MK: KPK Berwenang Usut Korupsi Militer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang menangani secara tuntas perkara korupsi yang melibatkan militer atau TNI. Dengan syarat, perkara tersebut ditemukan KPK.
Hal tersebut berdasarkan putusan uji materil yang diajukan Gugum Ridho Putra terkait Pasal 42 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Adapun putusan MK tercatat nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dibacakan 29 November 2024.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," berikut bunyi putusan MK.
Bunyi Pasal 42 UU KPK:
KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon. Kemudian, Pasal 42 UU KPK berbunyi sebagai berikut:
KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Tentunya sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan KPK.
Dalam salah satu pertimbangannya, dalil pemohon yang mempersoalkan kewenangan KPK menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan secara koneksitas, yang pelaku/subjek hukumnya secara bersama-sama tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, in casu antara TNI dan KPK, yang isu utamanya bertitik tolak pada norma Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002.
Hal tersebut dikarenakan di satu sisi KPK merasa berwenang menangani tindak pidana korupsi dimaksud yang pelakunya adalah aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Di sisi lain, UU Nomor 31 Tahun 1997 mengatur oditur militer atau oditur militer tinggi berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, pelaksana putusan atau penetapan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana serta penyidik ketika tindak pidana dilakukan prajurit TNI.
"Terhadap hal tersebut, dalam perspektif kewenangan KPK, Pasal 42 UU 30/2002 pada dasarnya telah mengakomodir agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda terkait persoalan instansi yang berwenang menangani perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama- sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum," bunyi salah satu pertimbangannya.
Hal tersebut berdasarkan putusan uji materil yang diajukan Gugum Ridho Putra terkait Pasal 42 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Adapun putusan MK tercatat nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dibacakan 29 November 2024.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," berikut bunyi putusan MK.
Bunyi Pasal 42 UU KPK:
KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon. Kemudian, Pasal 42 UU KPK berbunyi sebagai berikut:
KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Tentunya sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan KPK.
Dalam salah satu pertimbangannya, dalil pemohon yang mempersoalkan kewenangan KPK menangani tindak pidana korupsi yang dilakukan secara koneksitas, yang pelaku/subjek hukumnya secara bersama-sama tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, in casu antara TNI dan KPK, yang isu utamanya bertitik tolak pada norma Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002.
Hal tersebut dikarenakan di satu sisi KPK merasa berwenang menangani tindak pidana korupsi dimaksud yang pelakunya adalah aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Di sisi lain, UU Nomor 31 Tahun 1997 mengatur oditur militer atau oditur militer tinggi berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, pelaksana putusan atau penetapan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana serta penyidik ketika tindak pidana dilakukan prajurit TNI.
"Terhadap hal tersebut, dalam perspektif kewenangan KPK, Pasal 42 UU 30/2002 pada dasarnya telah mengakomodir agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda terkait persoalan instansi yang berwenang menangani perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama- sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum," bunyi salah satu pertimbangannya.
(jon)