Masalah Perselisihan Prayudisial (Pre-Judicial Geschil)
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
LAZIM terjadi dalam praktik hukum di mana perkara perdata ditransformasikan menjadi perkara pidana dan tidak pernah sebaliknya. Misalnya, masalah pembagian dividen atau pembagian saham di antara pengurus korporasi, kemudian diperkarakan sebagai perkara pidana karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum seperti tuduhan penggelapan atau penipuan atau pemalsuan surat.
Praktik semacam ini sudah terjadi sejak lama dan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dan peraturan/surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jauh sebelumnya masalah perselisihan pre-judicial telah diatur oleh pembentuk undang-undang hukum pidana, yakni di dalam Pasal 81 KUHP yang menyatakan bahwa penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan prayudisial, menunda kedaluwarsa.
Hal yang dimaksud perselisihan prayudisial adalah perselisihan mengenai lingkup kewenangan hukum lazim hukum perdata dan hukum pidana di dalam satu perkara tertentu. Jika hal ini terjadi, penuntutan harus ditunda dan ketentuan waktu kedaluwarsa harus ditunda pula.
Ketentuan Pasal 81 KUHP kemudian dijelaskan di dalam Peraturan MA Nomor 4/1956 dan Surat Edaran MA Nomor 4/1980. Pasal 1 Peraturan MA Nomor 1/1956 menyatakan, apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan. Hal itu untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidak adanya hak perdata itu.
Untuk menegaskan bahwa pemeriksaan perkara perdata tidak memengaruhi putusan perkara pidana atau sebaliknya, Pasal 3 peraturan MA tersebut menyatakan bahwa pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan pengadilan dalam perkara perdata tentang ada atau tidak adanya suatu hak perdata itu.
Namun, ketentuan yang sudah jelas tersebut menjadi tidak jelas karena di dalam Surat Edaran MA Nomor 4/1980 dinyatakan bahwa: 4. Question prejudicielle au judgment menyangkut masalah yang diatur di dalam Pasal 81 KUHP; pasal tersebut sekadar memberi kewenangan, bukan kewajiban, kepada hakim pidana untuk menangguhkan putusan pemeriksaan, menunggu putusan hakim perdata mengenai persengketaannya. Ketentuan terakhir ini jelas dan tegas bahwa pemeriksaan hakim pidana bisa dilanjutkan atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada hakim pidana.
Kedua peraturan MA tersebut memperjelas ketentuan Pasal 81 KUHP dan mengandung arti bahwa jika dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum (pidana dan perdata) maka kedua aspek hukum dapat diselesaikan bersama-sama. Hal ini terjadi dengan pertimbangan agar pemeriksaan perkara tidak berlarut-larut sejalan dengan prinsip peradilan cepat, murah, dan sederhana.
Namun, dari sisi pencari keadilan yang menghadapi masalah hukum tersebut di atas akan terasa sangat merugikan kepentingan hukum mereka karena terdapat dua kemungkinan akibat hukum, yaitu dalam pemeriksaan perkara perdata menang dan dalam pemeriksaan perkara pidana kalah, atau sebaliknya. Dalam hal inilah telah terjadi ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
Berdasarkan peraturan dan surat edaran MA mengenai perselisihan prayudisial dapat disimpulkan, masalah dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum, perdata dan pidana merupakan masalah biasa/lazim. Penguatan keberadaan dua aspek hukum dalam satu perkara ini pun telah diperkuat sejak lama di dalam Pasal 1.321, 1.328, dan Pasal 1.335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 155 dan Pasal 138 ayat (3) huruf c UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
LAZIM terjadi dalam praktik hukum di mana perkara perdata ditransformasikan menjadi perkara pidana dan tidak pernah sebaliknya. Misalnya, masalah pembagian dividen atau pembagian saham di antara pengurus korporasi, kemudian diperkarakan sebagai perkara pidana karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum seperti tuduhan penggelapan atau penipuan atau pemalsuan surat.
Praktik semacam ini sudah terjadi sejak lama dan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dan peraturan/surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jauh sebelumnya masalah perselisihan pre-judicial telah diatur oleh pembentuk undang-undang hukum pidana, yakni di dalam Pasal 81 KUHP yang menyatakan bahwa penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan prayudisial, menunda kedaluwarsa.
Hal yang dimaksud perselisihan prayudisial adalah perselisihan mengenai lingkup kewenangan hukum lazim hukum perdata dan hukum pidana di dalam satu perkara tertentu. Jika hal ini terjadi, penuntutan harus ditunda dan ketentuan waktu kedaluwarsa harus ditunda pula.
Ketentuan Pasal 81 KUHP kemudian dijelaskan di dalam Peraturan MA Nomor 4/1956 dan Surat Edaran MA Nomor 4/1980. Pasal 1 Peraturan MA Nomor 1/1956 menyatakan, apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan. Hal itu untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidak adanya hak perdata itu.
Untuk menegaskan bahwa pemeriksaan perkara perdata tidak memengaruhi putusan perkara pidana atau sebaliknya, Pasal 3 peraturan MA tersebut menyatakan bahwa pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan pengadilan dalam perkara perdata tentang ada atau tidak adanya suatu hak perdata itu.
Namun, ketentuan yang sudah jelas tersebut menjadi tidak jelas karena di dalam Surat Edaran MA Nomor 4/1980 dinyatakan bahwa: 4. Question prejudicielle au judgment menyangkut masalah yang diatur di dalam Pasal 81 KUHP; pasal tersebut sekadar memberi kewenangan, bukan kewajiban, kepada hakim pidana untuk menangguhkan putusan pemeriksaan, menunggu putusan hakim perdata mengenai persengketaannya. Ketentuan terakhir ini jelas dan tegas bahwa pemeriksaan hakim pidana bisa dilanjutkan atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada hakim pidana.
Kedua peraturan MA tersebut memperjelas ketentuan Pasal 81 KUHP dan mengandung arti bahwa jika dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum (pidana dan perdata) maka kedua aspek hukum dapat diselesaikan bersama-sama. Hal ini terjadi dengan pertimbangan agar pemeriksaan perkara tidak berlarut-larut sejalan dengan prinsip peradilan cepat, murah, dan sederhana.
Namun, dari sisi pencari keadilan yang menghadapi masalah hukum tersebut di atas akan terasa sangat merugikan kepentingan hukum mereka karena terdapat dua kemungkinan akibat hukum, yaitu dalam pemeriksaan perkara perdata menang dan dalam pemeriksaan perkara pidana kalah, atau sebaliknya. Dalam hal inilah telah terjadi ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
Berdasarkan peraturan dan surat edaran MA mengenai perselisihan prayudisial dapat disimpulkan, masalah dalam satu perkara terdapat dua aspek hukum, perdata dan pidana merupakan masalah biasa/lazim. Penguatan keberadaan dua aspek hukum dalam satu perkara ini pun telah diperkuat sejak lama di dalam Pasal 1.321, 1.328, dan Pasal 1.335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 155 dan Pasal 138 ayat (3) huruf c UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.