Perlunya Komitmen Politik 'Selamatkan Tanah'

Selasa, 21 Juni 2022 - 11:06 WIB
loading...
Perlunya Komitmen Politik Selamatkan Tanah
Melli Nuraini Darsa (Foto: Ist)
A A A
Melli Nuraini Darsa
Advokat dan Konsultan Hukum di Jakarta, Senior Partner PwC Indonesia (Legal)

PEMANASAN global merupakan isu lingkungan krusial yang saat ini banyak diperbincangkan karena menyebabkan perubahan iklim serta mengganggu produktivitas bahkan berbagai bencana termasuk banjir, longsor, kekeringan, dan badai topan. Namun, ternyata yang banyak tidak disadari, sebagaimana hasil sejumlah penelitian adalah bahwa masalah degradasi tanah dan risiko kepunahan tanah kini jadi bom waktu dikaitkan dengan perubahan iklim.

Berdasarkan data, 95% makanan yang dikonsumsi berasal dari tanah karena tanah merupakan dasar dari ekosistem darat. Menurut UN Food & Agriculture Organisation, saat ini tanah telah terdegradasi sebesar 52%. Baru-baru ini juga Guru Besar IPB University, Prof Dr Ir Iswandy Anas Chaniago juga mengungkapkan bahwa 72% dari tanah pertanian di Indonesia saat ini sedang "sakit" karena kekurangan bahan organik akibat penggunaan pupuk kimia yang masih tinggi.

Tanah dengan berbagai jasad renik bukanlah benda mati. Jutaan jasad renik hidup dalam setiap jengkal tanah. Diperkirakan bahwa tanah di bumi hanya mampu bertahan hingga 60 tahun ke depan. Penipisan tanah yang terjadi akan berpengaruh pada penurunan nutrisi pada makanan yang dikonsumsi. Ini sudah terjadi di banyak negara. Hal ini diperparah jika negara mengalami situasi genting seperti perang.

Karena itu swasembada pangan sangat penting untuk diupayakan. Namun swasembada tidak akan terjadi jika produksi tanaman menjadi tidak maksimal akibat kondisi tanah di negara tersebut tidak subur. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Prof Dr Dodik Ridho Nurrochmat, semakin tinggi angka kesejahteraan, maka masyarakat semakin peduli terhadap kelestarian lingkungan. Pemulihan lingkungan tidak hanya soal zero environmental degradation, namun perlu dilakukan sesuai batas kemampuan adaptasi manusia. Percuma saja kita bicara tentang Indonesia menjadi ekonomi terbesar ke-5 pada 2045 jika masalah kepunahan tanah tidak kita perhatikan sebagai suatu urgensi.

Gerakan 'Selamatkan Tanah'
Setelah beberapa tahun masalah ini banyak dibicarakan para ahli dan saintis, akhirnya pada 2022 ini adalah seorang yogi bereputasi global, humaniter dan pemimpin spiritual berusia 65 tahun bernama Sadhguru Jaggi Vasudev, yang juga pendiri Yayasan Isha, berhasil mengangkat masalah tanah ke permukaan melalui Gerakan Selamatkan Tanah (Save Soil). Gerakan ini merupakan bagian dari Gerakan Planet Sadar (Conscious Planet).

Sejak 21 Maret 2022, dimulai dari kota London, Sadhguru melakukan perjalanan fenomenal dari Eropa hingga Timur Tengah sejauh 30.000 km dalam 100 hari menggunakan sepeda motor guna mengampanyekan gerakan tersebut yang berkulminasi pada 21 Juni ini.

Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, Sadhguru mengumumkan bahwa Gerakan Selamatkan Tanah telah berhasil mendapat dukungan resmi dari 74 negara dan 2,5 miliar jumlah manusia.

Apa persisnya komitmen tersebut? Sadhguru mengajak seluruh manusia dan pemerintahan di planet untuk berkomitmen melakukan upaya nyata memulihkan dan meremajakan bumi khususnya tanah dari kepunahan.

Peraturan di Indonesia
Sampai saat ini Indonesia belum termasuk negara yang mendukung Gerakan Selamatkan Tanah ini. Apakah karena hukum Indonesia sudah cukup mengatur tentang risiko kepunahan tanah? Adalah benar bahwa konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia menganut prinsip mendasari pembangunan berwawasan lingkungan hidup, juga ada pemberian alokasi anggaran untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan UU tentang Konservasi Tanah Dan Air Nomor 37/2014, pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan melakukan penurunan tingkat kerusakan lingkungan hidup.

Selain itu, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41/2009 mengatur agar Indonesia sebagai negara agraris memastikan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan menjadi sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 kemudian mengatur agar pemanfaatan lahan pangan dilakukan untuk menjamin konservasi tanah dan air, termasuk perlindungan dan pelestarian sumber daya serta pengelolaan kualitas lahan dan air.

Peraturan Pemerintah Nomor 12/2012 pun mengatur agar pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah dilakukan dengan memberikan insentif untuk menjaga kesuburan tanah serta larangan melakukan kegiatan yang mengurangi kesuburan tanah.

Panca Kebijakan Anti-Kepunahan Tanah
Terlepas peraturan di atas, dalam praktiknya alokasi anggaran maupun pemberian insentif bagi kegiatan pertanian atau petani pada umumnya belum berjalan dengan maksimal. Sebagai contoh selama pandemi Covid-19, terdapat 4 insentif termasuk jaring pengaman sosial untuk 2,7 juta petani dan buruh tani miskin, stimulus modal untuk usaha pertanian, kelautan, dan perikanan. Insentif semacam ini ternyata dalam kenyataannya lebih diprioritaskan pada UMKM sehingga norma alokasi anggaran dan insentif hanya jadi semacam “dead letter law”. Padahal melihat kondisi degradasi tanah sesuai pendapat Guru Besar Chaniago, perlu suatu “Panca Kebijakan Insentif Anti-Kepunahan Tanah” yang selaras dengan Gerakan Selamatkan Tanah.

Perlu regulasi yang mampu berperan sebagai insentif agar, pertama, tanah semakin sehat dan terbebas dari ketergantungan pada bahan kimia yang cenderung punya pengaruh negatif pada ekosistem pada umumnya. Kedua, insentif diperlukan agar dunia pertanian juga bisnis lebih proaktif melalui aktivitasnya menyelamatkan organisme tanah. Ketiga, perlu regulasi agar masyarakat termotivasi lebih aktif mencegah atau mengatasi kerusakan tanah akibat kurangnya air tanah, misalnya mendorong wisatawan untuk membayar bea yang digunakan untuk menanamkan pohon-pohon sehingga bisa melindungi tanah itu sendiri.

Keempat, perlu regulasi punitif agar kelembaban tanah lebih terjaga, Dan kelima dan terakhir, perlu regulasi preventif dan punitif agar erosi tanah lebih tercegah. Sampai saat ini, peraturan-peraturan seperti ini belum ada di Indonesia.

Kesemuanya ini pada dasarnya adalah untuk mendorong agar syarat tanah yang baik dengan 3-6% kandungan organik terutama karbon dapat terjaga. Panca Kebijakan Insentif Anti-Kepunahan Tanah ini perlu dijadikan bagian dari rencana pembangunan dan pertanian ke depan bagi Indonesia. Seyogianya, Presiden Jokowi dan aparat pemerintahan di pusat dan daerah mau berkomitmen tentang masalah mendesak ini.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1727 seconds (0.1#10.140)