Tsunami Inflasi
loading...
A
A
A
Bayu Krisnamurthi
Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014
INFLASI adalah sesuatu yang selalu menjadi perhatian dan dikhawatirkan oleh para ekonom dan pengambil keputusan. Inflasi akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan menimbulkan kemiskinan. Inflasi yang tinggi juga menimbulkan ketidakpastian dan kegelisahan, bahkan inflasi dapat menimbulkan keresahan sosial politik.
Tsunami inflasi, gelombang besar kenaikan harga-harga, saat ini tengah melanda berbagai negara di dunia. Negara-negara G20, yaitu 20 negara terbesar ekonominya di dunia, di mana Indonesia yang mendapat giliran sebagai memegang Kepresidenan G20. Indonesia yang akan menjadi tuan rumah pertemuannya pada Oktober 2022 nanti juga saat ini mengalami inflasi sangat tinggi.
Inflasi di negara-negara G20 di awal 2022 mencapai 6,8%, jauh lebih tinggi dibanding 2021 yang hanya mencapai 4,3%. Sedangkan di 2020 hanya 2,7% dan tahun 2019 sebesar 3,6%. Artinya inflasi yang terjadi di negara-negara G20 awal 2022 ini mencapai dua kali lipat dari kelazimannya.
Yang ‘mengerikan’ inflasi yang terjadi di Turki, yakni mencapai 54,5%. Negara ini memang langganan inflasi tinggi. Tahun 2021 inflasinya 19,6%, 2020 mencapai 12,3% dan 2019 mencapai 15,2%. Namun inflasi 2022 Turki sangat luar biasa, nyaris mencapai tiga kali lipat dari biasanya. Negara yang juga mengalami situasi seperti Turki adalah Argentina yang inflasinya telah mencapai 52,3%.
Amerika Serikat, negara dengan ekonomi terkuat di dunia, juga tidak luput dari serangan inflasi, yang awal tahun 2022 ini telah mencapai 7,9%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir sejarah negara itu. Tahun 2021 inflasi Amerika hanya 4,7%, tahun 2022 1,2% dan tahun 2019 1,8%. Dan memang di mana-mana telah terjadi inflasi yang serius. Negara Brazil juga tak luput dari inflasi tinggi yakni 10,5%, Inggris 6,1%, Jerman 5,5%, India 5,0%.
Yang dianggap masih ‘beruntung’ di awal 2022 adalah China dan Jepang. Inflasi China Februari 2022 hanya 0,9%, relatif normal dibanding 2019 yang mencapai 2,9%, 2020 mencapai 2,5% dan di 2021 yang juga hanya 0,9%.
Inflasi Jepang juga relatif rendah sebesar 0,9%, meskipun dibandingkan sejarah ekonomi negara itu angka tersebut sudah tinggi karena tahun 2020 inflasi Jepang 0,0%, bahkan 2021 terjadi deflasi -0,2%.
Menurut perhitungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia di awal tahun 2022 ini (data sampai Februari 2022) inflasinya mencapai 2,1%. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 April 2022 mengumumkan inflasi tahun ke tahun Indonesia mencapai 2,64%. Angka ini relatif rendah dibandingkan tahun 2019 tetapi sudah lebih tinggi dari 2020 dan 2021.
Dengan angka inflasi 2,64% itu jelas kita tidak dapat memandang Indonesia masih aman. Saat ini gelombang tsunami inflasi dunia itu baru ‘ujungnya’ saja yang sudah melanda Indonesia. Cepat atau lambat, gelombang besarnya juga akan tiba.
Hal tersebut terjadi karena saat ini dunia tengah menghadapi ‘lima-krisis pasca pandemi’ yang sangat serius, dan Indonesia juga ‘tidak imun’ dari kelima krisis itu.
Pertama, krisis pemulihan yang tak seimbang. Setelah dunia sepertinya mampu mengendalikan Covid-19, ekonomi mulai bangkit kembali. Namun demikian proses pemulihan berjalan tidak seimbang. Sisi permintaan pulih lebih cepat dari sisi penawaran.
Kita dapat melihat, pusat-pusat belanja yang mulai penuh dengan orang-orang yang berbelanja, masyarakat dunia mulai melakukan perjalanan, hotel dan restoran mulai terisi penuh, hajatan dan perhelatan mulai marak, belanja pakaian, elektronik, dan barang-barang lain mulai meningkat.
Namun sisi penawaran pulih lebih lambat. Hal ini terutama terjadi akibat situasi di sektor ketenagakerjaan. Perubahan kembali ke work from office tidak secepat pada saat diputuskan work from home. Mereka yang terpaksa dirumahkan karena aktivitas produksi berhenti atau berkurang, tidak mudah kembali ke tempat kerjanya dengan berbagai alasan.
Sebagian mereka juga mengundurkan diri secara sukarela dengan pertimbangan ingin lebih dekat dengan keluarga, enggan melakukan perjalanan dengan kendaraan umum ke tempat kerja, hingga mereka yang menuntut mendapat fasilitas dan perlindungan kerja plus tunjangan kesehatan yang lebih memadai, dan berbagai situasi lain.
Krisis kedua adalah krisis logistik dan angkutan, terutama karena terjadinya kelangkaan kontainer dan kapal pengangkut. Ongkos logistik telah naik berkali-kali lipat, padahal ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Dan ini menyebabkan harga produk yang diangkut naik.
Krisis ketiga adalah krisis energi, yang ditandai dengan naiknya harga bahan bakar fosil sangat tinggi. Faktor fundamentalnya adalah karena dunia telah mencanangkan dengan sangat jelas akan beralih ke energi terbarukan, namun kapasitas energi terbarukannya masih terbatas dan relatif mahal, padahal investasi di energi fosil sudah terlanjur dipandang buruk. Akibatnya terjadi ketidak pastian, kelangkaan, dan harga naik.
Krisis keempat adalah krisis perubahan dan ketidak pastian iklim dengan iklim ekstrim yang semakin sering terjadi. Kondisi ini jelas mempengaruhi produksi pertanian dan pangan, sebagaimana terjadi di Australia tiga tahun lalu dan di Amerika Selatan tahun lalu; yang dampaknya masih sangat terasa pada produksi dan pasokan pangan yang berkurang dan harga naik.
Dan kelima, terjadinya krisis ‘baru’ perang Rusia – Ukraina. Ukraina dan Rusia adalah kawasan produsi terbesar minyak bunga matahari, minyak nabati ketiga setelah sawit dan kedele, dan juga salah satu produsen migas terbesar didunia. Perang telah mengakibatkan terhentinya perdagangan berbagai produk, terhentinya penyaluran migas, dan juga terhentinya kegiatan petani menanam dan memproduksi.
Kelima hal di atas menyebabkan krisis harga komoditi yang sangat meluas diseluruh dunia, dan berujung pada terjadinya tsunami inflasi. Pemerintah berbagai negara dengan bahu-membahu bersama rakyatnya tengah menghadapi permasalahan global ini. Sekarang memang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi justru merapatkan barisan, menghimpun kekuatan, menghadapi krisis global ini bersama-sama.
Baca Juga: koran-sindo.com
Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014
INFLASI adalah sesuatu yang selalu menjadi perhatian dan dikhawatirkan oleh para ekonom dan pengambil keputusan. Inflasi akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan menimbulkan kemiskinan. Inflasi yang tinggi juga menimbulkan ketidakpastian dan kegelisahan, bahkan inflasi dapat menimbulkan keresahan sosial politik.
Tsunami inflasi, gelombang besar kenaikan harga-harga, saat ini tengah melanda berbagai negara di dunia. Negara-negara G20, yaitu 20 negara terbesar ekonominya di dunia, di mana Indonesia yang mendapat giliran sebagai memegang Kepresidenan G20. Indonesia yang akan menjadi tuan rumah pertemuannya pada Oktober 2022 nanti juga saat ini mengalami inflasi sangat tinggi.
Inflasi di negara-negara G20 di awal 2022 mencapai 6,8%, jauh lebih tinggi dibanding 2021 yang hanya mencapai 4,3%. Sedangkan di 2020 hanya 2,7% dan tahun 2019 sebesar 3,6%. Artinya inflasi yang terjadi di negara-negara G20 awal 2022 ini mencapai dua kali lipat dari kelazimannya.
Yang ‘mengerikan’ inflasi yang terjadi di Turki, yakni mencapai 54,5%. Negara ini memang langganan inflasi tinggi. Tahun 2021 inflasinya 19,6%, 2020 mencapai 12,3% dan 2019 mencapai 15,2%. Namun inflasi 2022 Turki sangat luar biasa, nyaris mencapai tiga kali lipat dari biasanya. Negara yang juga mengalami situasi seperti Turki adalah Argentina yang inflasinya telah mencapai 52,3%.
Amerika Serikat, negara dengan ekonomi terkuat di dunia, juga tidak luput dari serangan inflasi, yang awal tahun 2022 ini telah mencapai 7,9%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir sejarah negara itu. Tahun 2021 inflasi Amerika hanya 4,7%, tahun 2022 1,2% dan tahun 2019 1,8%. Dan memang di mana-mana telah terjadi inflasi yang serius. Negara Brazil juga tak luput dari inflasi tinggi yakni 10,5%, Inggris 6,1%, Jerman 5,5%, India 5,0%.
Yang dianggap masih ‘beruntung’ di awal 2022 adalah China dan Jepang. Inflasi China Februari 2022 hanya 0,9%, relatif normal dibanding 2019 yang mencapai 2,9%, 2020 mencapai 2,5% dan di 2021 yang juga hanya 0,9%.
Inflasi Jepang juga relatif rendah sebesar 0,9%, meskipun dibandingkan sejarah ekonomi negara itu angka tersebut sudah tinggi karena tahun 2020 inflasi Jepang 0,0%, bahkan 2021 terjadi deflasi -0,2%.
Menurut perhitungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia di awal tahun 2022 ini (data sampai Februari 2022) inflasinya mencapai 2,1%. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 April 2022 mengumumkan inflasi tahun ke tahun Indonesia mencapai 2,64%. Angka ini relatif rendah dibandingkan tahun 2019 tetapi sudah lebih tinggi dari 2020 dan 2021.
Dengan angka inflasi 2,64% itu jelas kita tidak dapat memandang Indonesia masih aman. Saat ini gelombang tsunami inflasi dunia itu baru ‘ujungnya’ saja yang sudah melanda Indonesia. Cepat atau lambat, gelombang besarnya juga akan tiba.
Hal tersebut terjadi karena saat ini dunia tengah menghadapi ‘lima-krisis pasca pandemi’ yang sangat serius, dan Indonesia juga ‘tidak imun’ dari kelima krisis itu.
Pertama, krisis pemulihan yang tak seimbang. Setelah dunia sepertinya mampu mengendalikan Covid-19, ekonomi mulai bangkit kembali. Namun demikian proses pemulihan berjalan tidak seimbang. Sisi permintaan pulih lebih cepat dari sisi penawaran.
Kita dapat melihat, pusat-pusat belanja yang mulai penuh dengan orang-orang yang berbelanja, masyarakat dunia mulai melakukan perjalanan, hotel dan restoran mulai terisi penuh, hajatan dan perhelatan mulai marak, belanja pakaian, elektronik, dan barang-barang lain mulai meningkat.
Namun sisi penawaran pulih lebih lambat. Hal ini terutama terjadi akibat situasi di sektor ketenagakerjaan. Perubahan kembali ke work from office tidak secepat pada saat diputuskan work from home. Mereka yang terpaksa dirumahkan karena aktivitas produksi berhenti atau berkurang, tidak mudah kembali ke tempat kerjanya dengan berbagai alasan.
Sebagian mereka juga mengundurkan diri secara sukarela dengan pertimbangan ingin lebih dekat dengan keluarga, enggan melakukan perjalanan dengan kendaraan umum ke tempat kerja, hingga mereka yang menuntut mendapat fasilitas dan perlindungan kerja plus tunjangan kesehatan yang lebih memadai, dan berbagai situasi lain.
Krisis kedua adalah krisis logistik dan angkutan, terutama karena terjadinya kelangkaan kontainer dan kapal pengangkut. Ongkos logistik telah naik berkali-kali lipat, padahal ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Dan ini menyebabkan harga produk yang diangkut naik.
Krisis ketiga adalah krisis energi, yang ditandai dengan naiknya harga bahan bakar fosil sangat tinggi. Faktor fundamentalnya adalah karena dunia telah mencanangkan dengan sangat jelas akan beralih ke energi terbarukan, namun kapasitas energi terbarukannya masih terbatas dan relatif mahal, padahal investasi di energi fosil sudah terlanjur dipandang buruk. Akibatnya terjadi ketidak pastian, kelangkaan, dan harga naik.
Krisis keempat adalah krisis perubahan dan ketidak pastian iklim dengan iklim ekstrim yang semakin sering terjadi. Kondisi ini jelas mempengaruhi produksi pertanian dan pangan, sebagaimana terjadi di Australia tiga tahun lalu dan di Amerika Selatan tahun lalu; yang dampaknya masih sangat terasa pada produksi dan pasokan pangan yang berkurang dan harga naik.
Dan kelima, terjadinya krisis ‘baru’ perang Rusia – Ukraina. Ukraina dan Rusia adalah kawasan produsi terbesar minyak bunga matahari, minyak nabati ketiga setelah sawit dan kedele, dan juga salah satu produsen migas terbesar didunia. Perang telah mengakibatkan terhentinya perdagangan berbagai produk, terhentinya penyaluran migas, dan juga terhentinya kegiatan petani menanam dan memproduksi.
Kelima hal di atas menyebabkan krisis harga komoditi yang sangat meluas diseluruh dunia, dan berujung pada terjadinya tsunami inflasi. Pemerintah berbagai negara dengan bahu-membahu bersama rakyatnya tengah menghadapi permasalahan global ini. Sekarang memang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi justru merapatkan barisan, menghimpun kekuatan, menghadapi krisis global ini bersama-sama.
Baca Juga: koran-sindo.com
(ynt)