Memaknai Pancasila dan Wawasan Kebangsaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ichwan Arifin
Alumnus Pasca Sarjana UNDIP Semarang, Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI Bojonegoro
PADA 1 Juni ini, Pancasila genap 76 tahun sejak dikemukakan Bung Karno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Momentum itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Saat ini, momentum itu juga akan digunakan pemerintah untuk melantik pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aparatur sipil negara (ASN), bagi mereka yang dinyatakan lulus tes wawasan kebangsaan.
Sepintas, mengikuti "kegaduhan" tes wawasan kebangsaan sebagai cara mengukur kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, dan NKRI membawa kenangan pada masa kekuasaan Orba yang represif dan otoriter. Bagi generasi yang mengalami masa itu, tentu tidak asing dengan istilah "penelitian khusus" (litsus). Litsus merupakan sebuah instrumen "screening", khususnya dalam seleksi untuk menjadi aparat negara seperti tentara, polisi, lembaga eksekutif, dan jabatan politik lainnya. Meski cakap dan berkompeten di bidangnya, tapi dinyatakan tidak lulus litsus, maka musnah sudah harapan menjadi aparatur negara.
Dalam litsus ada konsep "bersih diri" dan "bersih lingkungan". Maknanya tentu bukan secara literal orang yang suka kebersihan dan mencintai lingkungan, melainkan terbebas dari pengaruh ideologi terlarang, khususnya komunisme. Bersih diri, maknanya secara individu tidak pernah terlibat dalam G30S/1965, menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi sayapnya. Bersih lingkungan, artinya lingkaran keluarga inti dan kerabatnya, terbebas dari hal yang sama.
Stigmatisasi sosial sebagai tahanan politik atau "tidak bersih diri/lingkungan" membuat sebagian anak bangsa menjadi warga negara "paria". Bahkan anak cucu yang lahir pasca-G30S/1965 dan tentu tidak mengalami kiprah PKI, tetap terkena imbasnya. Mereka mengalami kematian secara perdata karena dipersulit aktivitasnya dalam bidang politik, ekonomi dan sektor lainnya.
Ironinya, rezim Orba menggunakan Pancasila sebagai legitimasi tindakannya. Michael van Langenberg dalam "Negara Orde Baru: Bahasa Ideologi, Hegemoni" mengemukakan, rezim Orba membangun sistem negara yang hegemonik dengan formula ideologi penyangganya. Maka lahirlah serangkaian instrumen indoktrinasi dalam kerangka membangun struktur kekuasaan hegemonik, seperti butir-butir penghayatan dan pengamalan Pancasila, Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga penerapan Pancasila sebagai azas tunggal bagi seluruh elemen masyarakat. Pancasila menjadi "bunyi-bunyian tanpa isi" dalam khazanah politik Orba, mulai dari istilah Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila, hingga sepakbola Pancasila.
Situasi itu juga memosisikan negara sebagai pengawas dan hakim bagi rakyatnya dalam pengamalan Pancasila. Rezim Orba menempatkan Pancasila sebagai preskripsi moral individual. Padahal, sebagai dasar negara, Pancasila dimaksudkan sebagai "panduan moral negara" yang seharusnya tecermin dalam perilaku dan kebijakan penyelenggara kekuasan negara. Jadi dalam sudut pandang ini, rakyatlah yang seharusnya menjadi pengawas penyelenggara kekuasaan negara dalam menerjemahkan Pancasila.
Reformasi membuahkan perubahan, keterbukaan informasi, kebebasan, dan demokrasi sekaligus ruang koreksi terhadap kesalahan masa lalu. Litsus, penataran (P4), dan sejenisnya tidak lagi digunakan. Namun, reformasi juga memuat bidang gelap. Oligarki tetap bercokol. Elemen pilar kekuasaan Orba secara cepat bermetamorfosis menjadi bagian dari reformasi. Pada akhirnya, meski rezim berganti, penyakit kronis bernegara pada masa Orba pun tetap melekat, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bidang gelap lainnya, muncul dalam bentuk gerakan politik yang berbasiskan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila atau bahkan ingin menggantinya. Jika di masa Orba difokuskan pada kelompok yang disebut sebagai "ekstrem kiri", saat ini bandul bergerak ke "ekstrem kanan". Konfigurasi politik global seperti munculnya Taliban, Al-Qaeda, dan kemudian Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) masuk juga ke Indonesia. Kemunculan beragam organisasi dan kelompok politik yang berbaiat pada gerakan internasional tersebut, menjadi bukti bahwa mereka telah hadir dalam kehidupan kita. Teror dan aksi kekerasan merupakan salah satu bentuk gerakan tersebut.
Alumnus Pasca Sarjana UNDIP Semarang, Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI Bojonegoro
PADA 1 Juni ini, Pancasila genap 76 tahun sejak dikemukakan Bung Karno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Momentum itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Saat ini, momentum itu juga akan digunakan pemerintah untuk melantik pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aparatur sipil negara (ASN), bagi mereka yang dinyatakan lulus tes wawasan kebangsaan.
Sepintas, mengikuti "kegaduhan" tes wawasan kebangsaan sebagai cara mengukur kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, dan NKRI membawa kenangan pada masa kekuasaan Orba yang represif dan otoriter. Bagi generasi yang mengalami masa itu, tentu tidak asing dengan istilah "penelitian khusus" (litsus). Litsus merupakan sebuah instrumen "screening", khususnya dalam seleksi untuk menjadi aparat negara seperti tentara, polisi, lembaga eksekutif, dan jabatan politik lainnya. Meski cakap dan berkompeten di bidangnya, tapi dinyatakan tidak lulus litsus, maka musnah sudah harapan menjadi aparatur negara.
Dalam litsus ada konsep "bersih diri" dan "bersih lingkungan". Maknanya tentu bukan secara literal orang yang suka kebersihan dan mencintai lingkungan, melainkan terbebas dari pengaruh ideologi terlarang, khususnya komunisme. Bersih diri, maknanya secara individu tidak pernah terlibat dalam G30S/1965, menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi sayapnya. Bersih lingkungan, artinya lingkaran keluarga inti dan kerabatnya, terbebas dari hal yang sama.
Stigmatisasi sosial sebagai tahanan politik atau "tidak bersih diri/lingkungan" membuat sebagian anak bangsa menjadi warga negara "paria". Bahkan anak cucu yang lahir pasca-G30S/1965 dan tentu tidak mengalami kiprah PKI, tetap terkena imbasnya. Mereka mengalami kematian secara perdata karena dipersulit aktivitasnya dalam bidang politik, ekonomi dan sektor lainnya.
Ironinya, rezim Orba menggunakan Pancasila sebagai legitimasi tindakannya. Michael van Langenberg dalam "Negara Orde Baru: Bahasa Ideologi, Hegemoni" mengemukakan, rezim Orba membangun sistem negara yang hegemonik dengan formula ideologi penyangganya. Maka lahirlah serangkaian instrumen indoktrinasi dalam kerangka membangun struktur kekuasaan hegemonik, seperti butir-butir penghayatan dan pengamalan Pancasila, Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga penerapan Pancasila sebagai azas tunggal bagi seluruh elemen masyarakat. Pancasila menjadi "bunyi-bunyian tanpa isi" dalam khazanah politik Orba, mulai dari istilah Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila, hingga sepakbola Pancasila.
Situasi itu juga memosisikan negara sebagai pengawas dan hakim bagi rakyatnya dalam pengamalan Pancasila. Rezim Orba menempatkan Pancasila sebagai preskripsi moral individual. Padahal, sebagai dasar negara, Pancasila dimaksudkan sebagai "panduan moral negara" yang seharusnya tecermin dalam perilaku dan kebijakan penyelenggara kekuasan negara. Jadi dalam sudut pandang ini, rakyatlah yang seharusnya menjadi pengawas penyelenggara kekuasaan negara dalam menerjemahkan Pancasila.
Reformasi membuahkan perubahan, keterbukaan informasi, kebebasan, dan demokrasi sekaligus ruang koreksi terhadap kesalahan masa lalu. Litsus, penataran (P4), dan sejenisnya tidak lagi digunakan. Namun, reformasi juga memuat bidang gelap. Oligarki tetap bercokol. Elemen pilar kekuasaan Orba secara cepat bermetamorfosis menjadi bagian dari reformasi. Pada akhirnya, meski rezim berganti, penyakit kronis bernegara pada masa Orba pun tetap melekat, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bidang gelap lainnya, muncul dalam bentuk gerakan politik yang berbasiskan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila atau bahkan ingin menggantinya. Jika di masa Orba difokuskan pada kelompok yang disebut sebagai "ekstrem kiri", saat ini bandul bergerak ke "ekstrem kanan". Konfigurasi politik global seperti munculnya Taliban, Al-Qaeda, dan kemudian Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) masuk juga ke Indonesia. Kemunculan beragam organisasi dan kelompok politik yang berbaiat pada gerakan internasional tersebut, menjadi bukti bahwa mereka telah hadir dalam kehidupan kita. Teror dan aksi kekerasan merupakan salah satu bentuk gerakan tersebut.