Heboh Polemik Pasal Penghinaan Presiden, Masih Relevankah?
loading...
A
A
A
Dia melanjutkan, jika hal tersebut masuk ranah pribadi, maka orang yang menjabat presiden bisa mempersoalkan dengan mengadukan pencemaran nama baik yang secara umum ada pengaturannya, bukan aturan untuk presiden. "Yang dilupakan adalah bahwa KUHP itu peninggalan penjajah Belanda yang sistem pemerintahannya kerajaan (monarchi) yang hanya bisa diganti jika meninggal dunia. Karena itu lahirlah pasal yang melindungi Ratu yang kemudian diterjemahkan sebagai presiden yang jelas-jelas dipilih lima tahun sekali. Jadi, pasal ini jelas-jelas tidak relevan dan bertentangan dengan iklim demokrasi," tuturnya.
Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. "Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya.
Demikian pula, kata dia, dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945. "Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan, baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi. Terlebih, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara," ujarnya.
Menurut dia, bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. "Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik," imbuhnya.
Setara Institute pun menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara. Kemudian, Setara Institute mendesak agar DPR bersama pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara. "Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP," pungkasnya.
Kritikan lain pun datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka yang tergabung dalam aliansi itu diantaranya adalah ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi.
Kemudian, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.
"Terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda," kata perwakilan aliansi yang juga merupakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga.
Dia melanjutkan, pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar," pungkasnya.
Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. "Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya.
Demikian pula, kata dia, dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945. "Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan, baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi. Terlebih, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara," ujarnya.
Menurut dia, bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. "Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik," imbuhnya.
Setara Institute pun menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara. Kemudian, Setara Institute mendesak agar DPR bersama pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara. "Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP," pungkasnya.
Kritikan lain pun datang dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Mereka yang tergabung dalam aliansi itu diantaranya adalah ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi.
Kemudian, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.
"Terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda," kata perwakilan aliansi yang juga merupakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga.
Dia melanjutkan, pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
"Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar," pungkasnya.