Ambiguitas Kedudukan Pemerintahan Otorita IKN Nusantara
loading...
A
A
A
Salah satu wadah kekhususan daerah yang dimiliki Papua dan Papua Barat terletak pada bentuk dan susunan pemerintahannya yang terdiri atas Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif yang tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional. Dalam bingkai sistem otonomi daerah, Indonesia tidak mengadopsi konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) di tingkat daerah yang mana pemerintahan daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu kesatuan mitra kerja dan bukanlah bentuk separation of power yang terpisah atas cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Penggunaan terminologi atau istilah DPRP juga tidak dikenal dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD maupun UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dengan menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penggunaan istilah DPRP tanpa dibubuhi kata daerah identik dengan penggunaan istilah DPR RI yang menunjuk pada badan perwakilan di tingkat pusat.
Selain itu, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki kekhususan dari aspek peraturan daerah yang berbentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) selain daripada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana yang juga diadopsi oleh Pemerintah NAD di atas dan memiliki Bendera Daerah dan Lagu Daerah sebagaimana Sang Saka Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan, namun dengan adanya DPRP di tingkat provinsi dan Bendera Daerah serta Lagu Daerah sudah mengarah pada bentuk negara serikat.
Sedangkan letak kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebelum disahkan UU IKN baru terletak pada kedudukannya sebagai Ibukota negara dengan status otonominya di tingkat provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui pemilihan umum, sedangkan wali kota/bupati di lingkungan wilayah Provinsi DKI Jakarta diangkat Gubernur dengan pertimbangan DPRD. Mekanisme ini berbanding terbalik dengan model yang diterapkan di Provinsi DIY. Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY berada pada tingkat provinsi seperti halnya DKI Jakarta, namun bupati/wali kota yang berada di lingkungan Provinsi DIY dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan terhadap Gubernur dan Wakilnya diangkat berdasarkan penetapan yang dilaksanakan DPRD DIY.
Kembali pada isu Otorita IKN sebagaimana disinggung di awal, menjadi hal yang tidak lazim apabila Otorita IKN disejajarkan sebagai lembaga setingkat kementerian karena di samping bukan bagian dari jenis/bentuk pemerintahan yang terdapat dalam UUD 1945, juga berpotensi menimbulkan kerancuan pengaturan wewenang dan hubungan Otorita IKN dengan kementerian dan pemerintahan daerah lainnya. Konsep otorita lebih merupakan suatu organisasi pemerintah pusat yang pimpinannya secara delegasi untuk melaksanakan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat.
Sementara pemerintah daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum pada wilayah tertentu yang diberi hak untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi. Konstitusi mengatur adanya pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian adanya pemerintahan daerah khusus. Sementara konsep otorita hanya menjalankan peran dan fungsi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Otorita tidak dapat mengatur urusan kepentingan publik di daerah kawasan tersebut. Padahal, konsep pemerintahan daerah berbanding sebaliknya yakni mengurusi berbagai persoalan administrasi pelayanan masyarakat sejak kelahiran hingga kematian. Termasuk soal urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga budaya sehingga berwenang pula untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Indonesia pernah menerapkan sistem otorita di era Orde Baru yaitu Otorita Batam yang bertugas melaksanakan kewenangan teknis tertentu dari pemerintah pusat dalam mengurus industri teknologi tinggi, alih kapal, perdagangan, dan pariwisata di Kota Batam. Selain juga terdapat lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas menjalankan kewenangan teknis dari pemerintah pusat dalam pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, lembaga finance, pasar modal, perasuransian dll yang sebelumnya merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI).
Yang menjadi persoalan adalah Otorita IKN didesain layaknya pemerintahan daerah setingkat provinsi, di mana berdasarkan ketentuan Pasal 18, 18A ayat (1) UUD 1945 jenis pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan nasional menentukan dengan sangat jelas dan rigid terbatas hanya daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur, Bupati atau wali kota yang tidak memungkinkan adanya nama dan konsep pemerintahan daerah dan kepala daerah selain yang telah ditentukan norma konstitusional di atas sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui dan menghormati adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 18 dan 18 ayat (1) UUD 1945 sebagai kebijakan hukum tertutup (closed legal policy). Kekhususan atau keistimewaan tersebut dalam praktiknya pengaturan tentang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nanggroe Aceh Darussalam. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang semuanya berbentuk Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Persoalan di atas memberikan dampak lanjutan apabila Otorita IKN Nusantara dipersamakan kedudukannya dengan pemerintahan daerah di tingkat provinsi karena Otorita IKN yang dipimpin oleh Kepala Otorita juga harus dipilih secara demokratis berdasarkan optik Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 baik melalui pemilihan umum maupun melalui DPRD sebagaimana yang dilakukan di Pemerintahan DIY dalam menjalankan otonomi daerah. Tidaklah tepat apabila Kepala Otorita IKN (dalam perspektif dipersamakan dengan Kepala Daerah) dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung atau penetapan oleh Presiden dengan syarat pertimbangan/fit and proper test/konsultasi dengan DPR sebelumnya karena mekanisme tersebut dipraktikkan untuk memilih pejabat yang menjalankan tugas pemerintahan pusat di rumpun kekuasaan eksekutif seperti Menteri, Kapolri, Panglima TNI,
Komisioner KPK, Jaksa Agung, Ketua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dll.
Penggunaan terminologi atau istilah DPRP juga tidak dikenal dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD maupun UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dengan menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penggunaan istilah DPRP tanpa dibubuhi kata daerah identik dengan penggunaan istilah DPR RI yang menunjuk pada badan perwakilan di tingkat pusat.
Selain itu, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki kekhususan dari aspek peraturan daerah yang berbentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) selain daripada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagaimana yang juga diadopsi oleh Pemerintah NAD di atas dan memiliki Bendera Daerah dan Lagu Daerah sebagaimana Sang Saka Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan, namun dengan adanya DPRP di tingkat provinsi dan Bendera Daerah serta Lagu Daerah sudah mengarah pada bentuk negara serikat.
Sedangkan letak kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebelum disahkan UU IKN baru terletak pada kedudukannya sebagai Ibukota negara dengan status otonominya di tingkat provinsi. Pembagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta ke dalam wilayah kabupaten/kota hanyalah bersifat administratif. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui pemilihan umum, sedangkan wali kota/bupati di lingkungan wilayah Provinsi DKI Jakarta diangkat Gubernur dengan pertimbangan DPRD. Mekanisme ini berbanding terbalik dengan model yang diterapkan di Provinsi DIY. Walaupun letak keistimewaan Provinsi DIY berada pada tingkat provinsi seperti halnya DKI Jakarta, namun bupati/wali kota yang berada di lingkungan Provinsi DIY dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Sedangkan terhadap Gubernur dan Wakilnya diangkat berdasarkan penetapan yang dilaksanakan DPRD DIY.
Kembali pada isu Otorita IKN sebagaimana disinggung di awal, menjadi hal yang tidak lazim apabila Otorita IKN disejajarkan sebagai lembaga setingkat kementerian karena di samping bukan bagian dari jenis/bentuk pemerintahan yang terdapat dalam UUD 1945, juga berpotensi menimbulkan kerancuan pengaturan wewenang dan hubungan Otorita IKN dengan kementerian dan pemerintahan daerah lainnya. Konsep otorita lebih merupakan suatu organisasi pemerintah pusat yang pimpinannya secara delegasi untuk melaksanakan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat.
Sementara pemerintah daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum pada wilayah tertentu yang diberi hak untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi. Konstitusi mengatur adanya pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian adanya pemerintahan daerah khusus. Sementara konsep otorita hanya menjalankan peran dan fungsi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Otorita tidak dapat mengatur urusan kepentingan publik di daerah kawasan tersebut. Padahal, konsep pemerintahan daerah berbanding sebaliknya yakni mengurusi berbagai persoalan administrasi pelayanan masyarakat sejak kelahiran hingga kematian. Termasuk soal urusan pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga budaya sehingga berwenang pula untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Indonesia pernah menerapkan sistem otorita di era Orde Baru yaitu Otorita Batam yang bertugas melaksanakan kewenangan teknis tertentu dari pemerintah pusat dalam mengurus industri teknologi tinggi, alih kapal, perdagangan, dan pariwisata di Kota Batam. Selain juga terdapat lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas menjalankan kewenangan teknis dari pemerintah pusat dalam pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, lembaga finance, pasar modal, perasuransian dll yang sebelumnya merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI).
Yang menjadi persoalan adalah Otorita IKN didesain layaknya pemerintahan daerah setingkat provinsi, di mana berdasarkan ketentuan Pasal 18, 18A ayat (1) UUD 1945 jenis pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan nasional menentukan dengan sangat jelas dan rigid terbatas hanya daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing dikepalai oleh Gubernur, Bupati atau wali kota yang tidak memungkinkan adanya nama dan konsep pemerintahan daerah dan kepala daerah selain yang telah ditentukan norma konstitusional di atas sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 memang mengakui dan menghormati adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, tapi pengaturannya masih dalam bentuk provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang ditentukan secara eksplisit dalam Pasal 18 dan 18 ayat (1) UUD 1945 sebagai kebijakan hukum tertutup (closed legal policy). Kekhususan atau keistimewaan tersebut dalam praktiknya pengaturan tentang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nanggroe Aceh Darussalam. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang semuanya berbentuk Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Persoalan di atas memberikan dampak lanjutan apabila Otorita IKN Nusantara dipersamakan kedudukannya dengan pemerintahan daerah di tingkat provinsi karena Otorita IKN yang dipimpin oleh Kepala Otorita juga harus dipilih secara demokratis berdasarkan optik Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 baik melalui pemilihan umum maupun melalui DPRD sebagaimana yang dilakukan di Pemerintahan DIY dalam menjalankan otonomi daerah. Tidaklah tepat apabila Kepala Otorita IKN (dalam perspektif dipersamakan dengan Kepala Daerah) dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung atau penetapan oleh Presiden dengan syarat pertimbangan/fit and proper test/konsultasi dengan DPR sebelumnya karena mekanisme tersebut dipraktikkan untuk memilih pejabat yang menjalankan tugas pemerintahan pusat di rumpun kekuasaan eksekutif seperti Menteri, Kapolri, Panglima TNI,
Komisioner KPK, Jaksa Agung, Ketua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dll.