Pemerintah Dinilai Gagal Paham Revisi UU ITE
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memastikan tidak akan mengubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto (jo) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ( Menkopolhukam ) Mahfud MD. Kepastian tersebut diperoleh pemerintah berdasarkan hasil tim kajian yang dibentuk melalui Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE.
Pusat riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII) menilai terdapat kegagalan pemerintah dalam memahami permasalahan yang terdapat dalam UU ITE. Karena bukannya menghapuskan pasal multitafsir yang mengekang kebebasan berekspresi dan melindungi masyarakat di dunia digital, rekomendasi yang diberikan malah menambahkan satu pasal yang membuat UU ITE makin menjadi regulasi yang bersifat represif.
“Rencana pemerintah menambahkan Pasal 45C ke dalam UU ITE yang akan mengatur pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran malah akan menambah pasal multitafsir dalam undang-undang ini.” ungkap Hemi Lavour Febrinandez, peneliti Bidang Hukum TII dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (10/6/2021).
Lebih lanjut, Hemi menjelaskan bahwa nomenklatur baru yang diadopsi dari Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak relevan dengan perkembangan hukum dan zaman hari ini.
“Walaupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih berlaku hingga saat ini, namun terdapat frasa yang dapat digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang. Hal tersebut secara langsung akan mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia,” jelas Hemi.
Hemi menjelaskan tentang frasa “dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” yang akan diadopsi ke dalam Pasal 45C pada revisi UU ITE. “Unsur ini yaitu menggunakan kata “dapat” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menunjukkan bahwa untuk delik Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran di kalangan rakyat. Keonaran di kalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau suatu potensi yang dapat terjadi.
Menurut dia, penggunaan frasa tersebut akan mudah ditafsirkan secara bebas oleh pelapor dan penegak hukum. Ditambah lagi, delik tersebut dapat diterapkan terhadap sebuah perbuatan yang belum menimbulkan keonaran atau dianggap sebagai delik selesai hanya dengan sebatas potensi belaka. Harus diingat bahwa yang menjadi dorongan dari masyarakat adalah untuk menghapus pasal-pasal multitafsir yang saat ini ada di dalam UU ITE, bukan malah menambah sengkarut permasalahan dalam undang-undang tersebut.
“Awalnya pembentukan Tim Kajian untuk mengevaluasi UU ITE menjadi angin segar untuk dapat mengatasi masalah masyarakat yang saling lapor dan pemidanaan akibat pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut. Namun, jika salah satu rekomendasi yang ditawarkan adalah menambah satu lagi pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi, artinya ada yang keliru dari kerja-kerja yang dilakukan oleh tim kajian ini,” pungkas Hemi.
Pusat riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII) menilai terdapat kegagalan pemerintah dalam memahami permasalahan yang terdapat dalam UU ITE. Karena bukannya menghapuskan pasal multitafsir yang mengekang kebebasan berekspresi dan melindungi masyarakat di dunia digital, rekomendasi yang diberikan malah menambahkan satu pasal yang membuat UU ITE makin menjadi regulasi yang bersifat represif.
“Rencana pemerintah menambahkan Pasal 45C ke dalam UU ITE yang akan mengatur pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran malah akan menambah pasal multitafsir dalam undang-undang ini.” ungkap Hemi Lavour Febrinandez, peneliti Bidang Hukum TII dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (10/6/2021).
Lebih lanjut, Hemi menjelaskan bahwa nomenklatur baru yang diadopsi dari Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak relevan dengan perkembangan hukum dan zaman hari ini.
“Walaupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih berlaku hingga saat ini, namun terdapat frasa yang dapat digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang. Hal tersebut secara langsung akan mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia,” jelas Hemi.
Hemi menjelaskan tentang frasa “dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” yang akan diadopsi ke dalam Pasal 45C pada revisi UU ITE. “Unsur ini yaitu menggunakan kata “dapat” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menunjukkan bahwa untuk delik Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran di kalangan rakyat. Keonaran di kalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau suatu potensi yang dapat terjadi.
Menurut dia, penggunaan frasa tersebut akan mudah ditafsirkan secara bebas oleh pelapor dan penegak hukum. Ditambah lagi, delik tersebut dapat diterapkan terhadap sebuah perbuatan yang belum menimbulkan keonaran atau dianggap sebagai delik selesai hanya dengan sebatas potensi belaka. Harus diingat bahwa yang menjadi dorongan dari masyarakat adalah untuk menghapus pasal-pasal multitafsir yang saat ini ada di dalam UU ITE, bukan malah menambah sengkarut permasalahan dalam undang-undang tersebut.
“Awalnya pembentukan Tim Kajian untuk mengevaluasi UU ITE menjadi angin segar untuk dapat mengatasi masalah masyarakat yang saling lapor dan pemidanaan akibat pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut. Namun, jika salah satu rekomendasi yang ditawarkan adalah menambah satu lagi pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi, artinya ada yang keliru dari kerja-kerja yang dilakukan oleh tim kajian ini,” pungkas Hemi.
(muh)