkat nasional, Lazismu meratifikasi 13 isu yang direkomendasikan PP Muhammadiyah, antara lain pemberantasan korupsi, narkoba, perlindungan buruh migran, kaum difabel, juga mitigasi bencana.
Dalam konteks global, Lazismu telah meratifikasi 17 tema SDG’s seperti energi terbarukan, kesehatan, ekonomi, juga lingkungan hidup. Program Klinik Apung Said Tuhulely untuk warga Kepulauan Maluku dan program Indonesia Terang, elektrifikasi 1.000 rumah miskin di Timor Tengah Selatan NTT merupakan ikhtiar untuk memperkuateratkan temali kasih dan kohesi sosial sesama anak bangsa. Wallahu a’lam bishawab.
(kri)