Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Jamin Kepastian Berusaha?
loading...
A
A
A
Di Indonesia, pabrikan rokok nasional berulang kali mengeluhkan penurunan akibat peredaran rokok ilegal. Hal ini karena banyaknya rokok ilegal yang beredar di Indonesia dijual dengan harga sekitar 50% lebih murah dari rokok yang dikenakan cukai, pajak rokok dan PPN.
Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) pada 2021, disebutkan bahwa jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah dari pada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai.
Temuan lain, jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai. Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah dari pada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat.
Pada kondisi ketika terjadi kenaikan tarif cukai, pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah terhadap peredaran rokok ilegal sangat diperlukan. Efektivitas penindakan rokok ilegal akan sangat berperan dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai
Tak dapat dimungkiri, saat ini 90% porsi penerimaan negara bertumpuk pada pajak dan cukai termasuk cukai hasil tembakau. Selama ini komponen nilai penerimaan cukai terbesar masih ditopang oleh CHT. Rata-rata kontribusi penerimaan CHT terhadap total penerimaan cukai mencapai 97% pada 2021. Di sisi lain, cukai etil alkohol dan minuman beralkohol hingga kini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 3% dari total penerimaan cukai.
Pemerintah tak bisa terus menerus menggantungkan penerimaan cukai pada CHT. Berdasarkan catatan Bea dan Cukai, tarif CHT saat ini telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Kebijakan tarif cukai hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dengan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Di sisi lain, hasil riset Forum for Socio-Economic Studies(FOSES)menunjukkan, kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu berpengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga mencatat, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016-2018 akibat kenaikan cukai rokok. Padahal, sektor IHT dari hulu–hilir sedikitnya telah menyerap enam juta orang.
Oleh sebab itu, eksplorasi mencari objek Barang Kena Cukai (BKC) mutlak perlu segera dilakukan pemerintah. Pengenaan BKC dimaksudkan untuk membatasi peredaran dan konsumsi barang-barang yang dianggap menganggu kesehatan serta berdampak eksternalitas negatif seperti misalnya kerusakan lingkungan.
Dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk negara yang sangat selektif dalam memungut cukai, terbukti dari barang kena cukai yang hingga saat ini masih dikenakan pada tiga jenis barang yaitu etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan hasil tembakau.
Terbaru, pemerintah juga telah menambahkan cukai plastik sebagai salah satu komponen barang kena cukai. Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan ekstensifikasi objek cukai pada 2022 di antaranya cukai atas produk plastik. Perluasan basis cukai juga merupakan bagian dari upaya mengejar target penerimaan pemerintah melalui cukai.
Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) pada 2021, disebutkan bahwa jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah dari pada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai.
Temuan lain, jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai. Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah dari pada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat.
Pada kondisi ketika terjadi kenaikan tarif cukai, pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah terhadap peredaran rokok ilegal sangat diperlukan. Efektivitas penindakan rokok ilegal akan sangat berperan dalam menekan peredaran rokok ilegal.
Ekstensifikasi Barang Kena Cukai
Tak dapat dimungkiri, saat ini 90% porsi penerimaan negara bertumpuk pada pajak dan cukai termasuk cukai hasil tembakau. Selama ini komponen nilai penerimaan cukai terbesar masih ditopang oleh CHT. Rata-rata kontribusi penerimaan CHT terhadap total penerimaan cukai mencapai 97% pada 2021. Di sisi lain, cukai etil alkohol dan minuman beralkohol hingga kini hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 3% dari total penerimaan cukai.
Pemerintah tak bisa terus menerus menggantungkan penerimaan cukai pada CHT. Berdasarkan catatan Bea dan Cukai, tarif CHT saat ini telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Kebijakan tarif cukai hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dengan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Di sisi lain, hasil riset Forum for Socio-Economic Studies(FOSES)menunjukkan, kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu berpengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga mencatat, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016-2018 akibat kenaikan cukai rokok. Padahal, sektor IHT dari hulu–hilir sedikitnya telah menyerap enam juta orang.
Oleh sebab itu, eksplorasi mencari objek Barang Kena Cukai (BKC) mutlak perlu segera dilakukan pemerintah. Pengenaan BKC dimaksudkan untuk membatasi peredaran dan konsumsi barang-barang yang dianggap menganggu kesehatan serta berdampak eksternalitas negatif seperti misalnya kerusakan lingkungan.
Dibanding dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk negara yang sangat selektif dalam memungut cukai, terbukti dari barang kena cukai yang hingga saat ini masih dikenakan pada tiga jenis barang yaitu etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan hasil tembakau.
Terbaru, pemerintah juga telah menambahkan cukai plastik sebagai salah satu komponen barang kena cukai. Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan ekstensifikasi objek cukai pada 2022 di antaranya cukai atas produk plastik. Perluasan basis cukai juga merupakan bagian dari upaya mengejar target penerimaan pemerintah melalui cukai.