Lebaran Sunyi
loading...
A
A
A
Di tengah anjuran untuk tetap tinggal di rumah, di antara ke(sok)sibukan work from home, di benaman pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tak dimungkiri muncul pula rasa bosan. Dan, ketika terma bosan itu menyerang kita mengeluh. Ingin berontak. Ingin segera “bebas”, yang pada akhirnya menuntun kita pada kenekatan beraktivitas di tengah ancaman kesehatan.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
Cobalah berpikir seperti bait puisi Rozi tadi: mungkin di dalam sunyi, Tuhan sedang menanti. Mungkin di dalam sepi, pintu tobat terdapat. Mungkin di dalam besarnya kesempatan berkumpul dengan keluarga utama, rasa sayang Tuhan mengemuka. Atau justru di dalam jarak yang terpaksa terbentang antarsaudara, kita benar bisa menyadari nikmat pertemuan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Padahal, itu kemurahan hati-Nya. Padahal itu hadiah indah dari-Nya.
Maka, jika kita mampu menempatkan iman dan hati secara tepat atas Lebaran yang sunyi secara fisik ini, sangat mungkin kita bisa menemukan kesemarakan Lebaran di dalam hati. Rasanya, ini saat yang tepat bagi kita untuk evaluasi. Jangan-jangan, lebaran demi lebaran yang sudah kita alami adalah negasi: semarak secara fisik, tapi sunyi di dalam hati.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
Cobalah berpikir seperti bait puisi Rozi tadi: mungkin di dalam sunyi, Tuhan sedang menanti. Mungkin di dalam sepi, pintu tobat terdapat. Mungkin di dalam besarnya kesempatan berkumpul dengan keluarga utama, rasa sayang Tuhan mengemuka. Atau justru di dalam jarak yang terpaksa terbentang antarsaudara, kita benar bisa menyadari nikmat pertemuan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Padahal, itu kemurahan hati-Nya. Padahal itu hadiah indah dari-Nya.
Maka, jika kita mampu menempatkan iman dan hati secara tepat atas Lebaran yang sunyi secara fisik ini, sangat mungkin kita bisa menemukan kesemarakan Lebaran di dalam hati. Rasanya, ini saat yang tepat bagi kita untuk evaluasi. Jangan-jangan, lebaran demi lebaran yang sudah kita alami adalah negasi: semarak secara fisik, tapi sunyi di dalam hati.