Nasib Petani Tembakau dan Wacana Amendemen PP 109/2012
loading...
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
DALAM hal tembakau, secara keseluruhan Indonesia merupakan negara yang mengantongi masalah paling serius di dunia. Baik dalam konteks jumlah perokok aktif, perokok pemula, kebijakan cukai, tata niaga, periklanan dan promosi, plus permasalahan petani tembakau. Saat ini lebih dari 32% dari total populasi Indonesia adalah perokok aktif. Jadi kalau saat ini kisaran penduduk Indonesia adalah 260 jutaan, maka jumlah perokok aktifnya tidak kurang dari 78 juta. Jika dielaborasi lebih dalam, maka, misalnya dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Dari sisi jumlah perokok anak dan remaja, lebih miris lagi, sebab tingkat prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak mencapai lebih dari 8%.
Ironisnya, instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok jauh dari memadai. Terbukti, iklan dan promosi rokok masih bergentayangan di semua lini. Malah sekarang iklan rokok di ranah digital, sangat masif. Dari sisi penjualan, rokok dipasarkan bak memasarkan permen dan tempe mendoan saja, rokok boleh dijual secara ketengan (dijual per batang). Hal yang tak lazim sebagai produk yang dikenai cukai. Implementasi peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (untuk melindungi konsumen, calon konsumen) atau Kawasan Tanpa Rokok untuk masyarakat nonperokok, terbukti tidak efektif, bahkan malah mandul.
Maka, upaya pemerintah untuk mengamendemen (merevisi) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan patut diapresiasi dan didukung. Upaya untuk meregulasi sejatinya sudah sangat kuat, dimandatkan via Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Tragisnya, hingga dua tahun setelah perpres tersebut diterbitkan, upaya amendemen PP 109/2012 mangkrak tak jelas juntrungnya. Menteri Kesehatan (Menkes) waktu itu, Terawan Putranto, sangat kaku dan antipati terhadap desakan publik atas amendemen dimaksud. Kini Menkes Budi Gunawan Sadikin (BGS) tampak ada spirit baru untuk melanjutkan upaya amendemen PP 109/2012. Tentu hal ini merupakan tengara positif dari sisi pengendalian tembakau (tobacco control) di Indonesia. Spirit Menkes BGS untuk mengamendemen PP 109/2012 lagi-lagi patut didukung dan diapresiasi.
Di sisi lain, hal yang jamak jika upaya penguatan regulasi pengendalian tembakau, seperti amandemen PP 109/2012 tersebut, mengentak kalangan industri rokok. Dengan segala upaya industri rokok akan berkeras menggagalkan (delete), atau setidaknya menunda (delay), atau bahkan memandulkan (dilute) upaya penguatan regulasi tersebut. Fenomena ini sangat kentara saat pembahasan draf RPP 109/2012, delapan tahun silam. Intervensi dan tekanan industri rokok sangat kuat, bahkan sampai mengerahkan aksi demonstrasi ke Jakarta. Bahkan tak urung bukan hanya kantor Kemenkes yang disambangi ratusan orang yang mengaku petani tembakau, tetapi juga kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).Loh, apa salahnya YLKI sehingga menjadi sasaran tembak industri rokok dan oknum yang mengaku petani tembakau?
Kini fenomena serupa juga terasa, tekanan industri rokok sangat kuat untuk menggagalkan upaya amendemen PP 109/2012. Malah seorang Menkes Terawan (kala itu) patut diduga juga berhasil “ditaklukkan” oleh industri rokok. Indikasinya, dalam suatumeetingdengan masyarakat sipil, data masalah tembakau yang dipaparkan oleh Terawan merujuk pada data yang disodorkan oleh kalangan industri rokok. Aneh bin ajaib bukan, seorang Menkeskokmerujuk pada data industri rokok?
Industri rokok boleh saja gerah dan panas dingin dengan upaya penguatan regulasi. Sekalipun, faktanya, amendemen itu tidak akan signifikan membatasi ruang gerak dan upaya pemasaran produk rokok. Tetapi menjadi hal yang aneh dan tidak masuk akal adalah respons kalangan petani tembakau, setidaknya yang direpresentasikan oleh APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia). APTI mengklaim amendemen PP 109/2012 akan meminggirkan dan bahkan akan mematikan petani tembakau. Sebuah klaim yang tidak masuk akal karena tidak punya basis data yang jelas.
Secara substansi, bahkan ideologi, amendemen PP 109/2012 tidak akan berdampak langsung atau tidak langsung pada petani tembakau, karena;pertama, substansi yang diamendemen hanya terfokus pada masalah kesehatan publik dan bertujuan untuk melindungi masyarakat konsumen, seperti Kawasan Tanpa Rokok, peringatan kesehatan bergambar, pengetatan iklan rokok, dan larangan rokok elektronik. Hanya poin poin itulah yang akan direvitalisasi dalam usulan amendemen PP 109/2012. Dan, hal tersebut bukan pasal baru, semua sudah diatur dalam PP, hanya mengalami pembesaran dan penguatan saja. Hal yang diatur/dilarang dalam usulan amandemen PP hanya menyangkut keberadaan rokok elektronik (vape), dan sejenisnya. Sedangkan secara empirik, rokok elektronik justru menjadi ancaman bagi rokok konvensional alias menjadi ancaman petani tembakau.
Kedua, di dalam amendemen PP sama sekali tidak menyebut atau menyinggung baik secara tersurat dan atau tersirat terkait petani tembakau. Mengingat PP 109/2012 adalah PP atas turunan dari UU Kesehatan, bukan PP dari turunan UU Pertanian atau UU Perkebunan. Jadi apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh petani tembakau (APTI)? Kecuali memang industri rokok menjadikan petani tembakau sebagai tameng saja, dengan ancaman tertentu, seperti tidak mau membeli daun tembakau dari petani tembakau lokal.Nah, inilah yang seharusnya diprotes oleh APTI dkk, yakni terkait impor daun tembakau, atau tata niaga tembakau yang tidak adil. Saat ini pasar tembakau lokal acap dibanjiri oleh aksi impor daun tembakau oleh industri rokok besar. Per tahun tidak kurang dari 200 juta dolar devisa kita kabur keluar negeri untuk impor daun tembakau.
Aksi impor tembakau ini sudah pasti berdampak kepada petani tembakau, karena hasil panen tanaman tembakau para petani lokal tidak semuanya terserap oleh industri rokok. Secara logika hal inilah yang seharusnya diadvokasi (ditolak) oleh APTI, bukan menolak amendemen PP 109/2021.
Ketua Pengurus Harian YLKI
DALAM hal tembakau, secara keseluruhan Indonesia merupakan negara yang mengantongi masalah paling serius di dunia. Baik dalam konteks jumlah perokok aktif, perokok pemula, kebijakan cukai, tata niaga, periklanan dan promosi, plus permasalahan petani tembakau. Saat ini lebih dari 32% dari total populasi Indonesia adalah perokok aktif. Jadi kalau saat ini kisaran penduduk Indonesia adalah 260 jutaan, maka jumlah perokok aktifnya tidak kurang dari 78 juta. Jika dielaborasi lebih dalam, maka, misalnya dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Dari sisi jumlah perokok anak dan remaja, lebih miris lagi, sebab tingkat prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak mencapai lebih dari 8%.
Ironisnya, instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok jauh dari memadai. Terbukti, iklan dan promosi rokok masih bergentayangan di semua lini. Malah sekarang iklan rokok di ranah digital, sangat masif. Dari sisi penjualan, rokok dipasarkan bak memasarkan permen dan tempe mendoan saja, rokok boleh dijual secara ketengan (dijual per batang). Hal yang tak lazim sebagai produk yang dikenai cukai. Implementasi peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (untuk melindungi konsumen, calon konsumen) atau Kawasan Tanpa Rokok untuk masyarakat nonperokok, terbukti tidak efektif, bahkan malah mandul.
Maka, upaya pemerintah untuk mengamendemen (merevisi) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan patut diapresiasi dan didukung. Upaya untuk meregulasi sejatinya sudah sangat kuat, dimandatkan via Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Tragisnya, hingga dua tahun setelah perpres tersebut diterbitkan, upaya amendemen PP 109/2012 mangkrak tak jelas juntrungnya. Menteri Kesehatan (Menkes) waktu itu, Terawan Putranto, sangat kaku dan antipati terhadap desakan publik atas amendemen dimaksud. Kini Menkes Budi Gunawan Sadikin (BGS) tampak ada spirit baru untuk melanjutkan upaya amendemen PP 109/2012. Tentu hal ini merupakan tengara positif dari sisi pengendalian tembakau (tobacco control) di Indonesia. Spirit Menkes BGS untuk mengamendemen PP 109/2012 lagi-lagi patut didukung dan diapresiasi.
Di sisi lain, hal yang jamak jika upaya penguatan regulasi pengendalian tembakau, seperti amandemen PP 109/2012 tersebut, mengentak kalangan industri rokok. Dengan segala upaya industri rokok akan berkeras menggagalkan (delete), atau setidaknya menunda (delay), atau bahkan memandulkan (dilute) upaya penguatan regulasi tersebut. Fenomena ini sangat kentara saat pembahasan draf RPP 109/2012, delapan tahun silam. Intervensi dan tekanan industri rokok sangat kuat, bahkan sampai mengerahkan aksi demonstrasi ke Jakarta. Bahkan tak urung bukan hanya kantor Kemenkes yang disambangi ratusan orang yang mengaku petani tembakau, tetapi juga kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).Loh, apa salahnya YLKI sehingga menjadi sasaran tembak industri rokok dan oknum yang mengaku petani tembakau?
Kini fenomena serupa juga terasa, tekanan industri rokok sangat kuat untuk menggagalkan upaya amendemen PP 109/2012. Malah seorang Menkes Terawan (kala itu) patut diduga juga berhasil “ditaklukkan” oleh industri rokok. Indikasinya, dalam suatumeetingdengan masyarakat sipil, data masalah tembakau yang dipaparkan oleh Terawan merujuk pada data yang disodorkan oleh kalangan industri rokok. Aneh bin ajaib bukan, seorang Menkeskokmerujuk pada data industri rokok?
Industri rokok boleh saja gerah dan panas dingin dengan upaya penguatan regulasi. Sekalipun, faktanya, amendemen itu tidak akan signifikan membatasi ruang gerak dan upaya pemasaran produk rokok. Tetapi menjadi hal yang aneh dan tidak masuk akal adalah respons kalangan petani tembakau, setidaknya yang direpresentasikan oleh APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia). APTI mengklaim amendemen PP 109/2012 akan meminggirkan dan bahkan akan mematikan petani tembakau. Sebuah klaim yang tidak masuk akal karena tidak punya basis data yang jelas.
Secara substansi, bahkan ideologi, amendemen PP 109/2012 tidak akan berdampak langsung atau tidak langsung pada petani tembakau, karena;pertama, substansi yang diamendemen hanya terfokus pada masalah kesehatan publik dan bertujuan untuk melindungi masyarakat konsumen, seperti Kawasan Tanpa Rokok, peringatan kesehatan bergambar, pengetatan iklan rokok, dan larangan rokok elektronik. Hanya poin poin itulah yang akan direvitalisasi dalam usulan amendemen PP 109/2012. Dan, hal tersebut bukan pasal baru, semua sudah diatur dalam PP, hanya mengalami pembesaran dan penguatan saja. Hal yang diatur/dilarang dalam usulan amandemen PP hanya menyangkut keberadaan rokok elektronik (vape), dan sejenisnya. Sedangkan secara empirik, rokok elektronik justru menjadi ancaman bagi rokok konvensional alias menjadi ancaman petani tembakau.
Kedua, di dalam amendemen PP sama sekali tidak menyebut atau menyinggung baik secara tersurat dan atau tersirat terkait petani tembakau. Mengingat PP 109/2012 adalah PP atas turunan dari UU Kesehatan, bukan PP dari turunan UU Pertanian atau UU Perkebunan. Jadi apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh petani tembakau (APTI)? Kecuali memang industri rokok menjadikan petani tembakau sebagai tameng saja, dengan ancaman tertentu, seperti tidak mau membeli daun tembakau dari petani tembakau lokal.Nah, inilah yang seharusnya diprotes oleh APTI dkk, yakni terkait impor daun tembakau, atau tata niaga tembakau yang tidak adil. Saat ini pasar tembakau lokal acap dibanjiri oleh aksi impor daun tembakau oleh industri rokok besar. Per tahun tidak kurang dari 200 juta dolar devisa kita kabur keluar negeri untuk impor daun tembakau.
Aksi impor tembakau ini sudah pasti berdampak kepada petani tembakau, karena hasil panen tanaman tembakau para petani lokal tidak semuanya terserap oleh industri rokok. Secara logika hal inilah yang seharusnya diadvokasi (ditolak) oleh APTI, bukan menolak amendemen PP 109/2021.