Gagasan Inovasi Peneliti dan Industri: Tantangan yang Menjanjikan Perubahan
loading...
A
A
A
Budi Wiweko
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
HAMPIR di semua belahan dunia, penemuan yang lahir dari universitas mampu memberikan efek perubahan signifikan. Penemuan penicillin oleh Howard Florey dari University of Oxford tahun 1939, penemuan tes Pap oleh Nicolas Papanicolaou dari Cornell University tahun 1939, penemuan USG oleh Ian Donald dari University of Glasgow tahun 1958, penemuan LCD oleh James Fergason dari Kent State University tahun 1967, penemuan MRI oleh Paul Laterbur dari University of New York tahun 1970 dan penemuan teknologi DNA rekombinan oleh Stanley Cohen dari UCLA tahun 1974 merupakan bentuk nyata hasil dari penelitian yang dilakukan universitas.
Tingkat kesiapterapan teknologi (TKT) sebuah invensi saat ini diukur mengikuti produk yang dilahirkan oleh NASA pada tahun 1974. Bagaimana terminologi ini membagi penelitian ke dalam klasifikasi riset dasar (TKT 1 – 3), riset translasional (TKT 4 – 6) dan riset terapan (TKT 7 – 9) menunjukkan kepada kita bahwa hampir tidak mungkin sebuah invensi lahir tanpa melalui penelitian yang panjang.
“Gap” yang terjadi umumnya di fase antara penelitian translasional dengan terapan membutuhkan dukungan kuat dari pihak industri. Komunikasi intensif, kondusif dan interaktif akan membuka peluang akselerasi prototipe riset ke ranah komersialisasi. Hampir semua universitas terkemuka di dunia menaruh perhatian besar pada bidang ini, dengan mengembangkan konsep technology transfer office (TTO), sebuah unit yang bertanggung jawab pada komunikasi antara peneliti dan industri dalam rangka membawa hasil penelitian ke ranah komersial atau terapan.
Association University Technology Managers (AUTM), merupakan sebuah organisasi yang mengkoordinir semua TTO yang terdapat di universitas di Amerika Serikat. Perjalanan panjang AUTM sejak tahun 1996 sampai tahun 2015 berhasil mendorong 380.000 invensi dengan 80.000 diantaranya mendapatkan paten. Gambaran ini menunjukkan bahwa hanya kurang lebih 20% invensi akan berujung mendapatkan paten dan potensial menjadi produk. Oleh karena itu gagasan untuk melakukan penelitian harus terus diasah, dilatih, didorong serta difasilitasi oleh pemerintah, akademisi dan pihak industri.
Upaya pendanaan juga merupakan sektor yang tidak kalah penting mengingat data AUTM menjelaskan selama kurun waktu 25 tahun Amerika Serikat membelanjakan 60 milyar USD (sekitar 900 trilyun rupiah) untuk menghasilkan 25.000 invensi yang dipatenkan. Berkaca dari hal tersebut di atas, pengembangan pusat riset harus menjadi target utama kita untuk menghasilkan penelitian yang memberi manfaat banyak bagi masyarakat dan kemajuan negara.
Tantangan lain yang menjadi prioritas kita adalah menyatukan frekuensi dan bahasa komunikasi antara peneliti dan industri. Dalam hal ini, peran TTO menjadi kata kunci utama bila sebuah penelitian akan dibawa ke ranah komersial atau terapan. Seorang technology transfer officer berperan sebagai corong komunikasi, endorser, perencana business plan, negosiator dan memiliki kemampuan ulung untuk menghendus serta mendeteksi potensi komersialisasi dari sebuah aktifitas riset.
Technology transfer office juga harus memiliki kemampuan untuk membaca dan menterjemahkan kebutuhan pasar sesuai terminologi “Demand Readiness Level (DRL)” yang dipopulerkan oleh Paun pada tahun 2011. Konsep ini diharapkan mampu menarik dengan cepat aktifitas dan produk riset untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasar. Seorang technology transfer officer harus sangat cepat, jeli dan tidak bosan-bosannya melihat potensi kebaruan yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga akan mengakselerasi pusat riset untuk segera mewujudkannya melalui sebuah produk.
“Technology push, market pull”, bahwa inilah sesungguhnya peran Universitas dalam menciptakan perubahan yang berakhir pada kemajuan suatu negara. Demi mewujudkan ini, gagasan mulia para peneliti dan pihak industri harus bersanding serasi menuju pelaminan produksi massal yang di-idam-idamkan oleh kita semua (BW – 2019).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
HAMPIR di semua belahan dunia, penemuan yang lahir dari universitas mampu memberikan efek perubahan signifikan. Penemuan penicillin oleh Howard Florey dari University of Oxford tahun 1939, penemuan tes Pap oleh Nicolas Papanicolaou dari Cornell University tahun 1939, penemuan USG oleh Ian Donald dari University of Glasgow tahun 1958, penemuan LCD oleh James Fergason dari Kent State University tahun 1967, penemuan MRI oleh Paul Laterbur dari University of New York tahun 1970 dan penemuan teknologi DNA rekombinan oleh Stanley Cohen dari UCLA tahun 1974 merupakan bentuk nyata hasil dari penelitian yang dilakukan universitas.
Tingkat kesiapterapan teknologi (TKT) sebuah invensi saat ini diukur mengikuti produk yang dilahirkan oleh NASA pada tahun 1974. Bagaimana terminologi ini membagi penelitian ke dalam klasifikasi riset dasar (TKT 1 – 3), riset translasional (TKT 4 – 6) dan riset terapan (TKT 7 – 9) menunjukkan kepada kita bahwa hampir tidak mungkin sebuah invensi lahir tanpa melalui penelitian yang panjang.
“Gap” yang terjadi umumnya di fase antara penelitian translasional dengan terapan membutuhkan dukungan kuat dari pihak industri. Komunikasi intensif, kondusif dan interaktif akan membuka peluang akselerasi prototipe riset ke ranah komersialisasi. Hampir semua universitas terkemuka di dunia menaruh perhatian besar pada bidang ini, dengan mengembangkan konsep technology transfer office (TTO), sebuah unit yang bertanggung jawab pada komunikasi antara peneliti dan industri dalam rangka membawa hasil penelitian ke ranah komersial atau terapan.
Association University Technology Managers (AUTM), merupakan sebuah organisasi yang mengkoordinir semua TTO yang terdapat di universitas di Amerika Serikat. Perjalanan panjang AUTM sejak tahun 1996 sampai tahun 2015 berhasil mendorong 380.000 invensi dengan 80.000 diantaranya mendapatkan paten. Gambaran ini menunjukkan bahwa hanya kurang lebih 20% invensi akan berujung mendapatkan paten dan potensial menjadi produk. Oleh karena itu gagasan untuk melakukan penelitian harus terus diasah, dilatih, didorong serta difasilitasi oleh pemerintah, akademisi dan pihak industri.
Upaya pendanaan juga merupakan sektor yang tidak kalah penting mengingat data AUTM menjelaskan selama kurun waktu 25 tahun Amerika Serikat membelanjakan 60 milyar USD (sekitar 900 trilyun rupiah) untuk menghasilkan 25.000 invensi yang dipatenkan. Berkaca dari hal tersebut di atas, pengembangan pusat riset harus menjadi target utama kita untuk menghasilkan penelitian yang memberi manfaat banyak bagi masyarakat dan kemajuan negara.
Tantangan lain yang menjadi prioritas kita adalah menyatukan frekuensi dan bahasa komunikasi antara peneliti dan industri. Dalam hal ini, peran TTO menjadi kata kunci utama bila sebuah penelitian akan dibawa ke ranah komersial atau terapan. Seorang technology transfer officer berperan sebagai corong komunikasi, endorser, perencana business plan, negosiator dan memiliki kemampuan ulung untuk menghendus serta mendeteksi potensi komersialisasi dari sebuah aktifitas riset.
Technology transfer office juga harus memiliki kemampuan untuk membaca dan menterjemahkan kebutuhan pasar sesuai terminologi “Demand Readiness Level (DRL)” yang dipopulerkan oleh Paun pada tahun 2011. Konsep ini diharapkan mampu menarik dengan cepat aktifitas dan produk riset untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasar. Seorang technology transfer officer harus sangat cepat, jeli dan tidak bosan-bosannya melihat potensi kebaruan yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga akan mengakselerasi pusat riset untuk segera mewujudkannya melalui sebuah produk.
“Technology push, market pull”, bahwa inilah sesungguhnya peran Universitas dalam menciptakan perubahan yang berakhir pada kemajuan suatu negara. Demi mewujudkan ini, gagasan mulia para peneliti dan pihak industri harus bersanding serasi menuju pelaminan produksi massal yang di-idam-idamkan oleh kita semua (BW – 2019).
(muh)