Masyarakat Rasakan Korupsi Meningkat 2 Tahun Terakhir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Survei Indonesia ( LSI ) menemukan bahwa mayoritas publik merasa bahwa tingkat korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dalam 2 tahun terakhir. Hal ini ditemukan dalam survei nasional teranyar LSI yang bertajuk “Persepsi Publik tentang Pengelolaan dan Potensi Korupsi Sumber Daya Alam”.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menanyakan kepada responden, dalam dua tahun terakhir, bagaimana menurut ibu/bapak mengenai tingkat korupsi di Indonesia saat ini, apakah meningkat, menurun, atau tidak mengalami perubahan. Hasilnya, 60% publik merasa ada peningkatan korupsi, 11% menyatakan menurun, 27% merasa sama saja dan sisanya tidak menjawab.
“Mayoritas publik nasional (60%) menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat,” kata Djayadi dalam pemaparan survei secara daring, Minggu (8/8/2021).
Menurut Djayadi, temuan ini meningkat dari survei pada Desember 2020 yakni 56% yang merasa korupsi cenderung meningkat dan survei Juni 2021 yakni 53% publik juga merasa bahwa korupsi cenderung meningkat.
Djayadi menjelaskan, publik dari berbagai kategori sosio-demografi sebagian besar menilai bahwa tingkat korupsi dalam dua tahun terakhir meningkat. Publik dengan usia lebih muda, etnis Madura dan Betawi, pekerjaan kerah putih/kantoran, pendidikan dan pendapatan menengah cenderung lebih mempersepsi peningkatan korupsi.
“Demikian pula publik di wilayah perkotaan, terutama di Banten, DKI, dan Jawa Tengah, serta publik di 3 dari 4 wilayah oversample memiliki persepsi peningkatan korupsi yang lebih tinggi,” terangnya.
Sebelumnya, kata Djayadi, publik secara umum juga sangat atau prihatin dengan enam masalah bangsa yang ada salah satunya korupsi, 44% publik merasa sangat prihatin terhadap masalah korupsi, lapangan kerja 44%, dan pertumbuhan ekonomi 43%. Sedangkan kerusakan lingkungan 32%, demokrasi 27%, dan perubahan iklim 26% atau lebh rendah tingkat keprihatinannya.
Namun demikian, dia menambahkan, mayoritas publik bersikap positif terhadap pemerintah dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan (76%). Mereka percaya pemerintah dapat menjaga lingkungan (75%), meski mereka juga setuju bahwa pemerintah lebih memperhatikan pertumbuhan ekonomi (71%).
Diketahui, survei ini dilakukan melalui telepon pada 9-15 Juli 2021, dengan sampel basis nasional sebanyak 1.200 responden dan dilakukan tambahan sample di empat provinsi yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara masing-masing menjadi 400 responden. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Juni 2021.
Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel basis sebanyak 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error atau MoE) ±2.88% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Tambahan sample di empat provinsi dengan jumlah sampel masing-masing 400 responden memiliki toleransi kesalahan ±5% pada tingkat kepercayaan 95%.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menanyakan kepada responden, dalam dua tahun terakhir, bagaimana menurut ibu/bapak mengenai tingkat korupsi di Indonesia saat ini, apakah meningkat, menurun, atau tidak mengalami perubahan. Hasilnya, 60% publik merasa ada peningkatan korupsi, 11% menyatakan menurun, 27% merasa sama saja dan sisanya tidak menjawab.
“Mayoritas publik nasional (60%) menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat,” kata Djayadi dalam pemaparan survei secara daring, Minggu (8/8/2021).
Menurut Djayadi, temuan ini meningkat dari survei pada Desember 2020 yakni 56% yang merasa korupsi cenderung meningkat dan survei Juni 2021 yakni 53% publik juga merasa bahwa korupsi cenderung meningkat.
Djayadi menjelaskan, publik dari berbagai kategori sosio-demografi sebagian besar menilai bahwa tingkat korupsi dalam dua tahun terakhir meningkat. Publik dengan usia lebih muda, etnis Madura dan Betawi, pekerjaan kerah putih/kantoran, pendidikan dan pendapatan menengah cenderung lebih mempersepsi peningkatan korupsi.
“Demikian pula publik di wilayah perkotaan, terutama di Banten, DKI, dan Jawa Tengah, serta publik di 3 dari 4 wilayah oversample memiliki persepsi peningkatan korupsi yang lebih tinggi,” terangnya.
Sebelumnya, kata Djayadi, publik secara umum juga sangat atau prihatin dengan enam masalah bangsa yang ada salah satunya korupsi, 44% publik merasa sangat prihatin terhadap masalah korupsi, lapangan kerja 44%, dan pertumbuhan ekonomi 43%. Sedangkan kerusakan lingkungan 32%, demokrasi 27%, dan perubahan iklim 26% atau lebh rendah tingkat keprihatinannya.
Namun demikian, dia menambahkan, mayoritas publik bersikap positif terhadap pemerintah dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan (76%). Mereka percaya pemerintah dapat menjaga lingkungan (75%), meski mereka juga setuju bahwa pemerintah lebih memperhatikan pertumbuhan ekonomi (71%).
Diketahui, survei ini dilakukan melalui telepon pada 9-15 Juli 2021, dengan sampel basis nasional sebanyak 1.200 responden dan dilakukan tambahan sample di empat provinsi yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara masing-masing menjadi 400 responden. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Juni 2021.
Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel basis sebanyak 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error atau MoE) ±2.88% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Tambahan sample di empat provinsi dengan jumlah sampel masing-masing 400 responden memiliki toleransi kesalahan ±5% pada tingkat kepercayaan 95%.
(muh)