Penolakan Rumah Ibadah dan Absolutisme Beragama
loading...
A
A
A
Harus diakui, fenomena beragama di Republik ini mengalami jalan terjal. Kedewasaan beragama kalah oleh kepentingan kejumawaan dalam beragama. Saat absolutisme beragama telah menjadi pegangan kuat, maka yang terjadi adalah intoleransi yang menafikan pelbagai kekayaan dan keragaman pendapat.
Realitas ini diperparah oleh keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup dan legal-formal. Padahal, dinamika perkembangan masyarakat terus berubah dan meluas. Dalam negara bangsa modern, yang menjadi perhatian adalah kesetaraan seluruh warga negara, apa pun suku dan agamanya. Tidak ada pembeda dan juga tidak ada kelas warga utama atau warga kelas bawah.
Kini umat beragama di Republik ini sebagian besar berada dalam lingkungan masyarakat multikultural. Pada titik ini, yang diperlukan adalah cara pandang yang memperhatikan pada teks, konstitusi negara, kearifan lokal, dan konsensus bersama.
Dalam konteks kearifan lokal, bukan memaksakan terhadap penyeragaman kondisi masa lalu dan masa kini. Kearifan lokal lebih menekankan pada pengetahuan integral atas budaya tertentu yang bertransformasi secara lintas budaya dan di dalamnya tercermin nilai-nilai (values) kebajikan.
Hal yang diperlukan adalah rekonstruksi berpikir untuk membuka mata hati akan keragaman umat beragama dengan nalar keagamaan yang objektif, humanis, dan toleran.
Kehadiran Negara
Polemik sebagaimana yang tergambar di atas menambah deretan luka kelam perjalanan kebangsaan di Republik ini, khususnya yang berkaitan dengan masalah keberagamaan. Derita dan konflik dalam masalah keberagamaan seringkali terjadi dalam lanskap kutub anak bangsa yang berada dalam ruang kontestasi mayoritas dan minoritas.
Kelompok minoritas kerapkali mengalami diskriminasi, teror politik, sasaran kecaman dan penghukuman (condemnation), dan pencemaran nama baik (denigration), bahkan juga menjadi sasaran penindasan rasial-etnis yang lahir dari kecemasan budaya. Pola relasi sentimental antara minoritas-mayoritas terbangun oleh wujud eksistensial yang berujung pengucilan dan peminggiran di atas keragaman bangsa.
Karena itu, penolakan atas rencana pendirian gereja yang muncul dari kelompok tertentu dan diduga ada keterlibatan pejabat negara di dalamnya telah mencoreng kebinekaan bangsa. Jika ditelusuri lebih mendalam, pada kontestasi atas kelompok mayoritas-minoritas itu seringkali tersusupi oleh kalangan yang hendak membawa Indonesia pada tujuan tertentu.
Kehadiran negara dengan ketegasannya menjadi keniscayaan untuk keluar dalam kemelut persoalan yang tak pernah berakhir ini. Artinya, perangkat kenegaraan mulai dari paling bawah: lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, semuanya memiliki tugas yang sama untuk memastikan pemenuhan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan tanpa ada diskriminasi.
Negara tidak boleh berkompromi dengan kelompok tertentu yang berkeinginan untuk merusak tatanan kebangsaan. Negara harus hadir secara objektif dan tidak tunduk pada satu tekanan untuk diperalat atas kepentingan kelompok tertentu.
Kondisi kebebasan beragama semestinya mendapatkan jaminan utuh dari negara. Perlindungan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan ditempatkan pada nalar bernegara dan beragama yang moderat.
Realitas ini diperparah oleh keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup dan legal-formal. Padahal, dinamika perkembangan masyarakat terus berubah dan meluas. Dalam negara bangsa modern, yang menjadi perhatian adalah kesetaraan seluruh warga negara, apa pun suku dan agamanya. Tidak ada pembeda dan juga tidak ada kelas warga utama atau warga kelas bawah.
Kini umat beragama di Republik ini sebagian besar berada dalam lingkungan masyarakat multikultural. Pada titik ini, yang diperlukan adalah cara pandang yang memperhatikan pada teks, konstitusi negara, kearifan lokal, dan konsensus bersama.
Dalam konteks kearifan lokal, bukan memaksakan terhadap penyeragaman kondisi masa lalu dan masa kini. Kearifan lokal lebih menekankan pada pengetahuan integral atas budaya tertentu yang bertransformasi secara lintas budaya dan di dalamnya tercermin nilai-nilai (values) kebajikan.
Hal yang diperlukan adalah rekonstruksi berpikir untuk membuka mata hati akan keragaman umat beragama dengan nalar keagamaan yang objektif, humanis, dan toleran.
Kehadiran Negara
Polemik sebagaimana yang tergambar di atas menambah deretan luka kelam perjalanan kebangsaan di Republik ini, khususnya yang berkaitan dengan masalah keberagamaan. Derita dan konflik dalam masalah keberagamaan seringkali terjadi dalam lanskap kutub anak bangsa yang berada dalam ruang kontestasi mayoritas dan minoritas.
Kelompok minoritas kerapkali mengalami diskriminasi, teror politik, sasaran kecaman dan penghukuman (condemnation), dan pencemaran nama baik (denigration), bahkan juga menjadi sasaran penindasan rasial-etnis yang lahir dari kecemasan budaya. Pola relasi sentimental antara minoritas-mayoritas terbangun oleh wujud eksistensial yang berujung pengucilan dan peminggiran di atas keragaman bangsa.
Karena itu, penolakan atas rencana pendirian gereja yang muncul dari kelompok tertentu dan diduga ada keterlibatan pejabat negara di dalamnya telah mencoreng kebinekaan bangsa. Jika ditelusuri lebih mendalam, pada kontestasi atas kelompok mayoritas-minoritas itu seringkali tersusupi oleh kalangan yang hendak membawa Indonesia pada tujuan tertentu.
Kehadiran negara dengan ketegasannya menjadi keniscayaan untuk keluar dalam kemelut persoalan yang tak pernah berakhir ini. Artinya, perangkat kenegaraan mulai dari paling bawah: lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, semuanya memiliki tugas yang sama untuk memastikan pemenuhan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan tanpa ada diskriminasi.
Negara tidak boleh berkompromi dengan kelompok tertentu yang berkeinginan untuk merusak tatanan kebangsaan. Negara harus hadir secara objektif dan tidak tunduk pada satu tekanan untuk diperalat atas kepentingan kelompok tertentu.
Kondisi kebebasan beragama semestinya mendapatkan jaminan utuh dari negara. Perlindungan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan ditempatkan pada nalar bernegara dan beragama yang moderat.