Aliansi Ulama-Negara Hambat Demokrasi dan Pembangunan di Dunia Muslim

Selasa, 28 Desember 2021 - 13:22 WIB
loading...
Aliansi Ulama-Negara Hambat Demokrasi dan Pembangunan di Dunia Muslim
Ahmet T Kuru. FOTO/IST
A A A
Ahmet T Kuru
Profesor Ilmu Politik di San Diego State University,
Penulis buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan

PADA September 2021, Presiden Recep Tayyip Erdogan meresmikan Rumah Turki (Turkish House) di New York dengan upacara kenegaraan tingkat tinggi. Peresmian diawali dengan pembacaan doa oleh Presiden Badan Agama Turki (Diyanet) yang juga merupakan pimpinan ulama di negara tersebut dan berotoritas mengontrol 80.000 masjid secara nasional. Kedudukan politik ulama yang belakangan meningkat di Turki ini menunjukkan kombinasi yang semakin kuat antara ulama dan rezim Erdogan.

Selama sekitar satu abad, Turki dikenal sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim yang menganut sekularisme asertif. Dengan menganut paham itu pun, aliansi ulama dan negara tetap semakin menguat.

Di lain pihak, di negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, Afghanistan, pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban menjadikan ulama bukan sekadar mitra negara, melainkan 'negara' itu sendiri. Mereka mengontrol eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Di antara 50 negara mayoritas muslim di dunia, Turki memiliki pengalaman terpanjang sebagai negara sekular, sementara Afghanistan merupakan negara dengan pengalaman teokratis terdalam (bersama Iran). Di banyak negara mayoritas muslim lainnya, aliansi ulama dan kekuasaan menunjukkan variasi beragam. Namun karakteristik aliansi tersebut pada umumnya cenderung menghambat proses demokratisasi dan pembangunan.

Penyebab Krisis Dunia Muslim: Bukan Ajaran Islam atau Intervensi Barat
Dari 50 negara mayoritas muslim itu, hanya tujuh negara yang menganut demokrasi elektoral. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim juga menunjukkan tingkat pembangunan yang rendah. Hal itu tercermin dari kriteria-kriteria sosial ekonomi, seperti GNI per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan, dan tingkat melek huruf yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia. Secara bersamaan, banyak negara muslim yang terjebak pada lingkaran setan otoritarianisme dan ketertinggalan.

Fakta ketertinggalan negara-negara muslim kontemporer itu sebenarnya membingungkan ketika kita mempelajari sejarah awal dunia muslim yang justru menunjukkan kemajuan sosio-ekonomi dan ilmu pengetahuan. Khususnya di antara Abad ke-8 dan ke-11, ketika dunia muslim menciptakan banyak kota besar dan melahirkan para filsuf terkemuka dunia. Saat itu, perkembangan dunia muslim jauh lebih berkembang dibandingkan Eropa.

Lalu apa yang menjelaskan perbedaan dunia muslim pada masa-masa awal yang penuh kejayaan dengan dunia muslim saat ini yang dikepung oleh berbagai krisis? Setidaknya terdapat dua pendapat umum untuk menjelaskan fenomena itu: karena ajaran Islam itu sendiri dan faktor kolonialisme Barat. Walakin, kedua pendapat ini tidak dapat menjelaskan masalah dunia muslim.

Mereka yang menyalahkan ajaran Islam sebagai penghambat kemajuan gagal menjelaskan pencapaian ilmiah dan sosio-ekonomi dunia muslim pada masa awal. Selama empat abad, masyarakat muslim memiliki kelas intelektual dan ekonomi yang dinamis. Keduanya membentuk Golden Age perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para polimatik muslim memberikan kontribusi ilmiah yang luar biasa dalam pencapaian matematika, optik, dan kedokteran. Para muslimlah yang mengajarkan orang-orang Eropa Barat mengenai instrumen keuangan dan metode produksi kertas. Oleh karena itu, pendapat kalangan esensialis yang menyalahkan ajaran Islam bermasalah.

Begitu pula para ahli yang mendaraskan kegagalan dunia muslim kontemporer akibat kolonialisme Barat. Stagnansi ekonomi dan ilmu pengetahuan di dunia muslim telah muncul jauh sebelum kolonisasi Barat yang masif pada Abad ke-18. Melihat perkembangan saat ini, beberapa negara non-muslim paska-kolonial di Asia dan Amerika Latin juga telah sukses mencapai pembangunan dan demokratisasi. Itu menunjukkan bahwa kemajuan sangat mungkin terjadi meskipun di negara terkait memiliki masa lalu kelam dengan kolonialisme.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1515 seconds (0.1#10.140)