Perlindungan Konsumen Penyandang Disabilitas
loading...
A
A
A
Contoh lainnya, di Halte Bus Rapid Transit (BRT) Kota Bandar Lampung, kekurangan yang masih ditemui adalah tangga yang curam dan guiding blok yang tidak memadai. Hal serupa juga ditemukan di Terminal Rajabasa. Pada terminal ini tidak ada pemberitahuan yang berbicara untuk disabilitas tuna rungu, halte memiliki tangga yang terlalu curam, dan celah antara pintu dan pinggiran halte terlalu berjarak, serta masih banyaknya letak guiding blok di dekat wastafel dan pot tanaman.
Pada aspek lainnya, peningkatan penggunaan e-commerce selama pandemi Covid 19 belum diiringi dengan aksesibilitas kelompok disabilitas pada sektor ini. Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah transaksi jual beli di perdagangan elektronik (e-commerce) meningkat hampir dua kali lipat di tengah pandemi Covid-19. Jumlah pengakses melonjak dari 80 juta transaksi pada 2019, menjadi 140 juta transaksi sampai dengan Bulan Agustus 2020.
Hasil survei SIGAB menyatakan bahwa frekuensi penggunaan e-commerce bagi konsumen difabel mencapai 50% setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sangat potensial bagi konsumen difabel menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce.
Dalam keseharian, sejumlah hambatan juga masih ditemui konsumen disabilitas ketika menggunakan aplikasi jual beli online. Hambatan tersebut berupa akses informasi yang kurang tentang fungsi-fungsi pada aplikasi maupun informasi mengenai produk barang dan jasa yang ditawarkan karena platform tersebut kurang kompatibel dengan perangkat lunak screen reader yang dimiliki para konsumen tunanetra.
Selain platform yang tidak terakses, layanan purnajual juga kerap bermasalah bagi konsumen difabel. Misalkan layanan penukaran barang maupun pengaduan jika barang atau jasa tidak seperti yang dijanjikan. Menurut penelitian SIGAB, dari 160 difabel dengan berbagai ragam disabilitas, sebanyak 68 di antaranya mengalami kendala saat mengakses e-commerce.
Responden yang paling banyak mengalami hambatan adalah disabilitas sensorik penglihatan, yaitu 59 orang. Kendala yang mereka alami adalah kesulitan mengakses tombol navigasi di laman dan aplikasi. Sementara bagi ragam disabilitas daksa, durasi pembayaran yang terlalu singkat menjadi salah satu hambatan dalam proses jual beli online.
Aktivitas e-commerce yang menggunakan layanan telepon tanpa teks menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas pendengaran. Kendala ini kerap terjadi dalam mekanisme pengaduan barang rusak yang harus konfirmasi melalui percakapan telepon.
Apa yang Harus Dilakukan?
Indonesia adalah salah satu negara yang mulai mengembangkan pembangunan kota berbasis inklusif pasca ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Kota inklusi adalah kota di mana semua masyarakat mampu hidup bersama-sama dengan aman dan nyaman, serta mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam dimensi spasial, sosial dan ekonomi tanpa adanya diskriminasi. Pencapaian kota inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas sangat ditentukan oleh akses penyandang disabilitas terhadap layanan infrastruktur dan fasilitas publik.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah perlu menyusun atau mengamandemen peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, khususnya di sektor transportasi dan e-commerce. Ini bisa dengan melibatkan penyandang disabilitas dalam pembangunan mulai dari aspek perencanaan, perancangan, pengawasan, hingga pemeliharaan; pembuatan, penyempurnaan, dan pengimplementasian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan CRPD bagi semua layanan publik untuk penyandang disabilitas.
Selain itu harus ada pengembangkan aplikasi digital yang ramah penyandang disabilitas bersama pelaku usaha serta harus ada komitmen dari negara dalam melindungi dan memberikan hak penyandang disabilitas dengan mengkaji ratifikasi protokol CRPD.
Pada aspek lainnya, peningkatan penggunaan e-commerce selama pandemi Covid 19 belum diiringi dengan aksesibilitas kelompok disabilitas pada sektor ini. Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah transaksi jual beli di perdagangan elektronik (e-commerce) meningkat hampir dua kali lipat di tengah pandemi Covid-19. Jumlah pengakses melonjak dari 80 juta transaksi pada 2019, menjadi 140 juta transaksi sampai dengan Bulan Agustus 2020.
Hasil survei SIGAB menyatakan bahwa frekuensi penggunaan e-commerce bagi konsumen difabel mencapai 50% setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sangat potensial bagi konsumen difabel menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce.
Dalam keseharian, sejumlah hambatan juga masih ditemui konsumen disabilitas ketika menggunakan aplikasi jual beli online. Hambatan tersebut berupa akses informasi yang kurang tentang fungsi-fungsi pada aplikasi maupun informasi mengenai produk barang dan jasa yang ditawarkan karena platform tersebut kurang kompatibel dengan perangkat lunak screen reader yang dimiliki para konsumen tunanetra.
Selain platform yang tidak terakses, layanan purnajual juga kerap bermasalah bagi konsumen difabel. Misalkan layanan penukaran barang maupun pengaduan jika barang atau jasa tidak seperti yang dijanjikan. Menurut penelitian SIGAB, dari 160 difabel dengan berbagai ragam disabilitas, sebanyak 68 di antaranya mengalami kendala saat mengakses e-commerce.
Responden yang paling banyak mengalami hambatan adalah disabilitas sensorik penglihatan, yaitu 59 orang. Kendala yang mereka alami adalah kesulitan mengakses tombol navigasi di laman dan aplikasi. Sementara bagi ragam disabilitas daksa, durasi pembayaran yang terlalu singkat menjadi salah satu hambatan dalam proses jual beli online.
Aktivitas e-commerce yang menggunakan layanan telepon tanpa teks menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas pendengaran. Kendala ini kerap terjadi dalam mekanisme pengaduan barang rusak yang harus konfirmasi melalui percakapan telepon.
Apa yang Harus Dilakukan?
Indonesia adalah salah satu negara yang mulai mengembangkan pembangunan kota berbasis inklusif pasca ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Kota inklusi adalah kota di mana semua masyarakat mampu hidup bersama-sama dengan aman dan nyaman, serta mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam dimensi spasial, sosial dan ekonomi tanpa adanya diskriminasi. Pencapaian kota inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas sangat ditentukan oleh akses penyandang disabilitas terhadap layanan infrastruktur dan fasilitas publik.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah perlu menyusun atau mengamandemen peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, khususnya di sektor transportasi dan e-commerce. Ini bisa dengan melibatkan penyandang disabilitas dalam pembangunan mulai dari aspek perencanaan, perancangan, pengawasan, hingga pemeliharaan; pembuatan, penyempurnaan, dan pengimplementasian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan CRPD bagi semua layanan publik untuk penyandang disabilitas.
Selain itu harus ada pengembangkan aplikasi digital yang ramah penyandang disabilitas bersama pelaku usaha serta harus ada komitmen dari negara dalam melindungi dan memberikan hak penyandang disabilitas dengan mengkaji ratifikasi protokol CRPD.