Penerapan Pajak Rokok Elektronik pada 2024 Dinilai memberatkan Pelaku UMKM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana pengenaan pajak rokok elektronik pada 2024 menuai keberatan dari para pelaku industri. Sebab dinilai akan semakin membebani sektor yang baru mulai bertumbuh dan didominasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Selain itu, industri menilai rencana pengenaan pajak rokok elektronik tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan justru menunjukkan ketidakadilan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengatakan pihaknya menilai pemberlakuan pajak rokok elektronik pada 2024 ini minim sosialisasi dan memberatkan pelaku usaha.
Menurut Garindra, industri rokok elektronik saat ini masih merasakan tekanan yang ditimbulkan oleh penetapan kenaikan tarif cukai sebesar 15% pada 2023 dan 2024. “Apalagi kalau ditambah pemberlakuan pajak rokok yang tarifnya 10% dari cukai, rokok elektronik akan terkena kenaikan pajak nyaris 30%. Ini tidak adil dan menyengsarakan bagi industri baru yang mayoritas pelakunya UMKM,” katanya.
Garindra menjelaskan, merujuk pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, objek pajak rokok antara lain adalah sigaret, cerutu, rokok daun dan bentuk rokok lainnya yang dikenakan cukai rokok.
“Rokok elektronik memiliki bentuk dan cara kerja yang berbeda serta menghasilkan keluaran yang juga berbeda. Hal ini menjadi pertanyaan kami mengapa kami dianggap bentuk rokok lainnya sehingga bisa dikenakan pajak rokok,” katanya.
Garindra berharap pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dapat lebih adil dalam memberlakukan pajak rokok elektronik
“Saat pajak rokok diberlakukan pada rokok konvensional, diberikan masa peralihan selama 5 tahun. Pada saat implementasi pajak rokok pertama kali di 2014, tidak ada kenaikan cukai untuk mencegah triple-hit dari kenaikan cukai, harga jual eceran (HJE), dan pajak rokok, di mana ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi harga jual yang kemudian menurunkan daya beli konsumen,” imbuhnya.
APVI sejatinya berharap, perumusan kebijakan dilakukan secara terbuka dan transparan khususnya pada pelaku industri yang akan terdampak.
“Sangat disayangkan bahwa hingga saat ini APVI tidak pernah diajak berkomunikasi tentang rencana implementasi pajak rokok elektronik, terlebih rencananya pajak rokok ini akan diimplementasikan sangat mendadak di tahun 2024. Ini akan sangat memukul seluruh industri rokok elektronik dan vape,” katanya.
Dia mengaku keberatan dengan rencana kenaikan tersebut. Terlebih rencana kenaikan tersebut masih minim sosialisasi. ”Kami keberatan dengan pemberlakuan pajak rokok untuk rokok elektronik di tahun 2024 karena minim sosialisasi. Kebijakan yang tiba-tiba tanpa komunikasi ini sangat tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan,” ungkapnya.
Selain itu, industri menilai rencana pengenaan pajak rokok elektronik tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan justru menunjukkan ketidakadilan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengatakan pihaknya menilai pemberlakuan pajak rokok elektronik pada 2024 ini minim sosialisasi dan memberatkan pelaku usaha.
Menurut Garindra, industri rokok elektronik saat ini masih merasakan tekanan yang ditimbulkan oleh penetapan kenaikan tarif cukai sebesar 15% pada 2023 dan 2024. “Apalagi kalau ditambah pemberlakuan pajak rokok yang tarifnya 10% dari cukai, rokok elektronik akan terkena kenaikan pajak nyaris 30%. Ini tidak adil dan menyengsarakan bagi industri baru yang mayoritas pelakunya UMKM,” katanya.
Garindra menjelaskan, merujuk pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, objek pajak rokok antara lain adalah sigaret, cerutu, rokok daun dan bentuk rokok lainnya yang dikenakan cukai rokok.
“Rokok elektronik memiliki bentuk dan cara kerja yang berbeda serta menghasilkan keluaran yang juga berbeda. Hal ini menjadi pertanyaan kami mengapa kami dianggap bentuk rokok lainnya sehingga bisa dikenakan pajak rokok,” katanya.
Garindra berharap pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dapat lebih adil dalam memberlakukan pajak rokok elektronik
“Saat pajak rokok diberlakukan pada rokok konvensional, diberikan masa peralihan selama 5 tahun. Pada saat implementasi pajak rokok pertama kali di 2014, tidak ada kenaikan cukai untuk mencegah triple-hit dari kenaikan cukai, harga jual eceran (HJE), dan pajak rokok, di mana ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi harga jual yang kemudian menurunkan daya beli konsumen,” imbuhnya.
APVI sejatinya berharap, perumusan kebijakan dilakukan secara terbuka dan transparan khususnya pada pelaku industri yang akan terdampak.
“Sangat disayangkan bahwa hingga saat ini APVI tidak pernah diajak berkomunikasi tentang rencana implementasi pajak rokok elektronik, terlebih rencananya pajak rokok ini akan diimplementasikan sangat mendadak di tahun 2024. Ini akan sangat memukul seluruh industri rokok elektronik dan vape,” katanya.
Dia mengaku keberatan dengan rencana kenaikan tersebut. Terlebih rencana kenaikan tersebut masih minim sosialisasi. ”Kami keberatan dengan pemberlakuan pajak rokok untuk rokok elektronik di tahun 2024 karena minim sosialisasi. Kebijakan yang tiba-tiba tanpa komunikasi ini sangat tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan,” ungkapnya.
(cip)