Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para siswa untuk belajar dan mengembangkan diri. Hal ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan, mengingat maraknya isu intoleransi, kekerasan, dan bullying di sejumlah sekolah di Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya serius dari para guru dan seluruh pihak terkait untuk menciptakan atmosfer sekolah yang bebas dari ketiga masalah tersebut.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kasubdit Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kolonel Cpl Hendro Wicaksono dalam sambutannya saat membuka Pelatihan Guru Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying. Kegiatan yang merupakan bagian dari Program Sekolah Damai BNPT ini diselenggarakan di Aula SMK Negeri 2, Manokwari, Rabu (13/11/2024), dan dihadiri oleh hampir 100 guru dari berbagai SMA/SMK di Papua Barat.
Menurut Kolonel Hendro, sekolah seharusnya menjadi tempat yang mendidik siswa untuk memiliki karakter positif yang dapat menunjang masa depan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa masalah intoleransi, kekerasan, dan bullying yang terjadi di beberapa sekolah mengancam kenyamanan dan keamanan siswa.
"Lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman untuk menuntut ilmu. Jangan biarkan ajaran intoleransi, kekerasan, dan bullying berkembang di sekolah karena dampaknya bisa merugikan siswa dan bangsa ini," ujarnya.
Kolonel Hendro juga mengutip data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatatkan adanya sekitar 3.800 kasus bullying di Indonesia sepanjang 2023. Angka ini mengalami lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Bentuk bullying yang terjadi beragam, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga psikologis, dengan lebih dari setengah kasus melibatkan kekerasan fisik.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar korban bullying adalah siswa Sekolah Dasar (SD), yang mencapai 26%, diikuti oleh siswa SMP dan SMA. "Dampaknya sangat besar, tidak hanya merusak mental dan kepercayaan diri korban, tetapi juga mengganggu proses belajar mengajar," tegas Kolonel Hendro.
Seiring dengan itu, peran guru sangat penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman. Menurutnya, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik akademis, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan sosial bagi siswa. "Bapak/ibu guru adalah panutan bagi siswa. Kehadiran Anda sangat berarti untuk membimbing mereka, bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam hal nilai-nilai sosial yang positif," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, Abdul Fatah, S.Pd., MM., menegaskan pentingnya keterlibatan semua pihak, terutama para guru, dalam memerangi radikalisasi dan terorisme. "Terorisme adalah ancaman bagi negara, dan kita sebagai pemerintah, guru, dan masyarakat harus bersatu dalam memeranginya. Guru harus bisa mengenali tanda-tanda intoleransi dan radikalisasi yang muncul di lingkungan sekolah," ujarnya.
Abdul Fatah juga mengakui adanya tantangan besar dalam dunia pendidikan saat ini, salah satunya adalah adanya kekhawatiran dari orang tua atau keluarga terkait tindakan guru yang dianggap berisiko menimbulkan masalah hukum. Namun, ia menegaskan bahwa selama tindakan yang diambil untuk mendidik siswa tidak merugikan secara fisik atau fatal, guru seharusnya tidak perlu merasa khawatir.
Lebih lanjut, pelatihan bagi guru ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas mereka untuk mengenali, menangani, dan mencegah terjadinya perundungan dan intoleransi di sekolah. "Melalui pelatihan ini, mari kita wujudkan lingkungan sekolah di Papua Barat yang aman, ramah, dan penuh semangat toleransi. Guru harus ada di garda terdepan dalam membimbing generasi penerus bangsa," tambahnya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kasubdit Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kolonel Cpl Hendro Wicaksono dalam sambutannya saat membuka Pelatihan Guru Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying. Kegiatan yang merupakan bagian dari Program Sekolah Damai BNPT ini diselenggarakan di Aula SMK Negeri 2, Manokwari, Rabu (13/11/2024), dan dihadiri oleh hampir 100 guru dari berbagai SMA/SMK di Papua Barat.
Menurut Kolonel Hendro, sekolah seharusnya menjadi tempat yang mendidik siswa untuk memiliki karakter positif yang dapat menunjang masa depan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa masalah intoleransi, kekerasan, dan bullying yang terjadi di beberapa sekolah mengancam kenyamanan dan keamanan siswa.
"Lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman untuk menuntut ilmu. Jangan biarkan ajaran intoleransi, kekerasan, dan bullying berkembang di sekolah karena dampaknya bisa merugikan siswa dan bangsa ini," ujarnya.
Kolonel Hendro juga mengutip data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatatkan adanya sekitar 3.800 kasus bullying di Indonesia sepanjang 2023. Angka ini mengalami lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Bentuk bullying yang terjadi beragam, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga psikologis, dengan lebih dari setengah kasus melibatkan kekerasan fisik.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar korban bullying adalah siswa Sekolah Dasar (SD), yang mencapai 26%, diikuti oleh siswa SMP dan SMA. "Dampaknya sangat besar, tidak hanya merusak mental dan kepercayaan diri korban, tetapi juga mengganggu proses belajar mengajar," tegas Kolonel Hendro.
Seiring dengan itu, peran guru sangat penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman. Menurutnya, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik akademis, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan sosial bagi siswa. "Bapak/ibu guru adalah panutan bagi siswa. Kehadiran Anda sangat berarti untuk membimbing mereka, bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam hal nilai-nilai sosial yang positif," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, Abdul Fatah, S.Pd., MM., menegaskan pentingnya keterlibatan semua pihak, terutama para guru, dalam memerangi radikalisasi dan terorisme. "Terorisme adalah ancaman bagi negara, dan kita sebagai pemerintah, guru, dan masyarakat harus bersatu dalam memeranginya. Guru harus bisa mengenali tanda-tanda intoleransi dan radikalisasi yang muncul di lingkungan sekolah," ujarnya.
Abdul Fatah juga mengakui adanya tantangan besar dalam dunia pendidikan saat ini, salah satunya adalah adanya kekhawatiran dari orang tua atau keluarga terkait tindakan guru yang dianggap berisiko menimbulkan masalah hukum. Namun, ia menegaskan bahwa selama tindakan yang diambil untuk mendidik siswa tidak merugikan secara fisik atau fatal, guru seharusnya tidak perlu merasa khawatir.
Lebih lanjut, pelatihan bagi guru ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas mereka untuk mengenali, menangani, dan mencegah terjadinya perundungan dan intoleransi di sekolah. "Melalui pelatihan ini, mari kita wujudkan lingkungan sekolah di Papua Barat yang aman, ramah, dan penuh semangat toleransi. Guru harus ada di garda terdepan dalam membimbing generasi penerus bangsa," tambahnya.