Masalah Perselisihan Prayudisial (Pre-Judicial Geschil)
loading...
A
A
A
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah terbukti bahwa KUHPerdata tidak menganut prinsip pemisahan (separation) melainkan diakui prinsip pembedaan (differentiation) antara disiplin hukum perdata dan hukum pidana. Contoh, salah satu ketentuan, yaitu Pasal 155 UU Perseroan Terbatas menyatakan, ketentuan mengenai tanggung jawab direksi dan/atau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur di dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur di dalam undang-undang tentang hukum pidana. Bahkan, di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf c ditentukan bahwa jaksa penuntut umum, demi kepentingan umum, dengan inisiatif sendiri dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan prinsip ultimum remedium (modderman) yang menyatakan bahwa sanksi pidana harus digunakan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan masalah konflik hukum antara sarana sanksi hukum perdata dan sanksi hukum pidana.
Dalam hal ini perlu dirujuk pendapat J Remmelink (2003) yang menyatakan bahwa jika terdapat beberapa alternatif penyelesaian perkara maka hakim wajib bertumpu pada dua asas, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas yang disebut fundamentalnormen des Rechtstaats. Asas pertama mensyaratkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan; sedangkan asas kedua, mensyaratkan bahwa jika muncul beberapa alternatif penyelesaian hakim wajib memilih alternatif yang paling sedikit menimbulkan risiko.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan MA, dan doktrin hukum di atas, sekilas terdapat perbedaan mencolok disebabkan di satu sisi ada perintah undang-undang dan surat edaran MA bahwa kedua aspek hukum dapat diterapkan dan berjalan berbarengan, sedangkan terdapat doktrin hukum yang menegaskan bahwa sarana hukum pidana merupakan sarana terakhir setelah sarana hukum perdata diterapkan dan tidak efektif.
Dalam hal ini, praktik hukum tetap kedua sarana hukum tersebut harus diutamakan. Dampak hukum yang sangat dirasakan dari perbarengan dua aspek hukum ini adalah ketika terjadi proses pemeriksaan perkara perdata terhadap gugatan perdata dalam perkara korporasi di mana praktik hukum membuktikan bahwa korporasi menghadapi dua masalah hukum, perdata, dan pidana sekaligus.
Dalam banyak perkara seperti itu telah banyak korporasi terpaksa “gulung tikar” karena tidak mampu menghadapi dan mengatasi kedua masalah hukum tersebut, dan dalam kenyataan sangat merugikan perekonomian nasional di mana korporasi khusus di era globalisasi merupakan tulang punggung perekonomian (the backbone) nasional.
Pemerintah, khususnya aparatur penegak hukum, termasuk kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu menahan diri untuk tidak segera menempatkan korporasi sebagai tersangka/terdakwa sebelum mempertimbangkan selain aspek hukum juga aspek lain yang menyertainya, di antaranya pertimbangan dari sudut cost and benefit dengan merujuk pada tujuan ekonomis yaitu maksimisasi, keseimbangan, dan efisiensi.
Kinerja Penegakan Hukum
Fakta telah menunjukkan kinerja penegakan hukum tidak sebanding dengan hasil yang dicapai; alih-alih bermafaat sebaliknya, tidak produktif karena mengutamakan pemenjaraan (output) daripada pemulihan kerugian keuangan negara secara maksimal (outcome) dan korporasi tetap aktif menyumbangkan pemasukan pajak dan devisa yang tinggi.
Contoh, pagu anggaran KPK 2009 -2014 Rp3 triliun, sedangkan kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan/diselamatkan Rp738 miliar. Hal yang sama terjadi di kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain, lembaga pemasyarakatan mengalami kelebihan penghuni (overload) yang mengakibatkan dampak kesehatan warga binaan dan biaya yang meningkat setiap tahun untuk hanya urusan perawatan warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Perkembangan modernisasi masyarakat dan teknologi telah membawa perubahan-perubahan signifikan dalam perkembangan hukum; dalam contoh di atas jelas bahwa kekuatan doktrin hukum pidana, seperti ultimum remedium terlahir pada abad 16 dalam perekembangan saat ini tidak lagi relevan digunakan atau memerlukan evaluasi atau kajian ulang; apakah berlaku untuk semua kasus atau hanya untuk kasus-kasus tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan prinsip ultimum remedium (modderman) yang menyatakan bahwa sanksi pidana harus digunakan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan masalah konflik hukum antara sarana sanksi hukum perdata dan sanksi hukum pidana.
Dalam hal ini perlu dirujuk pendapat J Remmelink (2003) yang menyatakan bahwa jika terdapat beberapa alternatif penyelesaian perkara maka hakim wajib bertumpu pada dua asas, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas yang disebut fundamentalnormen des Rechtstaats. Asas pertama mensyaratkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan; sedangkan asas kedua, mensyaratkan bahwa jika muncul beberapa alternatif penyelesaian hakim wajib memilih alternatif yang paling sedikit menimbulkan risiko.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan MA, dan doktrin hukum di atas, sekilas terdapat perbedaan mencolok disebabkan di satu sisi ada perintah undang-undang dan surat edaran MA bahwa kedua aspek hukum dapat diterapkan dan berjalan berbarengan, sedangkan terdapat doktrin hukum yang menegaskan bahwa sarana hukum pidana merupakan sarana terakhir setelah sarana hukum perdata diterapkan dan tidak efektif.
Dalam hal ini, praktik hukum tetap kedua sarana hukum tersebut harus diutamakan. Dampak hukum yang sangat dirasakan dari perbarengan dua aspek hukum ini adalah ketika terjadi proses pemeriksaan perkara perdata terhadap gugatan perdata dalam perkara korporasi di mana praktik hukum membuktikan bahwa korporasi menghadapi dua masalah hukum, perdata, dan pidana sekaligus.
Dalam banyak perkara seperti itu telah banyak korporasi terpaksa “gulung tikar” karena tidak mampu menghadapi dan mengatasi kedua masalah hukum tersebut, dan dalam kenyataan sangat merugikan perekonomian nasional di mana korporasi khusus di era globalisasi merupakan tulang punggung perekonomian (the backbone) nasional.
Pemerintah, khususnya aparatur penegak hukum, termasuk kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu menahan diri untuk tidak segera menempatkan korporasi sebagai tersangka/terdakwa sebelum mempertimbangkan selain aspek hukum juga aspek lain yang menyertainya, di antaranya pertimbangan dari sudut cost and benefit dengan merujuk pada tujuan ekonomis yaitu maksimisasi, keseimbangan, dan efisiensi.
Kinerja Penegakan Hukum
Fakta telah menunjukkan kinerja penegakan hukum tidak sebanding dengan hasil yang dicapai; alih-alih bermafaat sebaliknya, tidak produktif karena mengutamakan pemenjaraan (output) daripada pemulihan kerugian keuangan negara secara maksimal (outcome) dan korporasi tetap aktif menyumbangkan pemasukan pajak dan devisa yang tinggi.
Contoh, pagu anggaran KPK 2009 -2014 Rp3 triliun, sedangkan kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan/diselamatkan Rp738 miliar. Hal yang sama terjadi di kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain, lembaga pemasyarakatan mengalami kelebihan penghuni (overload) yang mengakibatkan dampak kesehatan warga binaan dan biaya yang meningkat setiap tahun untuk hanya urusan perawatan warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Perkembangan modernisasi masyarakat dan teknologi telah membawa perubahan-perubahan signifikan dalam perkembangan hukum; dalam contoh di atas jelas bahwa kekuatan doktrin hukum pidana, seperti ultimum remedium terlahir pada abad 16 dalam perekembangan saat ini tidak lagi relevan digunakan atau memerlukan evaluasi atau kajian ulang; apakah berlaku untuk semua kasus atau hanya untuk kasus-kasus tertentu.