Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan
loading...
A
A
A
Justru yang saya sayangkan adalah ketika ada pihak-pihak yang dengan simplistik hanya melihat kesalahan itu dari permukaan peristiwa yang terjadi. Hanya menyalahkan perilaku anarkis tanpa ada keinginan moral untuk melihat lebih jauh di balik dari anarkis itu.
Kembali kepada statement Martin Luther tadi, bahwa anarkis terkadang menjadi representasi dari suara-suara yang tak terdengarkan (unheard voices). Maka seharusnya semua kita, jika ingin imbang dan adil dalam menyikapi ini harus berani menggali lebih dalam lagi tentang peristiwa itu. ( ).
Kekisruhan yang kita saksikan di Amerika saat ini sesungguhnya tidak harus mengejutkan banyak kalangan. Semua ini menjadi sesuatu yang (expected) terjadi kapan-kapan saja jika menemukan pemicunya. Dan insiden kekerasan kepada minoritas, khususnya Afro American, bukan barang baru. Kejadian dari masa ke masa, dan menimbulkan reaksi yang sama bahkan lebih dahsyat dari kejadian saat ini terlalu banyak untuk diingat-ingat kembali.
Masalahnya sekali lagi manusia berpura-pura tidak tahu akar permasalahannya. Atau memang secara sistematis berusaha ditutup-ditutupi, tentu untuk kepentingan tertentu yang Allah Yang Maha Tahu lebih tahu.
Tapi yang pasti, kekerasan demi kekerasan yang kerap terjadi kepada kaum minoritas di Amerika adalah indikasi adanya paham ras superior di kalangan mayoritas putih di Amerika. Puncak dari paham superioritàs ini terwujud belakangan ini dengan istilah 'white supremacy'. Yang kemudian melahirkan politisi-politisi ekstrem dan rasis seperti Presiden Amerika saat ini.
Rasisme di Amerika sekali lagi bukan barang baru. Bahkan sejujurnya seolah telah menjadi 'trade mark' tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Dari masa ke masa minoritas di negara ini mendapat perlakukan yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan konstitusi negara sendiri.
Sejak kadatangan kaum putih, yang sesungguhnya diterima dengan tangan terbuka dan lapang dada oleh penduduk asli (Native American) telah menampakkan perilaku rasis itu. Sejarah mencatat bagaimana perayaan 'Thanksgiving Day' yang awalnya dilakukan sebagai kesyukuran bersama atas panen yang melimpah, berubah menjadi perayaan dominasi bahkan eliminasi Native American itu sendiri.
Sejak itu Native American semakin termarginalkan. Bahkan lambat laun ada cenderung eliminasi (dihabiskan) secara sistematis. Mereka hidup di daerah-daerah atau pegunungan-pegunungan preservasti yang tidak menjadi perhatian dalam pembangunan negara.
Inilah yang kemudian terjadi kepada masyarakat hitam (Afro). Sejak kehadirannya di Amerika karena dipaksa oleh kaum putih sebagai budak-budak (slaves) mereka secara sistematis, bahkan secara tidak langsung juga secara sistemik, mengalami diskriminasi-diskriminasi hampir di segala lini kehidupan.
Kita kemudian diingatkan pergerakan hak-hak sipil (civil rights movements) di tahun 50-an atau 60-an. Yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. semua itu adalah bukti-bukti jelas dari permasalahan ras atau rasisme di negeri ini.
Kembali kepada statement Martin Luther tadi, bahwa anarkis terkadang menjadi representasi dari suara-suara yang tak terdengarkan (unheard voices). Maka seharusnya semua kita, jika ingin imbang dan adil dalam menyikapi ini harus berani menggali lebih dalam lagi tentang peristiwa itu. ( ).
Kekisruhan yang kita saksikan di Amerika saat ini sesungguhnya tidak harus mengejutkan banyak kalangan. Semua ini menjadi sesuatu yang (expected) terjadi kapan-kapan saja jika menemukan pemicunya. Dan insiden kekerasan kepada minoritas, khususnya Afro American, bukan barang baru. Kejadian dari masa ke masa, dan menimbulkan reaksi yang sama bahkan lebih dahsyat dari kejadian saat ini terlalu banyak untuk diingat-ingat kembali.
Masalahnya sekali lagi manusia berpura-pura tidak tahu akar permasalahannya. Atau memang secara sistematis berusaha ditutup-ditutupi, tentu untuk kepentingan tertentu yang Allah Yang Maha Tahu lebih tahu.
Tapi yang pasti, kekerasan demi kekerasan yang kerap terjadi kepada kaum minoritas di Amerika adalah indikasi adanya paham ras superior di kalangan mayoritas putih di Amerika. Puncak dari paham superioritàs ini terwujud belakangan ini dengan istilah 'white supremacy'. Yang kemudian melahirkan politisi-politisi ekstrem dan rasis seperti Presiden Amerika saat ini.
Rasisme di Amerika sekali lagi bukan barang baru. Bahkan sejujurnya seolah telah menjadi 'trade mark' tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Dari masa ke masa minoritas di negara ini mendapat perlakukan yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai dan konstitusi negara sendiri.
Sejak kadatangan kaum putih, yang sesungguhnya diterima dengan tangan terbuka dan lapang dada oleh penduduk asli (Native American) telah menampakkan perilaku rasis itu. Sejarah mencatat bagaimana perayaan 'Thanksgiving Day' yang awalnya dilakukan sebagai kesyukuran bersama atas panen yang melimpah, berubah menjadi perayaan dominasi bahkan eliminasi Native American itu sendiri.
Sejak itu Native American semakin termarginalkan. Bahkan lambat laun ada cenderung eliminasi (dihabiskan) secara sistematis. Mereka hidup di daerah-daerah atau pegunungan-pegunungan preservasti yang tidak menjadi perhatian dalam pembangunan negara.
Inilah yang kemudian terjadi kepada masyarakat hitam (Afro). Sejak kehadirannya di Amerika karena dipaksa oleh kaum putih sebagai budak-budak (slaves) mereka secara sistematis, bahkan secara tidak langsung juga secara sistemik, mengalami diskriminasi-diskriminasi hampir di segala lini kehidupan.
Kita kemudian diingatkan pergerakan hak-hak sipil (civil rights movements) di tahun 50-an atau 60-an. Yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. semua itu adalah bukti-bukti jelas dari permasalahan ras atau rasisme di negeri ini.