KUHP di Persimpangan Jalan Era Globalisasi

Selasa, 13 Desember 2022 - 07:58 WIB
loading...
KUHP di Persimpangan Jalan Era Globalisasi
Romli Atmasasmita (Foto: Ist)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

RIUH rendah reaksi sejumlah kelompok masyarakat melontarkan kritik keras atas Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan DPR RI pada 6 Desember2022.

Reaksi tersebut sudah diperkirakan. Bukan hanya karena soal norma pengaturan pasal-pasal tertentu khususnya ketentuan mengenai kejahatan kesusilaan, melainkan terdapat masalah pada aspek historis, sosiologis dan filosofi yang perlu diketahui masyarakat.

Baca Juga: koran-sindo.com

Aspek historis merujuk pada proses perkembangan KUHP warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang disebut Wetboek van Het Strafrecht voor Nederlandsch Indie dan kemudian diubah menjadi KUHP UU No 1 tahun 1946. UU tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 tahun 1958.

KUHP 1946 dilatarbelakangi filosofi individualisme, namun masih dalam kerangka nation-state di mana hubungan antara negara dan rakyatya terpisah secara tegas. Batas kekuasaan negara adalah pada setiap UU yang diberlakukannya, sementara perbuatan yang dilarang dan dibolehkan dilakukan oleh setiap individu.

John Stuart Mill pelopor mazhab liberalis individualis dalam karyanya, On Liberty, menyatakan bahwa, The only purpose for which power can rightfully be exercised over any member of a civilized community against his will is to ptevent harms to others”. Tujuan utamanya adalah di mana kekuasaan dapat digunakan terhadap anggota masyarakat yang beradab untuk mencegah arah orang lain tidak disakiti.

Dalam pernyataannya, Mill yang kemudian berkembang menjadi filosofi individualisme dalam hubungan negara dan rakyatnya, khusus hukum pidana diwujudkan dalam tujuan pemidanaan. Ini bertujuan agar pelaku kejahatan manjadi kapok bertobat untuk tidak melakukan kejahatan dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Perkembangan filosofi hukum pidana masa puncak kejayaan pemikiran individualisme jelas memisahkan secara tegas kekuasaan judikatif dari kekuasaan legislatif dan kekuasaaan eksekutif.

Perkembangan setelah kebangkitan kemerdekaan dan bebas dari kolonialisme terutama abad 19 sampai saat ini memunculkan pemikiran bahwa selain tiga kekuasaan negara, juga terdapat kekuasaaan masyarakat sipil (civil society) seiring lahir dan berkembangnya era perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kedua perkembangan baru dalam sistem ketatanegaraan dan kemasyarakatan pada sebagian negara terutama yang baru merdeka, tetap tidak beranjak dari tiga pilar kekuasaan. Utamanya faktor kekuasaan negara yang lebih kuat daripada kekuasaan masyarakat sipil. Ini tidak lepas dari pengaruh penjajahan sehingga kebangkitan HAM diabaikan dan tetap menjalankan kekuasaan model dominasi kekuasaan atas warga bangsanya.

Di sisi lain, sebagian pemikiran kebangkitan umat manusia mengenai peranan masyarakat sipil yang muncul selain kekuasaan negara diabaikan oleh kekuasaan. Keikutsertaan masyarakat sipil atas keputusan negara melalui kebijakan hukum dan perundang-undangan tetap mengikuti dan sesuai dengan pemikiran dominasi pemegang kekuasaan.

Selain itu, ada kesan abai terhadap aspirasi pemikiran masyarakatnya sehingga terjadi reaksi penolakan masyarakat terhadap produk UU dan bahkan cenderung menggeneralisasi anggapan negatif dalam semua keadaan dan terhadap semua pelaku negara.

Dalam perkembangan hukum pidana, sejalan dengan aspek historis lahirnya UU Pidana pada masa revolusi Prancis, kemudian muncul pengutamaan produk UU untuk tujuan kepastian hukum guna melindungi warga masyarakat dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa. Namun yang terjadi UU justru merupakan produk kekuasaan yang hanya untuk kepentingan kekuasaan.

Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya pemikiran baru dan maju mengenai perlindungan HAM. Namun, para pegiat HAM ini mengutamakan haknya bukan keseimbangan antara Hak dan Kewajiban perlindungan HAM.

Reaksi yang sedemikian itu dikenal sebagai aliran pemikiran radikal tentang hukum atau mazhab legal critical morality atau aliran hukum kritis.

Perkembangan filosofi mengenai fungsi dan peranan hukum pidana lama belum tuntas diwujudkan, namun menimbulkan korban-korban masyarakat yang dirugikan.

Kemudian, datang aliran baru dalam perkembangan hukum khususnya hukum pidana yang dikenal dengan aliran sociological jurisprudence dan critical legal realism. Kedua aliran hukum tersebut mengutamakan nilai perkembangan keadilan dalam masyarakat.

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai parameter kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum yang menyebabkan pemikiran hukum positivisme semakin menjadi semakin ditinggalkan masyarakat kecuali oleh pemegang kekuasaan.

Dalam kondisi hukum sedemikian, celah potensi konflik hukum semakin besar sehingga berdampak terhadap hubungan baik antara (pemegang) kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat sipil dan keduanya tidak dapat dipersatukan atau didamamaikan. Di sinilah letak masalah pembentukan hukum (UU) Pidana dan penerapannya di Indonesia dalam kerangka Indonesia sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)UUD45).

Pembaruan KUHP yang digagas lebih dari 50 tahun yang lampau dan kini telah diwujudkan dalam bentuk KUHP disetujui DPR pada 6 Desember lalu telah berupaya mengakomidasi aliran pemikiran hukum sebagaimana diuraikan di atas.

Proses pembentukan UU KUHP baru telah mengakomodasi ketentuan hukum internasional seperti ketentuan pidana mati bersyarat atau secara alternatif dan tidak ditempatkan sebagai pidana pokok; ketentuan baru mengenai kejahatan transnasional seperti narkotika, perdagangan perempuan dan anak; serta tindak pidana korupsi dengan perbedaan ancaman minimum.

Selain hal baru tersebut pembentuk UU KUHP tidak lagi menganut perbedaan antara delik disengaja dan kelalaian sehingga ke depan tidak dianut lagi pengertian recht-delict dan wetsdelict dan ditiadakan lagi perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran; perbedaannya hanya terletak pada besar kecilnya ancaman hukuman saja.

Perubahan mendasar dalam UU KUHP baru adalah diakuinya nilai-nilai masyarakat adat atau hukum adat masyarakat setempat sebagai norma UU KUHP (Pasal 2). Sehingga, tidak perlu lagi ada perbedaan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.

Prof Barda, penggagas pembentuk KUHP telah memperkenalkan asas-asas hukum pidana yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiel.

Pengakuan nilai hukum adat tersebut sejalan dengan nilai Pancasila dan UUD 45 serta ketentuan penerapannya berdasarkan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman. Pengakuan atas ketentuan hukum adat dimaksud termasuk asas legalitas materil.

Penulis mengharapkan agar sejak dini para ahli hukum pidana dan penegak hukum memahami sungguh-sungguh ketentuan tersebut. Hal ini cukup dilakukan dalam waktu masa peralihan berlakunya UU KUHP selama waktu tiga tahun, yang kira-kira berlaku efektif pada 2025.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4212 seconds (0.1#10.140)