Ekstradisi Maria Lumowa, Pemerintah Diminta Tangkap Buron Kakap Lain
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberhasilan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), mengekstradisi Maria Pauline Lumowa , pelaku pembobol Bank BNI Rp1,7 triliun dari Serbia patut diapresiasi.
Meski demikian, pemerintah tidak boleh larut dengan euforia karena masih ada sejumlah buronan lain yang masih bebas berkeliaran. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, keberhasilan mengekstradisi Maria harus menjadi pembelajaran sekaligus “pelecut” bagi aparat penegak hukum agar tak kebobolan dengan buronan yang lain. Mengingat, dalam sepekan ini, publik dikejutkan buron kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra yang ternyata sempat berada di Indonesia.
Menurut Fickar, buron kasus suap mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan, Harun Masiku juga belum jelas keberadaannya sehingga menjadi pekerjaan rumah tangga bagi aparat penegak hukum. "Bagi buron yang kuat finansialnya seperti Djoko Tjandra, belum tentu bisa, bahkan aparat Indonesia 'dikentutin' sebagai buron bolak-balik lenggang kangkung tanpa ditangkap. Bahkan, bisa buat e-KTP dan paspor, gila kan ini!" katanya kemarin.
Fickar mengingatkan jangan gembira dulu. Bisa jadi apa yang dilakukan menteri hukum dan HAM (menkumham) meski itu suatu keadilan, tapi juga bisa jadi gimmick menutupi kekurangannya, terutama lembaga Imigrasinya yang sering kebobolan soal Masiku yang belum juga tertangkap. “Gajah di depan mata sering tak sengaja tak ditampakkan," ucapnya. (Baca: Ekstradisi Maria Pauline Bisa Ditiru untuk Bawa Pulang Djoko Tjandra)
Seperti diketahui, setelah buron hampir 17 tahun, pelaku pembobolan Bank BNI sebesar Rp1,7 triliun Maria Pauline Lumowa akhirnya ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Menkumham Yasonna H Laoly memimpin langsung ekstradisi Maria dari Serbia ke Tanah Air.
Proses negosiasi ekstradisi Maria oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Serbia memakan waktu hampir satu tahun. Maria merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat letter of credit (L/C) fiktif.
Pada Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai USD136 juta dan 56 juta euro, atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari “orang dalam” karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003 pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri tapi Maria sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. (Baca juga: Dilaporkan Hilang, Wali Kota Seoul Ditemukan Meninggal)
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria disidangkan di Belanda.
Meski demikian, pemerintah tidak boleh larut dengan euforia karena masih ada sejumlah buronan lain yang masih bebas berkeliaran. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, keberhasilan mengekstradisi Maria harus menjadi pembelajaran sekaligus “pelecut” bagi aparat penegak hukum agar tak kebobolan dengan buronan yang lain. Mengingat, dalam sepekan ini, publik dikejutkan buron kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra yang ternyata sempat berada di Indonesia.
Menurut Fickar, buron kasus suap mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan, Harun Masiku juga belum jelas keberadaannya sehingga menjadi pekerjaan rumah tangga bagi aparat penegak hukum. "Bagi buron yang kuat finansialnya seperti Djoko Tjandra, belum tentu bisa, bahkan aparat Indonesia 'dikentutin' sebagai buron bolak-balik lenggang kangkung tanpa ditangkap. Bahkan, bisa buat e-KTP dan paspor, gila kan ini!" katanya kemarin.
Fickar mengingatkan jangan gembira dulu. Bisa jadi apa yang dilakukan menteri hukum dan HAM (menkumham) meski itu suatu keadilan, tapi juga bisa jadi gimmick menutupi kekurangannya, terutama lembaga Imigrasinya yang sering kebobolan soal Masiku yang belum juga tertangkap. “Gajah di depan mata sering tak sengaja tak ditampakkan," ucapnya. (Baca: Ekstradisi Maria Pauline Bisa Ditiru untuk Bawa Pulang Djoko Tjandra)
Seperti diketahui, setelah buron hampir 17 tahun, pelaku pembobolan Bank BNI sebesar Rp1,7 triliun Maria Pauline Lumowa akhirnya ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Menkumham Yasonna H Laoly memimpin langsung ekstradisi Maria dari Serbia ke Tanah Air.
Proses negosiasi ekstradisi Maria oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Serbia memakan waktu hampir satu tahun. Maria merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat letter of credit (L/C) fiktif.
Pada Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai USD136 juta dan 56 juta euro, atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari “orang dalam” karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003 pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri tapi Maria sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. (Baca juga: Dilaporkan Hilang, Wali Kota Seoul Ditemukan Meninggal)
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria disidangkan di Belanda.