Anggota DPR Usulkan Harga BBM Non Subsidi Layak Naik Agar Tidak Semakin Bebani APBN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai sudah waktunya PT Pertamina menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax series. Tujuannya agar tidak semakin membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasalnya, sejak Maret 2024 lalu, Pertamina sudah menahan harga meskipun ketika itu minyak dunia tengah melonjak dan nilai tukar sedang anjlok. Eddy menuturkan, penaikan harga tersebut juga untuk menjaga agar keuangan Pertamina tetap stabil.
Sebab, Pertamina membutuhkan dana untuk melakukan impor BBM dan harus menunggu waktu cukup lama sampai mendapatkan kembali kompensasi dari pemerintah atas BBM yang diimpornya tersebut.
"Ini membebani APBN dan cash flow (aliran keuangan) Pertamina. Penyesuaian harga Pertamax bisa dilakukan, agar tidak semakin membebani APBN dan kondisi keuangan perusahaan," ungkapnya, Kamis (1/8/2024).
Namun demikian, kata Edy, penyesuaian harga BBM non subsidi itu bisa dilakukan dengan memperhatikan daya beli masyarakat saat ini. Selain itu, kenaikan harga tersebut juga tidak memperlebar jarak harga antara BBM non subsidi dan BBM subsidi.
Eddy mengingatkan, mayoritas masyarakat tidak membeli BBM non subsidi, namun BBM dalam bentuk jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni BBM subsidi seperti Pertalite. Eddy meminta, pengaturan pembelian BBM subsidi juga dilaksanakan segera, sehingga volume BBM subsidi bisa berkurang dan masyarakat dari kalangan mampu akan membeli BBM non subsidi.
"Perbedaan disparitas yang tidak terlalu lebar memang penting. Tetapi yang lebih penting adalah pengaturan agar pembelian BBM subsidi oleh kalangan publik yang masuk kategori tertentu saja, seperti masyarakat ekonomi lemah, UMKM, ojek, angkot dan sebagainya," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR Sartono Hutomo, juga mengaku sepakat jika Pertamina melakukan penyesuaian harga Pertamax series. Sebab, jika Pertamina terus menahan harga, maka pemasukan negara berpotensi bisa berkurang karena profitabilitas Pertamina yang menurun.
Pasalnya, sejak Maret 2024 lalu, Pertamina sudah menahan harga meskipun ketika itu minyak dunia tengah melonjak dan nilai tukar sedang anjlok. Eddy menuturkan, penaikan harga tersebut juga untuk menjaga agar keuangan Pertamina tetap stabil.
Sebab, Pertamina membutuhkan dana untuk melakukan impor BBM dan harus menunggu waktu cukup lama sampai mendapatkan kembali kompensasi dari pemerintah atas BBM yang diimpornya tersebut.
"Ini membebani APBN dan cash flow (aliran keuangan) Pertamina. Penyesuaian harga Pertamax bisa dilakukan, agar tidak semakin membebani APBN dan kondisi keuangan perusahaan," ungkapnya, Kamis (1/8/2024).
Namun demikian, kata Edy, penyesuaian harga BBM non subsidi itu bisa dilakukan dengan memperhatikan daya beli masyarakat saat ini. Selain itu, kenaikan harga tersebut juga tidak memperlebar jarak harga antara BBM non subsidi dan BBM subsidi.
Eddy mengingatkan, mayoritas masyarakat tidak membeli BBM non subsidi, namun BBM dalam bentuk jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni BBM subsidi seperti Pertalite. Eddy meminta, pengaturan pembelian BBM subsidi juga dilaksanakan segera, sehingga volume BBM subsidi bisa berkurang dan masyarakat dari kalangan mampu akan membeli BBM non subsidi.
"Perbedaan disparitas yang tidak terlalu lebar memang penting. Tetapi yang lebih penting adalah pengaturan agar pembelian BBM subsidi oleh kalangan publik yang masuk kategori tertentu saja, seperti masyarakat ekonomi lemah, UMKM, ojek, angkot dan sebagainya," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR Sartono Hutomo, juga mengaku sepakat jika Pertamina melakukan penyesuaian harga Pertamax series. Sebab, jika Pertamina terus menahan harga, maka pemasukan negara berpotensi bisa berkurang karena profitabilitas Pertamina yang menurun.