Pidana Mati dalam KUHP

Rabu, 30 November 2022 - 17:43 WIB
loading...
A A A
(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101 jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Di dalam KUHP Nasional pidana mati telah disesuaikan dengan protokol penghapusan pidana mati yang membolehkan setiap penganut retensionis pidana mati secara perlahan meninggalkan / menghapuskan pidana mati. Keberadaan protokol yang melengkapi ICCPR tersebut mencerminkan bahwa masyarakat internasional melalui forum PBB juga tidak secara mutlak mewajibkan pemghapusan pidana mati.

Pasca berlakunya KUHP Nasional perlu melakukan perubahan mendasar ketentuan pelaksanaan pidana mati yang telah berlaku selama ini mulai dari administrasi eksekusi sampai dengan administrasi pemasyarakatan selama masa tunggu/ tunda selama waktu 10 tahun.

Diharapkan berlakunya KUHP Nasional terdapat perubahan pandangan/ penilaian masyarakat mengenai fungsi pidana mati dari sebagai wujud asas lex talionis kepada asas perikemanusiaan yang adil dan beradab yang sejalan dengan nilai Pancasila yang merupakan filosofi bangsa Indonesia sehingga secara evolusi menggeser paham retensionis kepada paham abolisionis.

Perubahan atau pergeseran ke arah paham abolisionis memberikan celah hukum harapan hidup dan masa depan terpidana mati bersama keluarganya. Yang penting adalah bagaimana peranan pemasyarakatan atas terpidana mati selama waktu tunda 10 tahun sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap bukan saja kehidupan keluarga dan dirinya akan tetapj kepada masyarakat luas.

Pasal 98 Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pembentuk KUHP Nasional telah meuwujudkan sila kedua Pancasila dan di mana pelaksanaan pidana mati tidak dlakukan di muka umum, dan pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Diharapkan masyarakat tidak hanya bereaksi menolak dengan alasan kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) dari aspek perlidungan HAM dan kebebasan menyampaikan pendapat semata karena semua masukan kelompok-kelompok masyarakat telah diakomodasi dalam KUHP Nasional.

Bahkan perumusannya telah diperhalus agar kebebasan dan hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat tetap dijadikan bagian dari rumusan pasal-pasal yang dimasalahkan antara lain dengan mengubah rumusan dari delik biasa menjadi delik aduan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3061 seconds (0.1#10.140)