Pasal Penghinaan Presiden, Wamenkumham: Itu Delik Aduan Bukan Delik Biasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menilai ada kekeliruan pandangan publik mengenai pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP ).
"Memang ada suara-suara yang mengatakan ini menghidupkan, membangkitkan kembali dari kubur pasal-pasal yang sudah dimatikan oleh MK. Ini adalah suatu kekeliruan," ujar Edward dalam diskusi publik RUU KUHP, Senin (14/6/2021).
Edward menjelaskan bahwa pasal yang dimatikan MK adalah delik biasa bukan delik aduan. "Padahal yang disusun oleh pemerintah dan DPR terkait penghinaan presiden ini adalah delik aduan," jelasnya.
Edward juga menanggapi adanya pendapat bahwa penghinaan terhadap presiden ini tidak perlu ada, cukup dimasukkan saja ke dalam pasal-pasal penghina atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam Pasal 310 sampai Pasal 321 KUHP.
"Saya mengatakan begini, kalau pasal penghinaan terhadap presiden dihapus dan dimasukkan saja ke dalam Pasal penghinaan secara umum, maka hapuskan saja pasal-pasal tentang makar. Toh makar itu pembunuhan terhadap presiden dan wakil presiden. Mengapa kita tidak hapus saja dan masukkan ke dalam Pasal pembunuhan biasa, toh ada juga dalam KUHP," ungkapnya.
Edward menegaskan bahwa presiden adalah simbol negara. Presiden merupakan personifikasi dari suatu negara. "Masuk dalam suatu lambang kehormatan sehingga itu harus diatur secara khusus," tegasnya.
Padahal, kata Edward, materi mengenai KUHP di seluruh dunia hampir sama. Namun ada tiga hal yang membedakan, pertama mengenai delik politik.
"Kalau kita membuka KUHP kita, itu tidak ada bab yang berjudul delik politik. Berbeda dengan Prancis, ada delik politik," katanya.
"Memang ada suara-suara yang mengatakan ini menghidupkan, membangkitkan kembali dari kubur pasal-pasal yang sudah dimatikan oleh MK. Ini adalah suatu kekeliruan," ujar Edward dalam diskusi publik RUU KUHP, Senin (14/6/2021).
Edward menjelaskan bahwa pasal yang dimatikan MK adalah delik biasa bukan delik aduan. "Padahal yang disusun oleh pemerintah dan DPR terkait penghinaan presiden ini adalah delik aduan," jelasnya.
Edward juga menanggapi adanya pendapat bahwa penghinaan terhadap presiden ini tidak perlu ada, cukup dimasukkan saja ke dalam pasal-pasal penghina atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam Pasal 310 sampai Pasal 321 KUHP.
"Saya mengatakan begini, kalau pasal penghinaan terhadap presiden dihapus dan dimasukkan saja ke dalam Pasal penghinaan secara umum, maka hapuskan saja pasal-pasal tentang makar. Toh makar itu pembunuhan terhadap presiden dan wakil presiden. Mengapa kita tidak hapus saja dan masukkan ke dalam Pasal pembunuhan biasa, toh ada juga dalam KUHP," ungkapnya.
Edward menegaskan bahwa presiden adalah simbol negara. Presiden merupakan personifikasi dari suatu negara. "Masuk dalam suatu lambang kehormatan sehingga itu harus diatur secara khusus," tegasnya.
Padahal, kata Edward, materi mengenai KUHP di seluruh dunia hampir sama. Namun ada tiga hal yang membedakan, pertama mengenai delik politik.
"Kalau kita membuka KUHP kita, itu tidak ada bab yang berjudul delik politik. Berbeda dengan Prancis, ada delik politik," katanya.