Tak Kasasi Vonis Pinangki, Kejagung Diduga Lakukan Disparitas Penegakan Hukum

Kamis, 24 Juni 2021 - 20:37 WIB
loading...
Tak Kasasi Vonis Pinangki,...
Pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Ali Mukartono saat menjawab kasus Pinangki Sirna Malasari kini menjadi bola panas bagi institusi kejaksaan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Ali Mukartono saat menjawab kasus Pinangki Sirna Malasari kini menjadi bola panas bagi institusi kejaksaan . Pasalnya, dia menyebut Pinangki sudah menyumbangkan BMW kepada negara membuat publik bertanya-tanya akan komitmen dan konsistensi pemberantasan korupsi di tubuh Korps Adhyaksa.

Seperti yang disampaikan Pengamat Kejaksaan, Fajar Trio yang menilai pernyataan Ali sebagai bukti adanya disparitas penegakan hukum pemberantasan kasus rasuah. Karenanya ia tak heran media menyoroti aksi kejaksaan yang belum mengajukan kasasi terkait kasus eks Jaksa Pinangki.

"Apalagi bisa dibilang Pinangki ini jaksa yang menjadi otak pelaku penyalahgunaan wewenang dan rela menjadi makelar kasus Djoktjan (Djoko Tjandra). Harusnya Jampidsus paham betul fungsi kontroling yang dilakukan wartawan dalam meliput sebuah berita," ujar Fajar, Kamis (24/6/2021).

Menurutnya, sikap Ali bisa menyebabkan demoralisasi penegakan hukum para insan kejaksaan. Apalagi ditambah dugaan terjadinya disparitas penegakan hukum.

"Kejaksaan mengalami kemunduran keterbukaan informasi dan diduga melakukan disparitas penegakan hukum. Para jaksa yang menyidik dari awal kasus Pinangki bisa mengalami demoralisasi mendengar pernyataan tersebut," jelasnya.

Kondisi ini berbanding terbalik ketika kasus Jiwasraya dan Asabri. Dia menilai dalam kasus itu kejaksaan maju paling depan dalam melakukan penyitaan aset para tersangka.

"Kejaksaan seperti gagah betul saat memberikan keterangan telah menyita aset, padahal tidak ternyata sebagian ditengarai bukan milik terdakwa, hingga menuntut setinggi-tingginya hukuman kepada para terdakwa," katanya.

Terlebih dalam penyidikannya, kejaksaan ikut memeriksa tukang loak dan IRT (ibu rumah tangga) yang begitu bangga. Kondisi ini berbeda dengan treatment yang diberikan ke Pinangki. Ia kemudian mempertanyakan berbeda terbalik dengan kasus Pinangki dan Jaksa Urip beberapa waktu lalu.

"Apa yang telah disembunyikan kejaksaan dalam kasus Pinangki? Kok seperti ada bargaining position. Apakah dengan hanya diberi BMW sudah menjadi prestasi? Jaksa Agung harus ambil sikap tegas terhadap Ali. Kalau perlu copot!" tegas Fajar.

Sebagai penegak hukum, menurutnya pemikiran tersebut sangat dangkal dalam memberantas korupsi terlebih mengaitkan dengan pemberian BMW. "Apakah penegakan hukum hanya sebatas diberi BMW, sudah selesai itu barang? Ini ngeri sekali," paparnya.

Dia menyimpulkan jika kondisi ini berlarut maka Kejaksaan Agung dipastikan sudah tidak murni lagi dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum. "Membahayakan sekali jika Kejaksaan Agung yang dipimpin bapak ST Burhanuddin tidak lagi murni jadi alat negara yang melakukan penegakan hukum, dan malah alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum,” tegasnya.

Jadi kesimpulannya, Jampidsus patut diduga telah menjadikan doktrin Tri Krama Adhyaksa hanya sekadar menjadi lip service belaka karena tindakannya sama sekali tidak mewakili doktrin kehormatan para jaksa itu.

Sementara, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar menyebut pernyataan Ali Mukartono yang dengan bangga telah melakukan penyitaan mobil BMW dari kasus Pinangki tersebut merupakan tindakan yang sesat dan memalukan.

"Saya kira ini pernyataan yang memalukan karena seolah-olah terkesan Pinangki sudah menyumbangkan sebuah mobil BMW kepada negara dan pikiran seperti ini sesat," ujar Fickar.

Menurutnya, secara nyata Pinangki sudah jelas terbukti bersalah karena telah melakukan kejahatan. Terlebih dalam putusan pengadilan diserahkan kepada negara dan dipastikan bukan secara sukarela.

Fickar menyebut dalam kasus tersebut justru negara menderita kerugian yang tidak bernilai karena kehilangan sumberdaya manusia jaksa penuntut umum (SDM JPU) yang sudah dididik dan digaji oleh negara untuk melaksanakan tugas.

"Namun, justru menjadi penjahatnya. Berapa biaya yang sudah dikeluarkan negara untuk mendidik dan menggaji terdakwa Pinangki selama ini tentu tidak pernah cukup kalau hanya dibayar dengan mobil BMW semata. Dan yang menjadi pertanyaan besar, mengapa hingga kini Pinangki masih ditahan di rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung?" tanya Fickar.

Dia menilai bahwa negara juga menderita kerugian immaterial, yakni rasa malu yang besar karena tidak bisa mengendalikan aparaturnya melakukan kejahatan korupsi. Menurutnya, itulah yang seharusnya menjadi pemikiran seorang jaksa sebagai aparatur negara yang dibayar untuk melakukan penuntutan. "Termasuk kejahatan korupsi," ucapnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2327 seconds (0.1#10.140)