Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan

Senin, 01 Juni 2020 - 11:05 WIB
loading...
Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan
Imam Shamsi Ali. Foto/Istimewa
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation & Imam/Direktur Jamaica Muslim Center NYC.


JUDUL di atas adalah ungkapan atau kata-kata yang pernah disampaikan oleh Martin Luther Jr beberapa tahun silam. Ketika itu di beberapa tempat di Amerika terjadi insiden anarkis dari kalangan minoritas hitam, yang juga didukung oleh beberapa segmen masyarakat termasuk Yahudi dan sebagian warga putih. Mereka menuntut keadilan dan kesetaraan ras bagi seluruh warga Amerika.

Menyikapi itu beliau ditekan bahwa perjuangannya ternyata tidak damai atau 'non violence' karena menimbulkan anarkis. Bahkan dituduh sebagai prilaku “kekerasan” oleh pihak lain (warga kulit putih atau penguasa saat itu). Dalam merespons itu beliau mengatakan: "riot is the language of the unheard".

Dalam statement-nya Martin Luther mengatakan bahwa anarkis bukan sesuatu yang wajar untuk didukung (condoned). Tapi jangan pula serta merta sekadar mengutuk (condemned) perilaku anarkis yang terjadi di masyarakat. Justru harusnya ada penilaian dan sikap imbang dari semua pihak.

Beliau bahkan menegaskan: "riot is not to be condoned. Because there is another way to struggle" (anarkis bukan untuk didukung. Karena masih ada jalan lain dalam melakukan perjuangan).

Tentu yang dimaksud adalah bahwa perjuangan tetap pada jalur 'non violence' (tanpa kekerasan). Dan itulah yang sesungguhnya menjadi 'trade mark' perjuangan Martin Luther dan kolega-koleganya saat itu, termasuk seorang muslim yang kita kenal kemudian dengan Malcom X.

Memang sejujurnya, kerap kali khususnya yang berada di posisi atas (upper hand), termasuk penguasa, menyikapi peristiwa-peristiwa di masyarakat secara simplistik. Apakah karena memang kedangkalan pemahaman atau juga karena ingin menyembunyikan tanggung jawab besarnya sendiri. Atau boleh juga karena adanya agenda-agenda tersendiri yang ingin dilososkan.

Ambillah misalnya di beberapa negara mayoritas muslim. Begitu dengan mudah umat Islam dituduh sebagai umat yang radikal atau ekstrem. Atau dituduh nampak tidak 'taat pemerintah'. Tuduhan itu kemudian terdefenisikan oleh penampakan lahir di masyarakat saat itu. Seraya menyembunyikan 'the root of the matter' (akar permasalahan).

Maka terbangunlah persepsi bahwa umat ini selalu berada pada posisi 'rebellion' (memberontak) kepada penguasa. Yang sudah pasti umat dihadapkan pada pemerintah yang dianggap mewakili negara. Dan akhirnya umat dilabeli sebagai elemen 'anti negara', anti falsafah dan konstitusinya.

Kasus Minnesota dan Rasisme Amerika
Saat ini Amerika sedang memanas. Dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam (Afro American) karena kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian setempat memicu demonstrasi besar-besaran di beberapa kota. Bahkan di sebagian kota juga terjadi anarkis, termasuk penjarahan toko-toko dan pembakaran beberapa buah gedung.
Anarkis Itu Suara yang Tak Terdengarkan

Demonstran mengepalkan tangan di depan bangunan yang terbakar di sela aksi unjuk rasa menyusul tewasnya George Floyd di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Sabtu dini hari (30/5/2020). REUTERS/Lucas Jackson

Tentu saya tidak bermaksud membela apalagi mendukung anarkis, penjarahan, atau kekerasan dalam bentuk apa pun. Karena itu bertentangan dengan norma-norma dan aturan semua masyarakat Yang beradab (civilized society). Lebih lagi Amerika yang kerap memproklamirkan diri sebagai negara yang demokratis dan beradab (civilized).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1856 seconds (0.1#10.140)