Pasca-R20: Agama sebagai Solusi global dan Agenda Kemanusiaan?
loading...
A
A
A
Berbicara tentang model dan paradigma dalam dialog antaragama (interreligious dialogue) terkait dengan perubahan bisa dikategorikan menjadi tiga yakni teologis, politik, dan pembangunan perdamaian. Sederhananya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi, dialog politik dalam ilmu politik dan hubungan internasional; dan dialog pembangunan perdamaian terkait transformasi konflik.
Dialog antaragama berbasis teologi yang tradisional bertujuan untuk memahami para ulama, tokoh agama akar rumput, dan teolog, yang biasanya berbentuk makalah pertukaran, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami “yang lain”, dan akhirnya hanya merayakan keragaman. Ini kritik yang diarahkan kepada R20. Memang kelemahan pendekatan dialog tradisional, peserta tidak membahas aspek politik yang sering menjadi dasar konflik yang terjadi.
Sedangkan model kedua adalah dialog politik agama yang bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi atau harmoni sosial serta meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan. Model ini yang coba dilakukan, untuk beberapa derajat, oleh Interfaith Forum G20.
R20 dapat dikategorikan masuk pada model dialog antaragama, yang berdasarkan pembangunan perdamaian, di mana bertumpu pada model dialog sebelumnya tetapi bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Dialog agama yang disebut terakhir memiliki empat tujuan.
Pertama, mengubah sikap dan persepsi orang lain. Kedua, membangun rasa hormat dan saling pengertian. Ketiga, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Keempat, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.
Kalau jujur kita menelisik R20 dari segi asal gagasan, tujuan, format kegiatan, pembicara dan materi yang akan didiskusikan, maka R20 dapat dikategorisasikan sebagai dialog antar agama yang bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Tidak lagi dialog antaragama yang out of date, yang bersifat dangkal dan hanya merayakan perbedaan.
Dari segi gagasan saya kira pemilihan tema oleh panitia R20 adalah gagasan yang cerdas di tengah agama yang dinilai defisit dan sumber masalah, mereka berani pasang badan untuk merevitalisasi agama sebagai solusi. Kenyataannya memang, agama acap dijadikan kendaraan politik dan dimanipulasi oleh elite politik untuk kepentingan politik ekonomi yang sektarian.
Tujuan R20 juga menjamin agama dapat berfungsi sebagai sumber solusi yang murni di abad 21. Hal itu dibuktikan dengan mengundang pemuka agama yang datang dari berbagai wilayah serta secara jujur mengakui bahwa agama pernah diperalat untuk tujuan-tujuan politik yang mengorbankan manusia.
Aspek pengakuan ini misalnya diungkapkan Dr. Jacqueline C. Rivers, Executive Director, Seymour Institute for Black Church and Policy Studies (Jamaica) “From Truth to Reconciliation, Forgiveness, and Peaceful Co-Existence”. Saya berkesempatan makan siang dengan Jacquai dalam acara R20 dan mendengarkan pandangannya tentang R20. Dalam perjumpaan itu, dia menekankan bahwa kita bisa menghasilkan suatu dunia di mana manusia yang beragama bisa hidup berdampingan dengan damai.
“Ketika Indonesia memainka peran penting dalam pergerakan global, ada peran yang bisa saya lakukan yakni membawa suatu niatan dari dunia barat. kita perlu mengakui semua konflik yang terjadi bagi orang-orang Kristiani. Pengakuan adalah hal paling mendasar sebelum melanjutkan ke langkah selanjutnya. Abraham Lincoln mengatakan bahwa setiap tetesan darah dalam perbudakan, perang dunia, yang kita perlu ingat bahwa Tuhan itu adil. Dia akan membalas semua tindakan perbudakan yang keji dan kejam, kita perlu menghapus semua bentuk diskriminasi dan perbudakan”, katanya dengan meyakinkan.
Dialog antaragama berbasis teologi yang tradisional bertujuan untuk memahami para ulama, tokoh agama akar rumput, dan teolog, yang biasanya berbentuk makalah pertukaran, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami “yang lain”, dan akhirnya hanya merayakan keragaman. Ini kritik yang diarahkan kepada R20. Memang kelemahan pendekatan dialog tradisional, peserta tidak membahas aspek politik yang sering menjadi dasar konflik yang terjadi.
Sedangkan model kedua adalah dialog politik agama yang bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi atau harmoni sosial serta meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan. Model ini yang coba dilakukan, untuk beberapa derajat, oleh Interfaith Forum G20.
R20 dapat dikategorikan masuk pada model dialog antaragama, yang berdasarkan pembangunan perdamaian, di mana bertumpu pada model dialog sebelumnya tetapi bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Dialog agama yang disebut terakhir memiliki empat tujuan.
Pertama, mengubah sikap dan persepsi orang lain. Kedua, membangun rasa hormat dan saling pengertian. Ketiga, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Keempat, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.
Kalau jujur kita menelisik R20 dari segi asal gagasan, tujuan, format kegiatan, pembicara dan materi yang akan didiskusikan, maka R20 dapat dikategorisasikan sebagai dialog antar agama yang bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Tidak lagi dialog antaragama yang out of date, yang bersifat dangkal dan hanya merayakan perbedaan.
Dari segi gagasan saya kira pemilihan tema oleh panitia R20 adalah gagasan yang cerdas di tengah agama yang dinilai defisit dan sumber masalah, mereka berani pasang badan untuk merevitalisasi agama sebagai solusi. Kenyataannya memang, agama acap dijadikan kendaraan politik dan dimanipulasi oleh elite politik untuk kepentingan politik ekonomi yang sektarian.
Tujuan R20 juga menjamin agama dapat berfungsi sebagai sumber solusi yang murni di abad 21. Hal itu dibuktikan dengan mengundang pemuka agama yang datang dari berbagai wilayah serta secara jujur mengakui bahwa agama pernah diperalat untuk tujuan-tujuan politik yang mengorbankan manusia.
Aspek pengakuan ini misalnya diungkapkan Dr. Jacqueline C. Rivers, Executive Director, Seymour Institute for Black Church and Policy Studies (Jamaica) “From Truth to Reconciliation, Forgiveness, and Peaceful Co-Existence”. Saya berkesempatan makan siang dengan Jacquai dalam acara R20 dan mendengarkan pandangannya tentang R20. Dalam perjumpaan itu, dia menekankan bahwa kita bisa menghasilkan suatu dunia di mana manusia yang beragama bisa hidup berdampingan dengan damai.
“Ketika Indonesia memainka peran penting dalam pergerakan global, ada peran yang bisa saya lakukan yakni membawa suatu niatan dari dunia barat. kita perlu mengakui semua konflik yang terjadi bagi orang-orang Kristiani. Pengakuan adalah hal paling mendasar sebelum melanjutkan ke langkah selanjutnya. Abraham Lincoln mengatakan bahwa setiap tetesan darah dalam perbudakan, perang dunia, yang kita perlu ingat bahwa Tuhan itu adil. Dia akan membalas semua tindakan perbudakan yang keji dan kejam, kita perlu menghapus semua bentuk diskriminasi dan perbudakan”, katanya dengan meyakinkan.