Pasca-R20: Agama sebagai Solusi global dan Agenda Kemanusiaan?
loading...
A
A
A
Ridwan
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Direktur Riset Alpha-I (olrganisasi penerima beasiswa USAID Indonesia).
PAGELARAN Religion Twenty (R20), sebuah pertemuan tingkat tinggi pemuka agama dunia dan official engagement dari G20, telah usai di Bali (3 November 2022). Hal ini ditandai dengan penyerahan bendera secara simbolis oleh KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kepada delegasi India yang diterima oleh Sri Ram Madhav Varanasi dan His Holiness, Mahamahopadhyaya Swami Bahdreshdas.
Penyerahan bendera disaksikan seluruh peserta yang memadati Grand Ballroom Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali. Delegasi India yang menerima bendera R20 dikarenakan India akan menjadi tuan rumah R20 tahun depan yang sekaligus sebagai Presidensi G20 tahun 2023.
Setelah itu, sejumlah delegasi R20 melakukan kunjungan ke Yogyakarta. Di sana, delegasi R20 melakukan beberapa kegiatan, di antaranya merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL) R20, makan malam dan dialog, dan juga kunjungan kebudayaan ke Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Pesantren Padanaran.
Selain itu, yang penting juga dicatat adalah kunjungan delegasi R20 ke kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang memiliki sebuah situs peninggalan purbakala berwujud Candi Kimpulan di area kampus (depan perpustakaan UII). Sebuah kunjungan yang bermakna perjalanan dan pengalaman budaya yang berlandaskan keragaman.
Sebagai sebuah akibat, pemberitaan dalam dan luar negeri cukup semarak, termasuk yang pro dan kontra, puja puji dan serapah, yang menyertai perhelatan tahunan pertama tersebut. Namun, yang pasti dengan berbagai kritikan tersebut, akan dikaji dibawah, R20 menunjukkan relevansinya.
Tulisan ini hendak urun rembug mereviu dan mendiskusikan ulang pelaksanaan R20, yang mengusung tema berjudul Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solution, untuk mendapatkan sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis juga, untuk beberapa derajat akan membahas beberapa kritikan secara objektif terkait pelaksanaan R20 yang dinilai dangkal dan hanya merayakan keragaman dan tidak berpihak pada agenda kemanusiaan.
R20 memang mengambil tema Pengungkapan dan Penumbuhan Agama sebagai Sumber Solusi Global. Sebuah tema yang terkesan klasik dan out of date di tengah berbagai aksi kekerasan dan terorisme di dunia global yang berinspirasikan agama.
Sejumlah pujian dan kritikan dialamatkan kepada R20. Satu pujian misalnya dari Professor Greg Barton yang menilai kunjungan ke Candi Kimpulan sangat bermakna dari segi toleransi. Di antara kritikan yang cukup keras menggema adalah R20 hanyalah pertemuan yang merayakan keragaman dan tanpa keberpihakan pada masalah kemanusiaan.
Juga, pelibatan delegasi India, sementara di negaranya terjadi persekusi dan minoritisasi yang dialami masyarakat Muslim, dan tidak adanya kutukan terhadap berbagai aksi penindasan yang dialami komunitas agama di berbagai sudul di planet bumi.
Berbicara tentang model dan paradigma dalam dialog antaragama (interreligious dialogue) terkait dengan perubahan bisa dikategorikan menjadi tiga yakni teologis, politik, dan pembangunan perdamaian. Sederhananya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi, dialog politik dalam ilmu politik dan hubungan internasional; dan dialog pembangunan perdamaian terkait transformasi konflik.
Dialog antaragama berbasis teologi yang tradisional bertujuan untuk memahami para ulama, tokoh agama akar rumput, dan teolog, yang biasanya berbentuk makalah pertukaran, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami “yang lain”, dan akhirnya hanya merayakan keragaman. Ini kritik yang diarahkan kepada R20. Memang kelemahan pendekatan dialog tradisional, peserta tidak membahas aspek politik yang sering menjadi dasar konflik yang terjadi.
Sedangkan model kedua adalah dialog politik agama yang bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi atau harmoni sosial serta meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan. Model ini yang coba dilakukan, untuk beberapa derajat, oleh Interfaith Forum G20.
R20 dapat dikategorikan masuk pada model dialog antaragama, yang berdasarkan pembangunan perdamaian, di mana bertumpu pada model dialog sebelumnya tetapi bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Dialog agama yang disebut terakhir memiliki empat tujuan.
Pertama, mengubah sikap dan persepsi orang lain. Kedua, membangun rasa hormat dan saling pengertian. Ketiga, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Keempat, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.
Kalau jujur kita menelisik R20 dari segi asal gagasan, tujuan, format kegiatan, pembicara dan materi yang akan didiskusikan, maka R20 dapat dikategorisasikan sebagai dialog antar agama yang bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Tidak lagi dialog antaragama yang out of date, yang bersifat dangkal dan hanya merayakan perbedaan.
Dari segi gagasan saya kira pemilihan tema oleh panitia R20 adalah gagasan yang cerdas di tengah agama yang dinilai defisit dan sumber masalah, mereka berani pasang badan untuk merevitalisasi agama sebagai solusi. Kenyataannya memang, agama acap dijadikan kendaraan politik dan dimanipulasi oleh elite politik untuk kepentingan politik ekonomi yang sektarian.
Tujuan R20 juga menjamin agama dapat berfungsi sebagai sumber solusi yang murni di abad 21. Hal itu dibuktikan dengan mengundang pemuka agama yang datang dari berbagai wilayah serta secara jujur mengakui bahwa agama pernah diperalat untuk tujuan-tujuan politik yang mengorbankan manusia.
Aspek pengakuan ini misalnya diungkapkan Dr. Jacqueline C. Rivers, Executive Director, Seymour Institute for Black Church and Policy Studies (Jamaica) “From Truth to Reconciliation, Forgiveness, and Peaceful Co-Existence”. Saya berkesempatan makan siang dengan Jacquai dalam acara R20 dan mendengarkan pandangannya tentang R20. Dalam perjumpaan itu, dia menekankan bahwa kita bisa menghasilkan suatu dunia di mana manusia yang beragama bisa hidup berdampingan dengan damai.
“Ketika Indonesia memainka peran penting dalam pergerakan global, ada peran yang bisa saya lakukan yakni membawa suatu niatan dari dunia barat. kita perlu mengakui semua konflik yang terjadi bagi orang-orang Kristiani. Pengakuan adalah hal paling mendasar sebelum melanjutkan ke langkah selanjutnya. Abraham Lincoln mengatakan bahwa setiap tetesan darah dalam perbudakan, perang dunia, yang kita perlu ingat bahwa Tuhan itu adil. Dia akan membalas semua tindakan perbudakan yang keji dan kejam, kita perlu menghapus semua bentuk diskriminasi dan perbudakan”, katanya dengan meyakinkan.
Peran R20 adalah untuk memfasilitasi percakapan. Faktor terakhir adalah mengampuni, di mana kita perlu mengampuni diri kita sendiri dan mengampuni orang lain, karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni kita.
Para pembicara lain dari berbagai dunia juga mengungkapkan hal yang senada. Singkatnya, model dialog agama yang dikembangkan R20 adalah model dialog agama yang pro pembangunan perdamaian.
Sementara, pelibatan delegasi India dalam R20, selain sebagai presidensi G20 tahun depan, pelibatan mereka dalam diskusi adalah bagian dari perjumpaan untuk saling berdialog. Juga dilihat dari kerangka paradigma inklusif moderatisme, pelibatan kelompok-kelompok radikal dalam sebuah komuniktas atau lingkungan yang plural dapat membuat perubahan paradigma dan perilaku.
Untuk hal ini, kita masih menunggu apakah memang ada perubahan dalam policy dari pemerintah India terhadap minoritisasi yang dilakukan terhadap minoritas Muslim. Juga, secara tidak langsung, pembelaan terhadap komunitas agama yang mengalami persekusi, meski tidak eksplisit, terwujud dalam poin komunike yang disepakati para delegasi R20.
Sebagai sebuah pagelaran tahunan pertama dan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, R20 di Indonesia mungkin terlalu dini dinilai sebagai sebuah pertemuan yang dangkal, tidak berpihak pada kemanusiaan, dan melibatkan delegasi yang pro kekerasan.
Sikap yang bijaksana dan elegan tentunya adalah memberi kesempatan untuk melihat apakah pasca-R20 ada atau tidak ada keberpihakan pada kemanusiaan yang nyata. Juga juga apakah ada kelanjutan R20 di India tahun depan sebagai tanda bahwa paradigma inklusif moderatisme memang berlangsung.
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Direktur Riset Alpha-I (olrganisasi penerima beasiswa USAID Indonesia).
PAGELARAN Religion Twenty (R20), sebuah pertemuan tingkat tinggi pemuka agama dunia dan official engagement dari G20, telah usai di Bali (3 November 2022). Hal ini ditandai dengan penyerahan bendera secara simbolis oleh KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kepada delegasi India yang diterima oleh Sri Ram Madhav Varanasi dan His Holiness, Mahamahopadhyaya Swami Bahdreshdas.
Penyerahan bendera disaksikan seluruh peserta yang memadati Grand Ballroom Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali. Delegasi India yang menerima bendera R20 dikarenakan India akan menjadi tuan rumah R20 tahun depan yang sekaligus sebagai Presidensi G20 tahun 2023.
Setelah itu, sejumlah delegasi R20 melakukan kunjungan ke Yogyakarta. Di sana, delegasi R20 melakukan beberapa kegiatan, di antaranya merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL) R20, makan malam dan dialog, dan juga kunjungan kebudayaan ke Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Pesantren Padanaran.
Selain itu, yang penting juga dicatat adalah kunjungan delegasi R20 ke kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang memiliki sebuah situs peninggalan purbakala berwujud Candi Kimpulan di area kampus (depan perpustakaan UII). Sebuah kunjungan yang bermakna perjalanan dan pengalaman budaya yang berlandaskan keragaman.
Sebagai sebuah akibat, pemberitaan dalam dan luar negeri cukup semarak, termasuk yang pro dan kontra, puja puji dan serapah, yang menyertai perhelatan tahunan pertama tersebut. Namun, yang pasti dengan berbagai kritikan tersebut, akan dikaji dibawah, R20 menunjukkan relevansinya.
Tulisan ini hendak urun rembug mereviu dan mendiskusikan ulang pelaksanaan R20, yang mengusung tema berjudul Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solution, untuk mendapatkan sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis juga, untuk beberapa derajat akan membahas beberapa kritikan secara objektif terkait pelaksanaan R20 yang dinilai dangkal dan hanya merayakan keragaman dan tidak berpihak pada agenda kemanusiaan.
R20 memang mengambil tema Pengungkapan dan Penumbuhan Agama sebagai Sumber Solusi Global. Sebuah tema yang terkesan klasik dan out of date di tengah berbagai aksi kekerasan dan terorisme di dunia global yang berinspirasikan agama.
Sejumlah pujian dan kritikan dialamatkan kepada R20. Satu pujian misalnya dari Professor Greg Barton yang menilai kunjungan ke Candi Kimpulan sangat bermakna dari segi toleransi. Di antara kritikan yang cukup keras menggema adalah R20 hanyalah pertemuan yang merayakan keragaman dan tanpa keberpihakan pada masalah kemanusiaan.
Juga, pelibatan delegasi India, sementara di negaranya terjadi persekusi dan minoritisasi yang dialami masyarakat Muslim, dan tidak adanya kutukan terhadap berbagai aksi penindasan yang dialami komunitas agama di berbagai sudul di planet bumi.
Berbicara tentang model dan paradigma dalam dialog antaragama (interreligious dialogue) terkait dengan perubahan bisa dikategorikan menjadi tiga yakni teologis, politik, dan pembangunan perdamaian. Sederhananya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi, dialog politik dalam ilmu politik dan hubungan internasional; dan dialog pembangunan perdamaian terkait transformasi konflik.
Dialog antaragama berbasis teologi yang tradisional bertujuan untuk memahami para ulama, tokoh agama akar rumput, dan teolog, yang biasanya berbentuk makalah pertukaran, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami “yang lain”, dan akhirnya hanya merayakan keragaman. Ini kritik yang diarahkan kepada R20. Memang kelemahan pendekatan dialog tradisional, peserta tidak membahas aspek politik yang sering menjadi dasar konflik yang terjadi.
Sedangkan model kedua adalah dialog politik agama yang bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi atau harmoni sosial serta meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan. Model ini yang coba dilakukan, untuk beberapa derajat, oleh Interfaith Forum G20.
R20 dapat dikategorikan masuk pada model dialog antaragama, yang berdasarkan pembangunan perdamaian, di mana bertumpu pada model dialog sebelumnya tetapi bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Dialog agama yang disebut terakhir memiliki empat tujuan.
Pertama, mengubah sikap dan persepsi orang lain. Kedua, membangun rasa hormat dan saling pengertian. Ketiga, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Keempat, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.
Kalau jujur kita menelisik R20 dari segi asal gagasan, tujuan, format kegiatan, pembicara dan materi yang akan didiskusikan, maka R20 dapat dikategorisasikan sebagai dialog antar agama yang bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Tidak lagi dialog antaragama yang out of date, yang bersifat dangkal dan hanya merayakan perbedaan.
Dari segi gagasan saya kira pemilihan tema oleh panitia R20 adalah gagasan yang cerdas di tengah agama yang dinilai defisit dan sumber masalah, mereka berani pasang badan untuk merevitalisasi agama sebagai solusi. Kenyataannya memang, agama acap dijadikan kendaraan politik dan dimanipulasi oleh elite politik untuk kepentingan politik ekonomi yang sektarian.
Tujuan R20 juga menjamin agama dapat berfungsi sebagai sumber solusi yang murni di abad 21. Hal itu dibuktikan dengan mengundang pemuka agama yang datang dari berbagai wilayah serta secara jujur mengakui bahwa agama pernah diperalat untuk tujuan-tujuan politik yang mengorbankan manusia.
Aspek pengakuan ini misalnya diungkapkan Dr. Jacqueline C. Rivers, Executive Director, Seymour Institute for Black Church and Policy Studies (Jamaica) “From Truth to Reconciliation, Forgiveness, and Peaceful Co-Existence”. Saya berkesempatan makan siang dengan Jacquai dalam acara R20 dan mendengarkan pandangannya tentang R20. Dalam perjumpaan itu, dia menekankan bahwa kita bisa menghasilkan suatu dunia di mana manusia yang beragama bisa hidup berdampingan dengan damai.
“Ketika Indonesia memainka peran penting dalam pergerakan global, ada peran yang bisa saya lakukan yakni membawa suatu niatan dari dunia barat. kita perlu mengakui semua konflik yang terjadi bagi orang-orang Kristiani. Pengakuan adalah hal paling mendasar sebelum melanjutkan ke langkah selanjutnya. Abraham Lincoln mengatakan bahwa setiap tetesan darah dalam perbudakan, perang dunia, yang kita perlu ingat bahwa Tuhan itu adil. Dia akan membalas semua tindakan perbudakan yang keji dan kejam, kita perlu menghapus semua bentuk diskriminasi dan perbudakan”, katanya dengan meyakinkan.
Peran R20 adalah untuk memfasilitasi percakapan. Faktor terakhir adalah mengampuni, di mana kita perlu mengampuni diri kita sendiri dan mengampuni orang lain, karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni kita.
Para pembicara lain dari berbagai dunia juga mengungkapkan hal yang senada. Singkatnya, model dialog agama yang dikembangkan R20 adalah model dialog agama yang pro pembangunan perdamaian.
Sementara, pelibatan delegasi India dalam R20, selain sebagai presidensi G20 tahun depan, pelibatan mereka dalam diskusi adalah bagian dari perjumpaan untuk saling berdialog. Juga dilihat dari kerangka paradigma inklusif moderatisme, pelibatan kelompok-kelompok radikal dalam sebuah komuniktas atau lingkungan yang plural dapat membuat perubahan paradigma dan perilaku.
Untuk hal ini, kita masih menunggu apakah memang ada perubahan dalam policy dari pemerintah India terhadap minoritisasi yang dilakukan terhadap minoritas Muslim. Juga, secara tidak langsung, pembelaan terhadap komunitas agama yang mengalami persekusi, meski tidak eksplisit, terwujud dalam poin komunike yang disepakati para delegasi R20.
Sebagai sebuah pagelaran tahunan pertama dan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, R20 di Indonesia mungkin terlalu dini dinilai sebagai sebuah pertemuan yang dangkal, tidak berpihak pada kemanusiaan, dan melibatkan delegasi yang pro kekerasan.
Sikap yang bijaksana dan elegan tentunya adalah memberi kesempatan untuk melihat apakah pasca-R20 ada atau tidak ada keberpihakan pada kemanusiaan yang nyata. Juga juga apakah ada kelanjutan R20 di India tahun depan sebagai tanda bahwa paradigma inklusif moderatisme memang berlangsung.
(poe)