Perlindungan Konsumen Penyandang Disabilitas
loading...
A
A
A
Arief Safari, Anna Maria Tri Anggraini
Komisi Penelitian dan Pengembangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Penyandang disabilitas dalam sebuah kelompok masyarakat majemuk sering kali tidak tampak karena jumlahnya yang kecil dibanding kelompok masyarakat lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2020 mencapai 22,5 juta atau sekitar 5%.
Kecilnya jumlah kelompok disabilitas dan ketidaktahuannya dalam menyuarakan haknya sebagai warga negara, mengakibatkan kelompok ini menjadi terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan. Fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas pun masih tergolong minim. Hal ini disebabkan karena masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas.
Hambatan terbesar dan terbanyak yang dialami kelompok disabilitas berasal dari lingkungannya baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dari diri penyandang disabilitas. Minimnya kesempatan yang diberikan kepada mereka menyebabkan keterbatasan akses dalam pemenuhan kebutuhannya, baik yang sebagai individu maupun bagian dari warga negara. Akibatnya, partisipasi penyandang disabilitas di tengah masyarakat menjadi rendah sehingga hanya dianggap sebagai beban dan dijadikan obyek santunan.
Pemerintah berusaha melindungi hak aksesibilitas dan akomodasi konsumen disabilitas dengan menerbitkan sejumlah peraturan. Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi CRPD (Convention on The Rights of Person with Disabilities) dan memuatnya ke dalam Undang-Undang Nomor 19/2011 yang berisi tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, negara juga mengatur melalui instrumen hukum yaitu undang-undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Meskipun sudah ada peraturan yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas, pada kenyataannya aksesibilitas publik bagi penyandang disabilitas masih belum berjalan optimal. Padahal aksesibilitas adalah salah satu hak dasar yang wajib dimiliki oleh penyandang disabilitas.
Beberapa aspek dalam moda transportasi dan fasilitas umum di Indonesia dinilai masih kurang ramah terhadap penyandang disabilitas. Di sisi lain, perkembangan digital seperti meningkatnya penggunaan e-commerce juga belum diiringi dengan fasilitas khusus seperti screen reader untuk memudahkan penyandang disabilitas melakukan transaksi di platform tersebut.
Aksesibilitas Masih Kurang
Aksesibilitas penyandang disabilitas pada bidang transportasi umum juga masih minim. Contohnya, di Stasiun Tugu Yogyakarta , sudah ada fasilitas guiding block sebagai pemandu jalan meskipun masih ditemukan guiding block yang kurang ramah RAM untuk disabilitas seperti terpotong atau terhalang tiang. Sarana seperti, toilet khusus disabilitas, fasilitas kursi roda, dan petugas untuk membantu disabilitas yang ingin membeli tiket kereta juga sudah tersedia. Hal yang sama juga terdapat di Halte Trans Yogyakarta, halte ini sudah dilengkapi guiding block tetapi kurang terawat dan beberapa banyak yang rusak atau hilang.
Fasilitas RAM atau bidang miring untuk akses jalan kursi roda terlalu tinggi dan ukuran halte juga masih kurang lebar. Meskipun demikian, sudah ada petugas yang memandu disabilitas untuk menggunakan transportasi tersebut.
Komisi Penelitian dan Pengembangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Penyandang disabilitas dalam sebuah kelompok masyarakat majemuk sering kali tidak tampak karena jumlahnya yang kecil dibanding kelompok masyarakat lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2020 mencapai 22,5 juta atau sekitar 5%.
Kecilnya jumlah kelompok disabilitas dan ketidaktahuannya dalam menyuarakan haknya sebagai warga negara, mengakibatkan kelompok ini menjadi terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan. Fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas pun masih tergolong minim. Hal ini disebabkan karena masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas.
Hambatan terbesar dan terbanyak yang dialami kelompok disabilitas berasal dari lingkungannya baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dari diri penyandang disabilitas. Minimnya kesempatan yang diberikan kepada mereka menyebabkan keterbatasan akses dalam pemenuhan kebutuhannya, baik yang sebagai individu maupun bagian dari warga negara. Akibatnya, partisipasi penyandang disabilitas di tengah masyarakat menjadi rendah sehingga hanya dianggap sebagai beban dan dijadikan obyek santunan.
Pemerintah berusaha melindungi hak aksesibilitas dan akomodasi konsumen disabilitas dengan menerbitkan sejumlah peraturan. Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi CRPD (Convention on The Rights of Person with Disabilities) dan memuatnya ke dalam Undang-Undang Nomor 19/2011 yang berisi tentang pengesahan konvensi hak-hak penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, negara juga mengatur melalui instrumen hukum yaitu undang-undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Meskipun sudah ada peraturan yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas, pada kenyataannya aksesibilitas publik bagi penyandang disabilitas masih belum berjalan optimal. Padahal aksesibilitas adalah salah satu hak dasar yang wajib dimiliki oleh penyandang disabilitas.
Beberapa aspek dalam moda transportasi dan fasilitas umum di Indonesia dinilai masih kurang ramah terhadap penyandang disabilitas. Di sisi lain, perkembangan digital seperti meningkatnya penggunaan e-commerce juga belum diiringi dengan fasilitas khusus seperti screen reader untuk memudahkan penyandang disabilitas melakukan transaksi di platform tersebut.
Aksesibilitas Masih Kurang
Aksesibilitas penyandang disabilitas pada bidang transportasi umum juga masih minim. Contohnya, di Stasiun Tugu Yogyakarta , sudah ada fasilitas guiding block sebagai pemandu jalan meskipun masih ditemukan guiding block yang kurang ramah RAM untuk disabilitas seperti terpotong atau terhalang tiang. Sarana seperti, toilet khusus disabilitas, fasilitas kursi roda, dan petugas untuk membantu disabilitas yang ingin membeli tiket kereta juga sudah tersedia. Hal yang sama juga terdapat di Halte Trans Yogyakarta, halte ini sudah dilengkapi guiding block tetapi kurang terawat dan beberapa banyak yang rusak atau hilang.
Fasilitas RAM atau bidang miring untuk akses jalan kursi roda terlalu tinggi dan ukuran halte juga masih kurang lebar. Meskipun demikian, sudah ada petugas yang memandu disabilitas untuk menggunakan transportasi tersebut.