KUHP di Persimpangan Jalan Era Globalisasi
loading...
A
A
A
Kedua perkembangan baru dalam sistem ketatanegaraan dan kemasyarakatan pada sebagian negara terutama yang baru merdeka, tetap tidak beranjak dari tiga pilar kekuasaan. Utamanya faktor kekuasaan negara yang lebih kuat daripada kekuasaan masyarakat sipil. Ini tidak lepas dari pengaruh penjajahan sehingga kebangkitan HAM diabaikan dan tetap menjalankan kekuasaan model dominasi kekuasaan atas warga bangsanya.
Di sisi lain, sebagian pemikiran kebangkitan umat manusia mengenai peranan masyarakat sipil yang muncul selain kekuasaan negara diabaikan oleh kekuasaan. Keikutsertaan masyarakat sipil atas keputusan negara melalui kebijakan hukum dan perundang-undangan tetap mengikuti dan sesuai dengan pemikiran dominasi pemegang kekuasaan.
Selain itu, ada kesan abai terhadap aspirasi pemikiran masyarakatnya sehingga terjadi reaksi penolakan masyarakat terhadap produk UU dan bahkan cenderung menggeneralisasi anggapan negatif dalam semua keadaan dan terhadap semua pelaku negara.
Dalam perkembangan hukum pidana, sejalan dengan aspek historis lahirnya UU Pidana pada masa revolusi Prancis, kemudian muncul pengutamaan produk UU untuk tujuan kepastian hukum guna melindungi warga masyarakat dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa. Namun yang terjadi UU justru merupakan produk kekuasaan yang hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya pemikiran baru dan maju mengenai perlindungan HAM. Namun, para pegiat HAM ini mengutamakan haknya bukan keseimbangan antara Hak dan Kewajiban perlindungan HAM.
Reaksi yang sedemikian itu dikenal sebagai aliran pemikiran radikal tentang hukum atau mazhab legal critical morality atau aliran hukum kritis.
Perkembangan filosofi mengenai fungsi dan peranan hukum pidana lama belum tuntas diwujudkan, namun menimbulkan korban-korban masyarakat yang dirugikan.
Kemudian, datang aliran baru dalam perkembangan hukum khususnya hukum pidana yang dikenal dengan aliran sociological jurisprudence dan critical legal realism. Kedua aliran hukum tersebut mengutamakan nilai perkembangan keadilan dalam masyarakat.
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai parameter kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum yang menyebabkan pemikiran hukum positivisme semakin menjadi semakin ditinggalkan masyarakat kecuali oleh pemegang kekuasaan.
Dalam kondisi hukum sedemikian, celah potensi konflik hukum semakin besar sehingga berdampak terhadap hubungan baik antara (pemegang) kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat sipil dan keduanya tidak dapat dipersatukan atau didamamaikan. Di sinilah letak masalah pembentukan hukum (UU) Pidana dan penerapannya di Indonesia dalam kerangka Indonesia sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)UUD45).
Di sisi lain, sebagian pemikiran kebangkitan umat manusia mengenai peranan masyarakat sipil yang muncul selain kekuasaan negara diabaikan oleh kekuasaan. Keikutsertaan masyarakat sipil atas keputusan negara melalui kebijakan hukum dan perundang-undangan tetap mengikuti dan sesuai dengan pemikiran dominasi pemegang kekuasaan.
Selain itu, ada kesan abai terhadap aspirasi pemikiran masyarakatnya sehingga terjadi reaksi penolakan masyarakat terhadap produk UU dan bahkan cenderung menggeneralisasi anggapan negatif dalam semua keadaan dan terhadap semua pelaku negara.
Dalam perkembangan hukum pidana, sejalan dengan aspek historis lahirnya UU Pidana pada masa revolusi Prancis, kemudian muncul pengutamaan produk UU untuk tujuan kepastian hukum guna melindungi warga masyarakat dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa. Namun yang terjadi UU justru merupakan produk kekuasaan yang hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya pemikiran baru dan maju mengenai perlindungan HAM. Namun, para pegiat HAM ini mengutamakan haknya bukan keseimbangan antara Hak dan Kewajiban perlindungan HAM.
Reaksi yang sedemikian itu dikenal sebagai aliran pemikiran radikal tentang hukum atau mazhab legal critical morality atau aliran hukum kritis.
Perkembangan filosofi mengenai fungsi dan peranan hukum pidana lama belum tuntas diwujudkan, namun menimbulkan korban-korban masyarakat yang dirugikan.
Kemudian, datang aliran baru dalam perkembangan hukum khususnya hukum pidana yang dikenal dengan aliran sociological jurisprudence dan critical legal realism. Kedua aliran hukum tersebut mengutamakan nilai perkembangan keadilan dalam masyarakat.
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai parameter kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum yang menyebabkan pemikiran hukum positivisme semakin menjadi semakin ditinggalkan masyarakat kecuali oleh pemegang kekuasaan.
Dalam kondisi hukum sedemikian, celah potensi konflik hukum semakin besar sehingga berdampak terhadap hubungan baik antara (pemegang) kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat sipil dan keduanya tidak dapat dipersatukan atau didamamaikan. Di sinilah letak masalah pembentukan hukum (UU) Pidana dan penerapannya di Indonesia dalam kerangka Indonesia sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)UUD45).