Lebaran Sunyi

Kamis, 28 Mei 2020 - 07:47 WIB
loading...
Lebaran Sunyi
Foto/SINDOnews
A A A
Fajar S Pramono
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta

Hal paling membedakan antara suasana lebaran tahun ini dan lebaran-lebaran sebelumnya, jelas masalah kesemarakan. Perayaan lebaran tahun ini tak sesemarak tahun-tahun dulu. Kekurangsemarakan tak hanya berkait dengan ketakutan akan terpaparnya tubuh oleh virus corona (Covid-19), tapi juga karena aturan yang dibuat pemerintah guna meminimalkan penyebaran penyakit oleh makhluk tak kasatmata itu.

Lebaran menjadi sunyi. Sunyi yang sesungguhnya sudah terasa ketika hampir seluruh aktivitas terbatasi sejak sebelum Ramadhan, sepanjang Bulan Suci, bahkan hingga hari ini. Tak ada pergerakan orang pergi dan kembali dari majelis taklim, masjid, atau musala. Tak ada senyum-senyum nan cerah meriah di pagi hari Idul Fitri 1 Syawal 1441 H ini. Sepi. Sunyi. (Baca: Puasa Syawal, Adat Tarim dan Indonesia)

Namun, apakah benar, Lebaran ini sunyi? Bukankah sesungguhnya makna, hikmah dan esensi Lebaran ada di dalam “maqam” kesunyian? Bukankah kebenaran pertobatan, kesungguhan meminta maaf, dan keikhlasan memaafkan adanya justru di hati?

Maka banyak bijak bestari yang mengatakan, sangat mungkin ini adalah bagian dari ingatan dasar yang diberikan Tuhan. Bahwa sesungguhnya, tobat, ikhlas, dan maaf memiliki persemayaman hakiki di dalam hati. Adapun ucapan, cium tangan, pelukan, rangkulan, jabat tangan, dan sebagainya ketika antarsaudara, antarteman berkumpul di hari Lebaran hanyalah simbol artifisial yang sekadar menguatkan. Bukan esensi terdalam.

Seorang kawan menulis puisi indah. Nukilan baitnya sangat baik untuk kita renungkan: Kita berlomba-lomba meramaikan rumah-Nya, tapi apa benar Ia berada di sana? | Kakbah, Vatikan, dan Tembok Ratapan | mendadak sepi karena pandemi | Apakah Tuhan sengaja pergi, enggan untuk dikunjungi? | Pandemi ini mengajarkan kita, menyembah-Nya tidak perlu dengan keramaian yang menyesakkan | Mungkin... | Tuhan ingin kita menjumpainya dalam sunyi (Rozi Pratama Putra Mirsha, “Jendela”).

Kedirian dalam Distraksi

Desi Anwar, yang selama ini kita kenal sebagai jurnalis dan presenter televisi, menulis sebuah buku yang dengan baik bernarasi tentang upaya manusia dalam menemukan jati diri di dunia yang penuh distraksi. Judulnya: Going Offline (2019).

Jika keterbatasan gerak masa pandemi ini menjadi sesuatu yang membuat kita “kesepian”, memaksa kita berjibaku dengan keminiman teman bicara un-virtual, menciptakan kebiasaan baru beribadah dalam kesendirian, maka apa yang ditulis Desi Anwar menemukan relevansinya. Buku ini memang lebih didasari realitas betapa kita sudah menjadi “budak” kehidupan online. Tapi, ada beberapa hal dari buku itu yang bisa dibaca pula sebagai renungan bagi pentingnya sebuah kesendirian, yang tak sengaja diciptakan oleh pandemi.

Bahwa sunyi dan sendiri adalah template yang sangat baik untuk melakukan kontemplasi. Mengoptimalkan fungsi seluruh indera jiwa dan ragawi yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan menanyakan berbagai makna fragmen kehidupan kepada narasumber sejati: Tuhan, melalui apa yang disebut dengan hati nurani. Dalam kesunyian dan kesendirian itulah kita punya waktu untuk menjadi diri sebenar-benar diri sendiri. Bukan diri yang terpaksa menjadi diri berbeda karena “tuntutan” orang lain, hingga seorang Ralph Waldo Emerson—esais, penyair, dan pemimpin gerakan transendentalisme di Amerika Serikat—pun berkata, “Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus mendorongmu menjadi orang lain adalah prestasi besar.”
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1460 seconds (0.1#10.140)