Belajar dari Tragedi Hillsborough

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 04:43 WIB
loading...
A A A
Artinya, dalam rentang waktu 25 tahun, yaitu antara 1991 hingga 2016, perilaku suporter dipandang sebagai biang dari tragedi tersebut, sebelum akhirnya direvisi. Sepanjang lebih dari dua dekade itu, sebagaimana dicatat BBC (2016), setidaknya berkembang lima kebohongan tentang perilaku suporter Liverpool yang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kasus tersebut.

Pertama, suporter Liverpool datang terlambat dan tanpa tiket. Kedua, suporter mabuk menjadi penyebab bencana. Ketiga, suporter menyerbu gerbang dan memaksa dibuka. Keempat, Hooliganisme penyebab bencana Hillsborough. Kelima, suporter mengganggu dan mengencingi polisi yang berusaha membantu korban.

Tentu kita tak ingin hal itu terjadi dalam tragedi Kanjuruhan. Harus ada investigasi terbuka hingga banyak pihak tak semena-mena dan serta-merta menyalahkan perilaku suporter. Dalam hal ini, benar bahwa suporter punya andil karena tidak dibenarkan untuk menyerbu lapangan setelah pertandingan. Namun, apakah itu yang menjadi penyebab kematian? Tentu tidak.

Dalam berbagai pertandingan, suporter juga melakukan hal serupa dan tidak menyebabkan korban jiwa. Misalnya ketika Persebaya tumbang oleh Rans FC, penonton menyerbu lapangan dan meluapkan protes, tapi nyatanya tak ada korban jiwa. Semua pihak harus diinvestigasi secara berimbang: polisi, panitia pelaksana (panpel), PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator, hingga pemegang hak siar dan PSSI.

Jika kita runut dari awal, polisi adalah yang paling berwenang memberikan izin. Polisi meminta agar pertandingan tidak dilaksanakan malam hari, melainkan sore hari. Panpel lantas mengajukan kepada PT LIB. Nyatanya, PT LIB menolak. Anehnya, polisi akhirnya tetap mengizinkan. Terlepas ada negosiasi apa di balik itu. Ditambah lagi, panpel mencetak tiket yang melebihi kapasitas stadion.

Berikutnya, suporter yang emosional timnya kalah menyerbu lapangan. Berbagai hal terjadi, namun yang paling jelas adalah polisi menembakkan gas air mata, tak hanya ke lapangan, tapi juga ke arah tribun. Sesuai regulasi FIFA, penggunaan gas air mata di lapangan tak diperbolehkan karena melanggar kode keamanan FIFA, lebih tepatnya FIFA Stadium Safety and Security Regulation.

Karena itu, perihal kunci dalam kejadian ini adalah bagaimana respons yang berwenang dalam melakukan langkah-langkah berikutnya. Mulai dari soal investigasi, penanganan korban, proses hukum bagi yang terlibat, hingga ihwal yang berdampak jangka panjang seperti pembaruan regulasi dan perombakan manajemen.

Pascatragedi Hillsborough pada 1989, pada tahun yang sama parlemen Inggris menerbitkan undang-undang bernama Football Spectators Act (FSA) 1989, lalu diamendemen pada 1991 dengan keluarnya Football Offences Act, dilanjutkan dengan Football (Disorder) Act 2000 dan Violent Crime Reduction Act 2006.

Di Inggris juga dibentuk Football Intelligences Unit yang dibentuk di bawah National Crime Intelligence Service untuk menangani persoalan suporter. Unit gabungan ini dibentuk melibatkan polisi, organisasi suporter, dan klub sepak bola untuk memberikan masukan tentang apa yang harus dibenahi dan diawasi secara ketat.

Di Indonesia, regulasinya jauh dari kata layak. Sudah begitu, regulasi yang seadanya itu tak sepenuhnya ditegakkan. Jika ini dibiarkan, maka akan terjadi apa yang dikatakan tokoh revolusioner Uni Soviet Josef Stalin: “The death of one man is a tragedy, the death of a million is a statistic” (Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1287 seconds (0.1#10.140)