Tsunami Inflasi
loading...
A
A
A
Hal tersebut terjadi karena saat ini dunia tengah menghadapi ‘lima-krisis pasca pandemi’ yang sangat serius, dan Indonesia juga ‘tidak imun’ dari kelima krisis itu.
Pertama, krisis pemulihan yang tak seimbang. Setelah dunia sepertinya mampu mengendalikan Covid-19, ekonomi mulai bangkit kembali. Namun demikian proses pemulihan berjalan tidak seimbang. Sisi permintaan pulih lebih cepat dari sisi penawaran.
Kita dapat melihat, pusat-pusat belanja yang mulai penuh dengan orang-orang yang berbelanja, masyarakat dunia mulai melakukan perjalanan, hotel dan restoran mulai terisi penuh, hajatan dan perhelatan mulai marak, belanja pakaian, elektronik, dan barang-barang lain mulai meningkat.
Namun sisi penawaran pulih lebih lambat. Hal ini terutama terjadi akibat situasi di sektor ketenagakerjaan. Perubahan kembali ke work from office tidak secepat pada saat diputuskan work from home. Mereka yang terpaksa dirumahkan karena aktivitas produksi berhenti atau berkurang, tidak mudah kembali ke tempat kerjanya dengan berbagai alasan.
Sebagian mereka juga mengundurkan diri secara sukarela dengan pertimbangan ingin lebih dekat dengan keluarga, enggan melakukan perjalanan dengan kendaraan umum ke tempat kerja, hingga mereka yang menuntut mendapat fasilitas dan perlindungan kerja plus tunjangan kesehatan yang lebih memadai, dan berbagai situasi lain.
Krisis kedua adalah krisis logistik dan angkutan, terutama karena terjadinya kelangkaan kontainer dan kapal pengangkut. Ongkos logistik telah naik berkali-kali lipat, padahal ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Dan ini menyebabkan harga produk yang diangkut naik.
Krisis ketiga adalah krisis energi, yang ditandai dengan naiknya harga bahan bakar fosil sangat tinggi. Faktor fundamentalnya adalah karena dunia telah mencanangkan dengan sangat jelas akan beralih ke energi terbarukan, namun kapasitas energi terbarukannya masih terbatas dan relatif mahal, padahal investasi di energi fosil sudah terlanjur dipandang buruk. Akibatnya terjadi ketidak pastian, kelangkaan, dan harga naik.
Krisis keempat adalah krisis perubahan dan ketidak pastian iklim dengan iklim ekstrim yang semakin sering terjadi. Kondisi ini jelas mempengaruhi produksi pertanian dan pangan, sebagaimana terjadi di Australia tiga tahun lalu dan di Amerika Selatan tahun lalu; yang dampaknya masih sangat terasa pada produksi dan pasokan pangan yang berkurang dan harga naik.
Dan kelima, terjadinya krisis ‘baru’ perang Rusia – Ukraina. Ukraina dan Rusia adalah kawasan produsi terbesar minyak bunga matahari, minyak nabati ketiga setelah sawit dan kedele, dan juga salah satu produsen migas terbesar didunia. Perang telah mengakibatkan terhentinya perdagangan berbagai produk, terhentinya penyaluran migas, dan juga terhentinya kegiatan petani menanam dan memproduksi.
Kelima hal di atas menyebabkan krisis harga komoditi yang sangat meluas diseluruh dunia, dan berujung pada terjadinya tsunami inflasi. Pemerintah berbagai negara dengan bahu-membahu bersama rakyatnya tengah menghadapi permasalahan global ini. Sekarang memang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi justru merapatkan barisan, menghimpun kekuatan, menghadapi krisis global ini bersama-sama.
Pertama, krisis pemulihan yang tak seimbang. Setelah dunia sepertinya mampu mengendalikan Covid-19, ekonomi mulai bangkit kembali. Namun demikian proses pemulihan berjalan tidak seimbang. Sisi permintaan pulih lebih cepat dari sisi penawaran.
Kita dapat melihat, pusat-pusat belanja yang mulai penuh dengan orang-orang yang berbelanja, masyarakat dunia mulai melakukan perjalanan, hotel dan restoran mulai terisi penuh, hajatan dan perhelatan mulai marak, belanja pakaian, elektronik, dan barang-barang lain mulai meningkat.
Namun sisi penawaran pulih lebih lambat. Hal ini terutama terjadi akibat situasi di sektor ketenagakerjaan. Perubahan kembali ke work from office tidak secepat pada saat diputuskan work from home. Mereka yang terpaksa dirumahkan karena aktivitas produksi berhenti atau berkurang, tidak mudah kembali ke tempat kerjanya dengan berbagai alasan.
Sebagian mereka juga mengundurkan diri secara sukarela dengan pertimbangan ingin lebih dekat dengan keluarga, enggan melakukan perjalanan dengan kendaraan umum ke tempat kerja, hingga mereka yang menuntut mendapat fasilitas dan perlindungan kerja plus tunjangan kesehatan yang lebih memadai, dan berbagai situasi lain.
Krisis kedua adalah krisis logistik dan angkutan, terutama karena terjadinya kelangkaan kontainer dan kapal pengangkut. Ongkos logistik telah naik berkali-kali lipat, padahal ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Dan ini menyebabkan harga produk yang diangkut naik.
Krisis ketiga adalah krisis energi, yang ditandai dengan naiknya harga bahan bakar fosil sangat tinggi. Faktor fundamentalnya adalah karena dunia telah mencanangkan dengan sangat jelas akan beralih ke energi terbarukan, namun kapasitas energi terbarukannya masih terbatas dan relatif mahal, padahal investasi di energi fosil sudah terlanjur dipandang buruk. Akibatnya terjadi ketidak pastian, kelangkaan, dan harga naik.
Krisis keempat adalah krisis perubahan dan ketidak pastian iklim dengan iklim ekstrim yang semakin sering terjadi. Kondisi ini jelas mempengaruhi produksi pertanian dan pangan, sebagaimana terjadi di Australia tiga tahun lalu dan di Amerika Selatan tahun lalu; yang dampaknya masih sangat terasa pada produksi dan pasokan pangan yang berkurang dan harga naik.
Dan kelima, terjadinya krisis ‘baru’ perang Rusia – Ukraina. Ukraina dan Rusia adalah kawasan produsi terbesar minyak bunga matahari, minyak nabati ketiga setelah sawit dan kedele, dan juga salah satu produsen migas terbesar didunia. Perang telah mengakibatkan terhentinya perdagangan berbagai produk, terhentinya penyaluran migas, dan juga terhentinya kegiatan petani menanam dan memproduksi.
Kelima hal di atas menyebabkan krisis harga komoditi yang sangat meluas diseluruh dunia, dan berujung pada terjadinya tsunami inflasi. Pemerintah berbagai negara dengan bahu-membahu bersama rakyatnya tengah menghadapi permasalahan global ini. Sekarang memang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi justru merapatkan barisan, menghimpun kekuatan, menghadapi krisis global ini bersama-sama.