Memaknai Pancasila dan Wawasan Kebangsaan
loading...
A
A
A
Hal lainnya, menguatnya sikap intoleran, politik yang mengeksploitasi perbedaan identitas seperti agama, turut menggerus ikatan kolektif sebagai satu bangsa. Kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, penolakan pejabat yang berbeda agama hingga aturan yang memuat diskriminasi pada keyakinan tertentu, merupakan contoh nyata sikap intoleran yang hadir dalam masyarakat kita.
Situasi tersebut tentu memprihatinkan dan menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan kebangsaan kita. Menjadi lebih berbahaya jika pemikiran dan sikap seperti itu dianut oleh aparatur negara. Karena itu, perlu direspons dan diantisipasi sejak dini. Namun, tidak tepat jika caranya adalah membangkitkan kembali instrumen lama, seperti Litsus, Penataran P4, indokrinasi wawasan kebangsaan dan sebagainya. Meskipun dikemas dalam bentuk apa pun, jika subtansinya sama, itu sama saja dengan mengulang praktik sekaligus kesalahan rezim Orba.
Konstruksi ideologi yang kokoh dalam benak masyarakat itu tidak akan terwujud melalui indoktrinasi, monopoli tafsir, dan tindakan represif. Namun, karena masyararakat melihat ideologi itu mampu menjawab kebutuhan kekinian, tantangan zaman dan adaptif terhadap perubahan. Kesetiaan seseorang pada ideologi, integritas pribadi, dan loyalitas pada negara akan terlihat jelas dalam pemikiran dan tindakan yang terlihat secara konsisten dalam kurun waktu lama. Pengukurannya tentu tidak dapat disederhanakan melalui serangkaian tes atau litsus yang berpotensi terperangkap dalam pelabelan dan stigmatisasi seseorang.
Karena itu, seharusnya rakyat yang berhak mengevaluasi para penyelenggara kekuasaan negara dalam pengamalan Pancasila. Korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan yang bermula dari kebijakan diskriminatif dan sejenisnya merupakan contoh nyata perilaku dan praktik penyelenggaraan kekuasaan negara yang bertentangan dengan Pancasila. Situasi semacam ini yang dapat membuat rakyat apatis, skeptis, dan mulai merasakan ketidaksamaan riwayat dan nasib sebagai satu bangsa, bahkan lebih jauh lagi mempertanyakan Pancasila. Jika dibiarkan, situasi itu dapat mendorong munculnya gerakan yang ingin mengganti Pancasila atau separatis yang ingin berpisah dari NKRI.
Namun, merawat Pancasila dan menanamkan wawasan kebangsaan tidak cukup dengan slogan "Pancasila dan NKRI harga mati!" Kuncinya adalah ada kesesuaian antara ideologi dan pemikiran dengan kebijakan dan tindakan. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila harus terwujud dalam pembuatan regulasi negara, seperti undang-undang dan peraturan lainnya dan tergambar dalam prioritas, praktik, dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara.
Negara harus hadir untuk menjamin terpenuhinya hak dasar setiap warga negara. Negara juga berkewajiban memastikan tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sosial maupun dalam tata kelola penyelenggara kekuasaan negara.
Itulah cara merawat Pancasila sekaligus membumikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memaknai wawasan kebangsaan secara tepat. Selamat Hari Lahir Pancasila!
Situasi tersebut tentu memprihatinkan dan menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan kebangsaan kita. Menjadi lebih berbahaya jika pemikiran dan sikap seperti itu dianut oleh aparatur negara. Karena itu, perlu direspons dan diantisipasi sejak dini. Namun, tidak tepat jika caranya adalah membangkitkan kembali instrumen lama, seperti Litsus, Penataran P4, indokrinasi wawasan kebangsaan dan sebagainya. Meskipun dikemas dalam bentuk apa pun, jika subtansinya sama, itu sama saja dengan mengulang praktik sekaligus kesalahan rezim Orba.
Konstruksi ideologi yang kokoh dalam benak masyarakat itu tidak akan terwujud melalui indoktrinasi, monopoli tafsir, dan tindakan represif. Namun, karena masyararakat melihat ideologi itu mampu menjawab kebutuhan kekinian, tantangan zaman dan adaptif terhadap perubahan. Kesetiaan seseorang pada ideologi, integritas pribadi, dan loyalitas pada negara akan terlihat jelas dalam pemikiran dan tindakan yang terlihat secara konsisten dalam kurun waktu lama. Pengukurannya tentu tidak dapat disederhanakan melalui serangkaian tes atau litsus yang berpotensi terperangkap dalam pelabelan dan stigmatisasi seseorang.
Karena itu, seharusnya rakyat yang berhak mengevaluasi para penyelenggara kekuasaan negara dalam pengamalan Pancasila. Korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan yang bermula dari kebijakan diskriminatif dan sejenisnya merupakan contoh nyata perilaku dan praktik penyelenggaraan kekuasaan negara yang bertentangan dengan Pancasila. Situasi semacam ini yang dapat membuat rakyat apatis, skeptis, dan mulai merasakan ketidaksamaan riwayat dan nasib sebagai satu bangsa, bahkan lebih jauh lagi mempertanyakan Pancasila. Jika dibiarkan, situasi itu dapat mendorong munculnya gerakan yang ingin mengganti Pancasila atau separatis yang ingin berpisah dari NKRI.
Namun, merawat Pancasila dan menanamkan wawasan kebangsaan tidak cukup dengan slogan "Pancasila dan NKRI harga mati!" Kuncinya adalah ada kesesuaian antara ideologi dan pemikiran dengan kebijakan dan tindakan. Sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila harus terwujud dalam pembuatan regulasi negara, seperti undang-undang dan peraturan lainnya dan tergambar dalam prioritas, praktik, dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara.
Negara harus hadir untuk menjamin terpenuhinya hak dasar setiap warga negara. Negara juga berkewajiban memastikan tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sosial maupun dalam tata kelola penyelenggara kekuasaan negara.
Itulah cara merawat Pancasila sekaligus membumikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memaknai wawasan kebangsaan secara tepat. Selamat Hari Lahir Pancasila!
(abd)