Belajar dari Tragedi Hillsborough
loading...
A
A
A
Subhan Setowara
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Lulusan University of Nottingham
“The death of one man is a tragedy, the death of a million is a statistic” (Josef Stalin)
SEBAGAI pencinta sepak bola, saya sama sekali tak membayangkan bahwa kejadian serupa tragedi Hillsborough bakal terjadi di Indonesia, lebih-lebih di tempat di mana saya tinggal, Malang. Apalagi, dengan korban jiwa yang jauh lebih banyak. Sungguh tragis.
Priceonomics mencatat bahwa pertandingan sepak bola paling mematikan dalam sejarah, yaitu tragedi Estadio Nacional di Peru pada 1964 dengan 328 korban jiwa, diikuti bencana Accra Sports Stadium di Ghana pada 2001 dengan 126 korban jiwa, dan tragedi Hillsborough di Inggris pada 1989 dengan 97 korban jiwa.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dari tiga bencana itu, tragedi Hillsborough patut menjadi catatan tersendiri, setidaknya karena tiga hal. Pertama, karena terjadi di kejuaraan kasta tertinggi dari salah satu negara yang menjadi kiblat sepak bola dunia, Inggris.
Kedua, perilaku suporter semula ditetapkan sebagai penyebab utama kejadian tersebut sebelum akhirnya direvisi 25 tahun kemudian. Ketiga, respons penanganan yang jauh lebih baik ketimbang tragedi di Peru dan Ghana, ditandai dengan perubahan signifikan dalam hal regulasi dan manajemen.
Dalam berbagai kasus itu, suporter senantiasa menjadi kelompok terentan, sekaligus paling aman untuk dikambinghitamkan. Dalam tragedi Hillsborough, setelah pertandingan antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989, dilakukan investigasi mendalam hingga pada 1991 diputuskan vonis akhir yaitu kematian karena kecelakaan (accidental death). Kematian itu dipandang sebagai kelalaian suporter.
Keluarga korban menolak pernyataan tersebut dan berjuang agar kasus dibuka kembali. Namun, pada 1997 Hakim Agung Stuart-Smith menegaskan bahwa kasus tersebut tertutup untuk penyelidikan baru. Namun, setelah ditemukan berbagai informasi terbaru, kasus dibuka lagi.
Pemeriksaan tahap kedua lalu diadakan pada 1 April 2014 hingga 26 April 2016 dan menghasilkan keputusan berbeda, yakni para suporter dibunuh secara tidak sah (unlawfully killed) karena kegagalan polisi untuk memenuhi tugas pengamanan. Hasil investigasi juga menemukan bahwa desain stadion berkontribusi terhadap tragedi itu dan karenanya para suporter tidak dapat disalahkan dalam kejadian tersebut.
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Lulusan University of Nottingham
“The death of one man is a tragedy, the death of a million is a statistic” (Josef Stalin)
SEBAGAI pencinta sepak bola, saya sama sekali tak membayangkan bahwa kejadian serupa tragedi Hillsborough bakal terjadi di Indonesia, lebih-lebih di tempat di mana saya tinggal, Malang. Apalagi, dengan korban jiwa yang jauh lebih banyak. Sungguh tragis.
Priceonomics mencatat bahwa pertandingan sepak bola paling mematikan dalam sejarah, yaitu tragedi Estadio Nacional di Peru pada 1964 dengan 328 korban jiwa, diikuti bencana Accra Sports Stadium di Ghana pada 2001 dengan 126 korban jiwa, dan tragedi Hillsborough di Inggris pada 1989 dengan 97 korban jiwa.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dari tiga bencana itu, tragedi Hillsborough patut menjadi catatan tersendiri, setidaknya karena tiga hal. Pertama, karena terjadi di kejuaraan kasta tertinggi dari salah satu negara yang menjadi kiblat sepak bola dunia, Inggris.
Kedua, perilaku suporter semula ditetapkan sebagai penyebab utama kejadian tersebut sebelum akhirnya direvisi 25 tahun kemudian. Ketiga, respons penanganan yang jauh lebih baik ketimbang tragedi di Peru dan Ghana, ditandai dengan perubahan signifikan dalam hal regulasi dan manajemen.
Dalam berbagai kasus itu, suporter senantiasa menjadi kelompok terentan, sekaligus paling aman untuk dikambinghitamkan. Dalam tragedi Hillsborough, setelah pertandingan antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989, dilakukan investigasi mendalam hingga pada 1991 diputuskan vonis akhir yaitu kematian karena kecelakaan (accidental death). Kematian itu dipandang sebagai kelalaian suporter.
Keluarga korban menolak pernyataan tersebut dan berjuang agar kasus dibuka kembali. Namun, pada 1997 Hakim Agung Stuart-Smith menegaskan bahwa kasus tersebut tertutup untuk penyelidikan baru. Namun, setelah ditemukan berbagai informasi terbaru, kasus dibuka lagi.
Pemeriksaan tahap kedua lalu diadakan pada 1 April 2014 hingga 26 April 2016 dan menghasilkan keputusan berbeda, yakni para suporter dibunuh secara tidak sah (unlawfully killed) karena kegagalan polisi untuk memenuhi tugas pengamanan. Hasil investigasi juga menemukan bahwa desain stadion berkontribusi terhadap tragedi itu dan karenanya para suporter tidak dapat disalahkan dalam kejadian tersebut.