Ambiguitas Kedudukan Pemerintahan Otorita IKN Nusantara
loading...
A
A
A
Zulfikar Ardiwardana Wanda, SH, MH
Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim
LEBIH dari sepekan sudah Rancangan Undang-Undang Ibukota Negara (RUU IKN) yang resmi bernama Nusantara disahkan menjadi UU oleh Pemerintah dan DPR (Selasa, 18/1/2022). Proses pengesahan RUU IKN yang memuat ketentuan 44 pasal ini bukan tidak menuai perdebatan dan gesekan pandangan politik dari para legislator. Dari jumlah 9 (sembilan) fraksi yang terdapat di gedung senayan tercatat hanya Fraksi Keadilan Sejahtera (F-KS) yang menyatakan tidak setuju disahkannya RUU tersebut dalam Rapat Paripurna lantaran memuat beberapa masalah, baik dari aspek prosedural maupun substansi yang belum terakomodasi dengan matang.
Sebut saja proses pembahasan yang sangat singkat yang hanya memakan waktu 43 hari, minimnya kualitas partisipasi masyarakat yang meaningful dalam menyuarakan aspirasinya, rencana kebijakan terkait skema pembiayaan yang membebankan pada alokasi APBN dan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), hingga pengadopsian bentuk pemerintahaan yang akan dikelola oleh lembaga Otorita IKN yang mana pengisian jabatannya melalui mekanisme penunjukan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.
Menarik untuk disimak terkait pelembagaan otorita yang akan dipimpin oleh Kepala Otorita diadopsi sebagai bentuk pemerintahan dari IKN baru, di mana pembentuk undang-undang memosisikan Otorita IKN sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus, justru tidak dikenal dalam optik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia. Poin yang menjadi permasalahan dalam pengambilan politik hukum ini terletak pada kedudukan Otorita IKN baru yang saat ini terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dilinearkan dengan kementerian yang tugas dan karakteristiknya jelas berbeda satu sama lain.
Baca juga: JK Nilai Pemindahan IKN Berdampak Positif terhadap Otonomi Daerah
Dalam UU tersebut, Otorita IKN secara administratif didesain sebagai bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi guna menggantikan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 18 UUD 1945 bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi yang mana di setiap provinsi dibagi lagi atas daerah-daerah kabupaten maupun kota yang masing-masing jenjang memiliki pemerintah daerah yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Memang tidak semua kepala daerah dipilih melalui pemilihan umum seperti halnya yang bisa kita jumpai pada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di mana jabatan gubernur dan wakilnya diangkat berdasarkan mekanisme penetapan garis keturunan keluarga dari Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam oleh rakyat melalui DPRD DIY.
Namun perlu diingat bahwa mekanisme tersebut diadopsi karena didasarkan pada asal usul historis yang dimiliki oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang merupakan negara bagian atau kerajaan merdeka yang diakui oleh pemerintah kolonial jauh sebelum negara Indonesia diproklamirkan. Tidak hanya sampai di situ, peranan Yogyakarta dalam sejarah perjuangan pasca kemerdekaan pun pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia sementara pada kurun waktu 1946-1949 disebabkan situasi keamanan Jakarta tidak lagi kondusif sebagai pusat pemerintahan negara.
Tak hanya Yogyakarta, faktor historis perjuangan nasional juga turut menjadi alasan bagi pemerintah memberikan status daerah kekhususan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Di samping itu, status kekhususan Provinsi NAD lahir disebabkan adanya perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 yang bermuara pada terbitnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan berbagai macam kekhususan daerahnya yang diberikan oleh negara.
Baca juga: Istana: Tidak Ada Timsus Pemilihan Kepala Otorita IKN
Dari sekian banyak kekhususan daerah yang diberikan kepada Provinsi NAD, dapat kita jumpai antara lain produk hukum yang disebut Qanun, setingkat peraturan daerah, yang mengadopsi konsep Jinayah (hukum pidana Islam) yang dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana sendiri, di mana jenis produk hukum ini tidak dikenal dalam UU No 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai guidance pembentukan produk hukum nasional dan daerah.
Adapun pemberian status otonomi yang bersifat khusus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat lahir akibat terjadinya kesenjangan pembangunan dan taraf hidup antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya serta adanya berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Hal ini kemudian menjadi pemicu rasa kekecewaan dan ketidakpuasan dari penduduk Papua Asli yang pada gilirannya melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga perlu adanya kebijakan khusus guna tercipta pemerataan dan keadilan di berbagai sektor kehidupan.
Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim
LEBIH dari sepekan sudah Rancangan Undang-Undang Ibukota Negara (RUU IKN) yang resmi bernama Nusantara disahkan menjadi UU oleh Pemerintah dan DPR (Selasa, 18/1/2022). Proses pengesahan RUU IKN yang memuat ketentuan 44 pasal ini bukan tidak menuai perdebatan dan gesekan pandangan politik dari para legislator. Dari jumlah 9 (sembilan) fraksi yang terdapat di gedung senayan tercatat hanya Fraksi Keadilan Sejahtera (F-KS) yang menyatakan tidak setuju disahkannya RUU tersebut dalam Rapat Paripurna lantaran memuat beberapa masalah, baik dari aspek prosedural maupun substansi yang belum terakomodasi dengan matang.
Sebut saja proses pembahasan yang sangat singkat yang hanya memakan waktu 43 hari, minimnya kualitas partisipasi masyarakat yang meaningful dalam menyuarakan aspirasinya, rencana kebijakan terkait skema pembiayaan yang membebankan pada alokasi APBN dan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), hingga pengadopsian bentuk pemerintahaan yang akan dikelola oleh lembaga Otorita IKN yang mana pengisian jabatannya melalui mekanisme penunjukan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.
Menarik untuk disimak terkait pelembagaan otorita yang akan dipimpin oleh Kepala Otorita diadopsi sebagai bentuk pemerintahan dari IKN baru, di mana pembentuk undang-undang memosisikan Otorita IKN sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus, justru tidak dikenal dalam optik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia. Poin yang menjadi permasalahan dalam pengambilan politik hukum ini terletak pada kedudukan Otorita IKN baru yang saat ini terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dilinearkan dengan kementerian yang tugas dan karakteristiknya jelas berbeda satu sama lain.
Baca juga: JK Nilai Pemindahan IKN Berdampak Positif terhadap Otonomi Daerah
Dalam UU tersebut, Otorita IKN secara administratif didesain sebagai bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi guna menggantikan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang diselenggarakan oleh Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 18 UUD 1945 bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi yang mana di setiap provinsi dibagi lagi atas daerah-daerah kabupaten maupun kota yang masing-masing jenjang memiliki pemerintah daerah yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Memang tidak semua kepala daerah dipilih melalui pemilihan umum seperti halnya yang bisa kita jumpai pada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di mana jabatan gubernur dan wakilnya diangkat berdasarkan mekanisme penetapan garis keturunan keluarga dari Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam oleh rakyat melalui DPRD DIY.
Namun perlu diingat bahwa mekanisme tersebut diadopsi karena didasarkan pada asal usul historis yang dimiliki oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman yang merupakan negara bagian atau kerajaan merdeka yang diakui oleh pemerintah kolonial jauh sebelum negara Indonesia diproklamirkan. Tidak hanya sampai di situ, peranan Yogyakarta dalam sejarah perjuangan pasca kemerdekaan pun pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia sementara pada kurun waktu 1946-1949 disebabkan situasi keamanan Jakarta tidak lagi kondusif sebagai pusat pemerintahan negara.
Tak hanya Yogyakarta, faktor historis perjuangan nasional juga turut menjadi alasan bagi pemerintah memberikan status daerah kekhususan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Di samping itu, status kekhususan Provinsi NAD lahir disebabkan adanya perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 yang bermuara pada terbitnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan berbagai macam kekhususan daerahnya yang diberikan oleh negara.
Baca juga: Istana: Tidak Ada Timsus Pemilihan Kepala Otorita IKN
Dari sekian banyak kekhususan daerah yang diberikan kepada Provinsi NAD, dapat kita jumpai antara lain produk hukum yang disebut Qanun, setingkat peraturan daerah, yang mengadopsi konsep Jinayah (hukum pidana Islam) yang dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana sendiri, di mana jenis produk hukum ini tidak dikenal dalam UU No 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai guidance pembentukan produk hukum nasional dan daerah.
Adapun pemberian status otonomi yang bersifat khusus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat lahir akibat terjadinya kesenjangan pembangunan dan taraf hidup antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya serta adanya berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Hal ini kemudian menjadi pemicu rasa kekecewaan dan ketidakpuasan dari penduduk Papua Asli yang pada gilirannya melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga perlu adanya kebijakan khusus guna tercipta pemerataan dan keadilan di berbagai sektor kehidupan.