Kedekatan Nasionalisme Populis dengan Agama, Ancaman untuk Suara yang Berbeda

Selasa, 02 April 2024 - 15:27 WIB
loading...
Kedekatan Nasionalisme...
Ahmet T Kuru Profesor Ilmu Politik, Direktur Center for Islamic & Arabic Studies, Universitas San Diego State. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Ahmet T Kuru
Profesor Ilmu Politik
Direktur Center for Islamic & Arabic Studies, Universitas San Diego State

NOVEMBER 2023 lalu, saya mengunjungi Indonesia dan mengulas buku saya yang diterjemahkan, “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Saya menerima sambutan hangat dari masyarakat Indonesia atas buku yang berisi analisis akademik mengenai krisis politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh banyak masyarakat Muslim saat ini.

Sambutan hangat dan ramah dari masyarakat Indonesia mendorong saya untuk mengunjungi negara tetangganya, Malaysia, dengan tujuan serupa untuk mempromosikan buku saya yang baru diterjemahkan ke bahasa Melayu. Namun, tidak disangka, kegiatan promosi buku saya menghadapi konfrontasi yang tidak beralasan, dan itu dihadapi sejak kedatangan pertama saya di Bandara Kuala Lumpur dengan mereka yang menyebut diri sebagai polisi.

Beberapa kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia rupanya keliru melabeli saya di media sosial sebagai “liberal”-sebuah istilah yang digunakan oleh badan federal Malaysia yang mengelola urusan Islam untuk merujuk pada mereka yang menentang Islam Sunni, agama resmi di negara itu. Acara peluncuran buku saya kemudian dibatalkan.

Meski demikian, saya tetap mengisi beberapa acara diskusi lainnya. Lalu dua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai petugas polisi datang ke acara terakhir saya dan menginterogasi penerbit saya. Saat itu saya tetap melanjutkan acara diskusi tersebut.

Saat ingin meninggalkan Malaysia, petugas yang sama kembali menginterogasi saya dan mencoba menyita paspor saya di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Saat itu, saya akan melanjutkan penerbangan ke Pakistan. Namun, saya memutuskan untuk membatalkan serangkaian diskusi yang direncanakan di Lahore dan Islamabad, dan kembali ke Amerika Serikat.

Insiden yang saya alami di Malaysia itu menjadi sorotan media setempat, namun inspektur jenderal polisi Malaysia membantah bahwa otoritasnya mengirim petugas untuk mencekal saya. Lebih jauh, aktivis hak asasi manusia (HAM) Malaysia menyerukan untuk dilakukannya investigasi yang lebih menyeluruh terhadap kasus saya.

Sebagai seorang akademisi yang mengkaji agama dan politik dalam perspektif komparatif, saya tidak melihat apa yang saya alami sebagai contoh intoleransi agama yang terisolasi di negara-negara mayoritas Muslim. Sebaliknya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih luas.

Penelitian saya menunjukkan bahwa ada peningkatan tren global yang menentang perbedaan pendapat dan pandangan agama minoritas. Adalah suatu yang penting untuk memahami ini melalui kacamata naiknya para pemimpin populis sayap kanan dalam tampuk kekuasaan di banyak negara, seperti Turki, Rusia, Israel, dan India, termasuk di negara seperti Amerika Serikat. Semua negara tersebut baru-baru ini mengalami kombinasi dari tiga gerakan: konservatisme agama, nasionalisme, dan populisme.

Agama dan Nasionalisme: Musuh Lama, Kawan baru
Dalam sejarah Kristen dan Muslim, nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap penegakkan agama. Setelah abad ke-16, di Eropa, seperti yang dijelaskan Benedict Anderson, nasionalisme muncul melalui perluasan bahasa-bahasa daerah, gereja-gereja nasional, dan negara-bangsa yang dalam batas tertentu bersitegang dengan bangsa Latin, Vatikan, dan dinasti-dinasti yang “ditasbihkan secara ilahi”.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1461 seconds (0.1#10.140)