Polemik Barang Kena Cukai di Indonesia

Senin, 18 Maret 2024 - 07:05 WIB
loading...
Polemik Barang Kena Cukai di Indonesia
Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Candra Fajri Ananda. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

CUKAI , sebuah instrumen kebijakan yang telah dikenal luas di banyak negara. Sejarah mencatat bahwa cukai merupakan salah satu jenis pajak tertua di dunia. Berdasarkan literatur sejarah, praktik pungutan cukai pertama kali diperkenalkan pada masa dinasi Han di China (206 SM-221 M), yang menerapkan pungutan cukai teh, alkohol, rokok, dan ikan. Pun, pada masa kekaisaran Maurya di era India Kuno (322 SM), cukai dipungut untuk komoditas pewarna, bahan pakaian, dan parfum.

Pada dasarnya, tujuan utama dari penerapan cukai adalah untuk mengatur dan mengendalikan konsumsi barang-barang yang dianggap berpotensi merugikan bagi masyarakat. Tidak semua barang konsumsi di dunia ini memberi dampak positif terhadap masyarakat. Sebagian, justru memberi dampak buruk ketika dikonsumsi berlebihan sehingga berdampak pula pada tingginya beban kesehatan akibat penyakit di beberapa pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, selain melalui kebijakan kesehatan, pemerintah membangun mekanisme untuk mengendalikan konsumsi, salah satu caranya melalui penerapan cukai.

Barang-barang tertentu yang dikenai cukai disebut sebagai Barang Kena Cukai (BKC). Berdasarkan Pasal 2 UU No. 39 Tahun 2007, barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, seperti konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemantauannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat ataupun lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Artinya, penerapan cukai pada barang-barang tersebut tidak hanya bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat semata, tetapi juga untuk mempromosikan perilaku konsumsi yang lebih sehat secara keseluruhan.

Cukai dalam Minuman Berpemanis

Baru-baru ini, kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis tengah menjadi perbincangan hangat. Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah mulai menghitung dan menyosialisasikan pengenaan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan. Data International Diabetes Federation (IDF) mencatat bahwa di tahun 2022 terdapat 41,8 ribu orang di Indonesia terjangkit diabetes tipe 1. Alhasil, angka tersebut mutlak menjadikan Indonesia sebagai penderita diabetes terbanyak di ASEAN.

Oleh sebab itu, konsumsi minuman berpemanis tersebut perlu dikendalikan karena alasan kesehatan, yakni mencegah berbagai risiko penyakit tidak menular yang disebabkan oleh konsumsi gula berlebih. Penerapan cukai pada produk tersebut direkomendasikan untuk menekan risiko obesitas serta penyakit tidak menular, seperti diabetes, kerusakan liver dan ginjal, jantung, serta beberapa jenis kanker.

Cukai diharapkan dapat mengendalikan konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sehingga mengurangi beban pembiayaan kesehatan. Selain itu, cukai diharapkan menambah pemasukan negara yang dapat digunakan untuk memperkuat upaya pencegahan penyakit.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan metoda random forest, faktor dominan penyebab terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia adalah pendapatan rumah tangga, makanan dan minuman berpemanis, kurangnya konsumsi sayur. Berdasarkan hasil penelitian Della Corte (2023) menunjukkan bahwa konsumsi makanan dan minuman berpemanis terlebih yang mengandung gula tambahan memiliki hubungan positif dengan persentase lemak tubuh, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan Indeks Glikemik.

Artinya, kontribusi konsumsi tersebut terhadap risiko penyakit kronis terjadi melalui penambahan berat badan, pengembangan faktor risiko yang dipicu oleh efek Glikemik yang merugikan, dan metabolisme hati dari kelebihan fruktosa dari gula makanan dan minuman tersebut.

Lebih lanjut, dalam penelitian Stern (2019) menemukan hasil bahwa setiap tambahan porsi soda manis per hari dikaitkan dengan peningkatan dari 27% kejadian Diabetes Melitus. Hal serupa terjadi dengan risiko penyakit Hipertensi yang mana individu yang mengonsumsi ≥ 1 minuman ringan per hari memiliki risiko 22% lebih tinggi (≥ 135/85 mm hg atau pada pengobatan) dibandingkan dengan non konsumen.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1221 seconds (0.1#10.140)