Keadaban dalam Bernegara Hukum
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
BENARKAH kehidupan di negeri ini berkembang semakin beradab? Ataukah sebaliknya, terindikasi semakin biadab? Hemat saya, pertanyaan mendasar ini penting menjadi perhatian dan tanggungjawab semua pihak untuk menjawabnya secara objektif dan futuristik.
Sila ke-2 Pancasila, secara eksplisit berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini hanya akan bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, manakala dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk semua urusan. Apalah arti hafalan, ataupun penjelasan berbusa-busa dalam suatu seminar, ketika perilakunya jauh dari kategori beradab, dan justru semakin mendekati kategori biadab.
Ambil contoh, perihal jabatan dan kekuasaan. Agar berhasil memperebutkannya, menurut Nihan (1991), ada 18 butir patokan praktis yang mesti dipraktikannya, yakni: berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci maki, menyiksa, memerkosa, merusak-menyabot, membumi hangus, membunuh sampai membantai. Ringkasnya, demi jabatan dan kekuasaan, segala cara dibenarkan, tanpa hirau rambu-rambu moralitas-religius.
Dari dulu hingga sekarang, komunisme mengajarkan hal-hal seperti itu. Aktivis, kader, pengikut partai komunis, dilatih membuat kabar hoaks. Sampai ahli dan terampil mempraktikannya. Diyakinkan bahwa mencederai, membunuh, dan membantai lawan politik, bukanlah dilarang. Persekusi secara fisik maupun melalui media sosial, menjadi salah satu senjata penaklukan lawan politik.
Pada ranah hukum, tampaknya kebiadaban politik itu mewarnai hukum dan kekuasaan. Rumus klasik, sebagaimana tersurat dalam UUD 1945, bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan semata”. Di situ tersirat ada kaitan antara hukum dan kekuasaan. Tetapi tidak terlihat, bagaimana dominasi politik atas hukum dan kekuasaan. Dominasi politik itu, munculnya pada praktik kenegaraan. Misal dikatakan, hukum itu produk politik. Kekuasaan pun dibagi-bagi sesuai dengan konfigurasi politik.
Bagi siapa pun yang konsisten terhadap UUD 1945, akan senantiasa mengatakan hukum itu panglima. Dalam suasana normal, tenang, dan damai, di situ hukum hadir dan berfungsi memberikan rasa aman, tertib, teratur dan adil. Sementara itu ketika kondisi genting, abnormal, rentan terjadi keambrukan negara, maka hukum tampil di garda paling depan. Begitu panglima (hukum) datang, sekalian praktik politik dan kekuasaan yang cenderung liar, liberal, banal, dikendalikan sedemikian rupa melalui penegakan hukum.
Betapapun Alvin Tofler (dalam Powershift. 1990), menyatakan bahwa relasi hukum, politik, dan kekuasaan itu digambarkan sebagai pergeseran dari penggunaan kekuasaan/kekuatan menjadi pendayagunaan otak/rasio/akal sehat, namun secara empiris, kekuasaan/kekuatan liar, acapkali muncul kembali dengan baju hukum, ketika akal sehat diganti dengan akal busuk. Di situlah, hukum sudah menjadi asesori, pembungkus, alat kekuasaan. Pergeseran situasi kenegaraan di negeri ini, tampaknya membenarkan tesis Tofler itu. Artinya, secara halus dan terselubung, makna sila ke-2 Pancasila, telah berubah total, dari manusia beradab menjadi manusia biadab.
Walaupun legalitas politik, dan kekuasaan, memiliki sandaran hukum (perundang-undangan), tetapi perilaku para aktor-aktornya, tetap saja tampil sebagai kekuatan. Kondisi demikian sengaja direkayasa, agar hukum dapat tampil seolah-olah berisi kekuasaan yang semakin beradab. Ketelanjangannya sebagai perilaku biadab, diupayakan ditutupi, melalui rumusan pasal, ayat, penafsiran, dan deskresi.
Satjipto Rahardjo (1994) mengekspresikan keprihatinan atas situasi terurai di atas dengan pernyataan: “Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokrasi, penjara adalah penjabaran kekuasaan (negara) ke dalam orde hukum. Manusia warga negara setiap saat berada pada ujung “penodongan” kekuasan seperti itu. Orang harus mematuhi atau menerima risiko berhadapan dengan polisi”.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
BENARKAH kehidupan di negeri ini berkembang semakin beradab? Ataukah sebaliknya, terindikasi semakin biadab? Hemat saya, pertanyaan mendasar ini penting menjadi perhatian dan tanggungjawab semua pihak untuk menjawabnya secara objektif dan futuristik.
Sila ke-2 Pancasila, secara eksplisit berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini hanya akan bermakna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, manakala dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk semua urusan. Apalah arti hafalan, ataupun penjelasan berbusa-busa dalam suatu seminar, ketika perilakunya jauh dari kategori beradab, dan justru semakin mendekati kategori biadab.
Ambil contoh, perihal jabatan dan kekuasaan. Agar berhasil memperebutkannya, menurut Nihan (1991), ada 18 butir patokan praktis yang mesti dipraktikannya, yakni: berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci maki, menyiksa, memerkosa, merusak-menyabot, membumi hangus, membunuh sampai membantai. Ringkasnya, demi jabatan dan kekuasaan, segala cara dibenarkan, tanpa hirau rambu-rambu moralitas-religius.
Dari dulu hingga sekarang, komunisme mengajarkan hal-hal seperti itu. Aktivis, kader, pengikut partai komunis, dilatih membuat kabar hoaks. Sampai ahli dan terampil mempraktikannya. Diyakinkan bahwa mencederai, membunuh, dan membantai lawan politik, bukanlah dilarang. Persekusi secara fisik maupun melalui media sosial, menjadi salah satu senjata penaklukan lawan politik.
Pada ranah hukum, tampaknya kebiadaban politik itu mewarnai hukum dan kekuasaan. Rumus klasik, sebagaimana tersurat dalam UUD 1945, bahwa negeri ini “berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan semata”. Di situ tersirat ada kaitan antara hukum dan kekuasaan. Tetapi tidak terlihat, bagaimana dominasi politik atas hukum dan kekuasaan. Dominasi politik itu, munculnya pada praktik kenegaraan. Misal dikatakan, hukum itu produk politik. Kekuasaan pun dibagi-bagi sesuai dengan konfigurasi politik.
Bagi siapa pun yang konsisten terhadap UUD 1945, akan senantiasa mengatakan hukum itu panglima. Dalam suasana normal, tenang, dan damai, di situ hukum hadir dan berfungsi memberikan rasa aman, tertib, teratur dan adil. Sementara itu ketika kondisi genting, abnormal, rentan terjadi keambrukan negara, maka hukum tampil di garda paling depan. Begitu panglima (hukum) datang, sekalian praktik politik dan kekuasaan yang cenderung liar, liberal, banal, dikendalikan sedemikian rupa melalui penegakan hukum.
Betapapun Alvin Tofler (dalam Powershift. 1990), menyatakan bahwa relasi hukum, politik, dan kekuasaan itu digambarkan sebagai pergeseran dari penggunaan kekuasaan/kekuatan menjadi pendayagunaan otak/rasio/akal sehat, namun secara empiris, kekuasaan/kekuatan liar, acapkali muncul kembali dengan baju hukum, ketika akal sehat diganti dengan akal busuk. Di situlah, hukum sudah menjadi asesori, pembungkus, alat kekuasaan. Pergeseran situasi kenegaraan di negeri ini, tampaknya membenarkan tesis Tofler itu. Artinya, secara halus dan terselubung, makna sila ke-2 Pancasila, telah berubah total, dari manusia beradab menjadi manusia biadab.
Walaupun legalitas politik, dan kekuasaan, memiliki sandaran hukum (perundang-undangan), tetapi perilaku para aktor-aktornya, tetap saja tampil sebagai kekuatan. Kondisi demikian sengaja direkayasa, agar hukum dapat tampil seolah-olah berisi kekuasaan yang semakin beradab. Ketelanjangannya sebagai perilaku biadab, diupayakan ditutupi, melalui rumusan pasal, ayat, penafsiran, dan deskresi.
Satjipto Rahardjo (1994) mengekspresikan keprihatinan atas situasi terurai di atas dengan pernyataan: “Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokrasi, penjara adalah penjabaran kekuasaan (negara) ke dalam orde hukum. Manusia warga negara setiap saat berada pada ujung “penodongan” kekuasan seperti itu. Orang harus mematuhi atau menerima risiko berhadapan dengan polisi”.