KUHP di Persimpangan Jalan Era Globalisasi
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
RIUH rendah reaksi sejumlah kelompok masyarakat melontarkan kritik keras atas Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan DPR RI pada 6 Desember2022.
Reaksi tersebut sudah diperkirakan. Bukan hanya karena soal norma pengaturan pasal-pasal tertentu khususnya ketentuan mengenai kejahatan kesusilaan, melainkan terdapat masalah pada aspek historis, sosiologis dan filosofi yang perlu diketahui masyarakat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Aspek historis merujuk pada proses perkembangan KUHP warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang disebut Wetboek van Het Strafrecht voor Nederlandsch Indie dan kemudian diubah menjadi KUHP UU No 1 tahun 1946. UU tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 tahun 1958.
KUHP 1946 dilatarbelakangi filosofi individualisme, namun masih dalam kerangka nation-state di mana hubungan antara negara dan rakyatya terpisah secara tegas. Batas kekuasaan negara adalah pada setiap UU yang diberlakukannya, sementara perbuatan yang dilarang dan dibolehkan dilakukan oleh setiap individu.
John Stuart Mill pelopor mazhab liberalis individualis dalam karyanya, On Liberty, menyatakan bahwa, The only purpose for which power can rightfully be exercised over any member of a civilized community against his will is to ptevent harms to others”. Tujuan utamanya adalah di mana kekuasaan dapat digunakan terhadap anggota masyarakat yang beradab untuk mencegah arah orang lain tidak disakiti.
Dalam pernyataannya, Mill yang kemudian berkembang menjadi filosofi individualisme dalam hubungan negara dan rakyatnya, khusus hukum pidana diwujudkan dalam tujuan pemidanaan. Ini bertujuan agar pelaku kejahatan manjadi kapok bertobat untuk tidak melakukan kejahatan dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Perkembangan filosofi hukum pidana masa puncak kejayaan pemikiran individualisme jelas memisahkan secara tegas kekuasaan judikatif dari kekuasaan legislatif dan kekuasaaan eksekutif.
Perkembangan setelah kebangkitan kemerdekaan dan bebas dari kolonialisme terutama abad 19 sampai saat ini memunculkan pemikiran bahwa selain tiga kekuasaan negara, juga terdapat kekuasaaan masyarakat sipil (civil society) seiring lahir dan berkembangnya era perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
RIUH rendah reaksi sejumlah kelompok masyarakat melontarkan kritik keras atas Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan DPR RI pada 6 Desember2022.
Reaksi tersebut sudah diperkirakan. Bukan hanya karena soal norma pengaturan pasal-pasal tertentu khususnya ketentuan mengenai kejahatan kesusilaan, melainkan terdapat masalah pada aspek historis, sosiologis dan filosofi yang perlu diketahui masyarakat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Aspek historis merujuk pada proses perkembangan KUHP warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang disebut Wetboek van Het Strafrecht voor Nederlandsch Indie dan kemudian diubah menjadi KUHP UU No 1 tahun 1946. UU tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 tahun 1958.
KUHP 1946 dilatarbelakangi filosofi individualisme, namun masih dalam kerangka nation-state di mana hubungan antara negara dan rakyatya terpisah secara tegas. Batas kekuasaan negara adalah pada setiap UU yang diberlakukannya, sementara perbuatan yang dilarang dan dibolehkan dilakukan oleh setiap individu.
John Stuart Mill pelopor mazhab liberalis individualis dalam karyanya, On Liberty, menyatakan bahwa, The only purpose for which power can rightfully be exercised over any member of a civilized community against his will is to ptevent harms to others”. Tujuan utamanya adalah di mana kekuasaan dapat digunakan terhadap anggota masyarakat yang beradab untuk mencegah arah orang lain tidak disakiti.
Dalam pernyataannya, Mill yang kemudian berkembang menjadi filosofi individualisme dalam hubungan negara dan rakyatnya, khusus hukum pidana diwujudkan dalam tujuan pemidanaan. Ini bertujuan agar pelaku kejahatan manjadi kapok bertobat untuk tidak melakukan kejahatan dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Perkembangan filosofi hukum pidana masa puncak kejayaan pemikiran individualisme jelas memisahkan secara tegas kekuasaan judikatif dari kekuasaan legislatif dan kekuasaaan eksekutif.
Perkembangan setelah kebangkitan kemerdekaan dan bebas dari kolonialisme terutama abad 19 sampai saat ini memunculkan pemikiran bahwa selain tiga kekuasaan negara, juga terdapat kekuasaaan masyarakat sipil (civil society) seiring lahir dan berkembangnya era perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).