Televisi Digital dan Momentum Kreator Konten

Rabu, 18 Mei 2022 - 13:49 WIB
loading...
Televisi Digital dan Momentum Kreator Konten
Harliantara (Foto: Ist)
A A A
Harliantara
Dekan Fikom Unitomo Surabaya, Praktisi Penyiaran

PERPINDAHAN televisi nasional dari sistem penyiaran analog ke sistem digital bisa menumbuhkan industri konten lokal. Dalam terminologi Standar Program Siaran (SPS), konten lokal merupakan siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual dan nonfaktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya manusia (SDM) dan lembaga penyiaran setempat.

Perpindahan televisi ke sistem digital membutuhkan SDM berupa kreator konten yang kredibel dan produktif.

Urgensi lokalitas terhadap konten siaran diletakkan atas lima perspektif. Pertama, konten lokal sebagai amanah regulasi yang wajib ditunaikan. Kedua, konten lokal adalah gambaran riil masyarakat di daerah. Ketiga, konten lokal berorientasi pada pengembangan potensi daerah. Keempat, konten lokal meneguhkan partisipasi kolektif, dan kelima, konten lokal mewujudkan pemberdayaan SDM dan ekonomi lokal.

Televisi digital dan kreator konten idealnya seperti dua pasang kaki kuda yang saling memacu ke arah tujuan. Diversifikasi konten harusnya memunculkan konten-konten edukatif, kreatif, dan variatif. Hal itu sangat bermanfaat bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses tontonan atau televisi menjadi satu-satunya akses tontonan.

Hal itu tidak hanya dari rumah produksi, akan tetapi mencakup pembuat konten hingga SDM terampil penopang industri penyiaran. Migrasi televisi digital merupakan momentum emas bagi para kreator konten untuk berkreasi dan berinovasi memproduksi karya terbaiknya.

Model bisnis penyelenggaraan televisi digital saat ini memiliki beberapa aspek krusial sehingga perlu diatur lebih detail terutama dalam aspek advertiser, infrastruktur bersama, service yang diberikan serta valuasi konten.

Model bisnis penyelenggaraan televisi digital ke depan berbasis share revenue di mana penyelenggara multiplexer hanya berperan sebagai content aggregator yang menjadi jembatan antara content operator, advertiser dengan network operator.

Adapun beberapa layanan ke depannya yang juga dapat disediakan oleh operator multipleks antara lain: Pertama, konten audio dan video, seperti konten untuk berita, olahraga, bisnis, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya. Kedua, content on demand. Ketiga, aplikasi middleware, yaitu aplikasi TV interaktif yang dapat melibatkan pengguna dalam dua arah seperti kuis, polling, rating TV, informasi siaran (EPG), dan sebagainya. Keempat, informasi publik seperti informasi kebencanaan, lalulintas, cuaca dan lainnya.

Presiden Joko Widodo menginstruksikan kementerian terkait untuk mempercepat transformasi digital dengan mengutamakan SDM. Utamanya SDM yang terkait dengan produksi konten televisi digital.

Instruksi Presiden ditindaklanjuti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyelenggarakan pelajaran atau mata kuliah startup digital. Untuk itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga membantu menyediakan modul berstandar nasional serta narasumber nasional dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) startup digital.

Anggaran Krmenkominfo dari APBN maupun dari sumber Universal Services Obligation (USO ) yang dipungut dari perusahaan telekomunikasi perlu difokuskan untuk transformasi digital segenap masyarakat.

Menurut Direksi BAKTI, rata-rata, setiap tahun, pihaknya mengelola dana USO untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi sekitar Rp2,5 triliun. Jumlah itu merupakan dana yang sangat besar untuk transformasi digital seluruh lapisan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat Indonesia untuk frekuensi hingga saat ini sangat besar terlebih untuk teknologi 5G dan pengembangannya. Apabila migrasi TV analog ke digital terjadi efisiensi baik dari aspek penggunaan frekuensi maupun dari aspek biaya operasional stasiun televisi.

Pembahasan mengenai penerapan siaran televisi digital atau migrasi dari televisi analog sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009.

Penerapan itu terkendala beberapa faktor, antara lain Indonesia belum memiliki Infrastruktur yang memadai untuk teknologi televisi digital.

Selain itu kuantitas spektrum penyiaran sebagai sumber daya alam terbatas yang berbanding terbalik dengan kuantitas permintaan pihak-pihak yang ingin melaksanakan penyiaran di luar jumlah lembaga penyiaran yang ada.

Selama ini penggunaan infrastruktur penyiaran televisi analog juga dinilai tidak efisien karena masing-masing lembaga penyiaran mesti membangun infrastruktur penyiaran sendiri. Akibatnya biaya pemeliharaan infrastruktur relatif mahal, penggunaan daya listrik dan ruang gedung menjadi besar.

Pada sisi penerimaan siaran, kualitas siaran analog pun tidak merata meskipun berada dalam wilayah yang sama. Perlu lembaga khusus yang menangani Infrastruktur teknologi televisi digital. Hanya butuh satu menara yang akan berjaringan dengan infrastruktur transmisi lainnya secara berantai ke daerah yang kondisinya blank spot.

Dari aspek ekonomi, stasiun televisi digital akan lebih efisien. Mereka tidak perlu investasi tower atau transmisi nantinya cukup menyewa frekuensi dan memiliki izin siaran.

Hal tersebut mendorong industri kreatif, karena rumah produksi kecil saja bisa menjadi stasiun televisi. Sesuai dengan peraturan pemerintah terkait penyelenggara siaran televisi digital yang free to air alias tidak berbayar.

Stasiun televisi digital lebih mudah eksis di semua distribusi platform, baik siaran satelit televisi kabel, layanan Over the Top (OTT), streaming, dan media sosial. Lokalisasi program siaran mesti menggambarkan sisi kepribadian bangsa dan keragaman budaya. Kini SDM ekonomi kreatif bidang konten penyiaran menjadi soft power dalam mengembangkan nilai-nilai seni budaya bangsa dan menghasilkan nilai tambah ekonomi secara signifikan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1065 seconds (0.1#10.140)