Tantangan Restrukturisasi Kredit Era Pandemi
loading...
A
A
A
Fajar S Pramono
Vice President sebuah bank BUMN
Restrukturisasi kredit bukanlah hal yang baru di dalam proses penyaluran kredit perbankan atau lembaga keuangan lainnya di bidang pembiayaan (lending ). Ia merupakan upaya penyelamatan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan penyaluran kredit itu sendiri. Pihak peminjam atau debitur, pihak pemberi pinjaman atau kreditur, dan bahkan lebih mulia lagi: sektor usaha dan sektor ekonomi yang menjadi komoditi atau objek pembiayaan.
Bisa dibayangkan. Jika perubahan struktur pinjaman tidak segera disesuaikan dengan ketidakkondusifan ekonomi dan usaha, masa depan sektor ekonomi, keberlanjutan usaha debitur, eksistensi bank dan lembaga pembiayaan lainnya akan menjadi pertaruhan besarnya. Akibat paling sederhana, antara lain, kematian usaha debitur, stagnasi lalu lintas transaksi dan perkembangan komoditi, serta ketidakmampuan bank atau lembaga pembiayaan untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga.
Di lembaga perbankan, "ancaman" itu nyata adanya. Pendapatan bank bisa tergerus ke titik ekstrem. Sementara bank harus membayar kewajiban bunga (yang tidak bisa ditunda) kepada para penyimpan dananya (deposan). Seperti yang sudah awam ketahui bahwa pendapatan bunga masih menjadi penyangga utama pendapatan bagi sebagian besar bank. Hanya segelintir lembaga perbankan yang (mungkin) sudah bisa mulai mengandalkan pendapatan dari fee base income transaksi atau dari pendapatan jasa lainnya.
Kondisi Khusus
Kendati bukan barang baru, ada beberapa hal yang sangat berbeda ketika restrukturisasi kredit menjadi sebuah tuntutan yang harus dilakukan pada masa pandemi Covid-19 ini. Pertama penyebab perlambatan ekonomi, penurunan daya beli, ketidaklancaran distribusi komoditi dan sebagainya bukan sekadar kesalahan penerapan strategi ekonomi yang diterapkan sebuah negara. Seperti kita tahu, penyebabnya adalah bencana kesehatan oleh entah berapa banyak virus berukuran 120-160 nanometer yang saat ini disinyalir ada di sekitar kita, tak kasatmata, tapi menyimpan potensi mematikan yang luar biasa bagi kehidupan biologis kita sebagai manusia.
Berkeliarannya virus tak diundang dan cara penyebarannya yang masif ini memaksa kita menghindar dari tempat aktivitas rutin perekonomian kita selama ini. Pusat transaksi keuangan dan perdagangan, kantor, pabrik, tempat wisata, rumah makan, event area dan festival, serta public space lainnya. Daya beli yang semula ada, tak bisa teraktualisasikan. Beruntung, saat ini kita sudah masuk era digital. Belanja bisa dilakukan secara virtual, meski tetap saja kita membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya logistik untuk distribusinya. Ketika penjarakan fisik (phisycal distancing ) menjadi hal yang wajib dilakukan, banyak perusahaan bertenaga kerja besar merumahkan pekerjanya, baik sementara ataupun permanen. Pendapatan individu menjadi tidak jelas dan daya beli tidak hanya menurun, namun berpotensi ke taraf hilang.
Kedua, globalnya kejadian pandemi Covid-19 ini. Nyaris tidak ada satu pun negara di dunia yang tidak mengalami wabah luar biasa ini. Yang celakanya, justru menghantam sangat parah di negeri-negeri pelaku utama ekonomi dunia seperti China dan Amerika Serikat (AS). Lalu lintas global orang dan barang menjadi semakin masif, karena kita semua terlambat mengantisipasi dan sempat menganggap "remeh" ancaman Covid-19 di awal kemunculannya. Tentu, ini mengakibatkan penyelamatan ekonomi suatu negara tidak bisa serta merta diupayakan oleh negara itu sendiri. Tapi, harus secara simultan dan bersama ditanggulangi oleh semua negara di dunia. Tak ada gunanya sebuah negara bebas Covid-19, sementara negara lainnya masih bergumul dengan dampak ekonomi yang diakibatkannya.
Ketiga, belum ada yang bisa memastikan sampai kapan pandemi Covid-19 ini akan selesai. Prediksi para ahli kesehatan dan ahli statistik bisa saja disampaikan. Tapi, faktor yang melingkupi prediksi ini terlalu sulit untuk di-caterisparibus -kan. Seperti penjarakan sosial itu sendiri, imbauan stay at home , kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan dan sebagainya di tengah tuntutan dasar manusia untuk tetap hidup. Di mana untuk tetap hidup, mereka harus tetap memastikan perolehan pendapatan, minimal untuk kepentingan konsumsi dasar.
Keempat, kalaupun era pandemi ini segera berakhir, tidak mudah bagi siapa pun untuk segera mengembalikan kondisi ekonomi dan kondisi hidup ke arah normal. Bahkan, saat ini sudah diyakini bahwa dunia segera bertemu dengan sebuah norma baru (new norm ) sekaligus kenormalan baru (new normal ), termasuk di bidang ekonomi. Seorang jurnalis senior bahkan menyebut akan lahirnya era "coronomics". Artinya, siapa pun itu pelaku ekonominya, ia harus diuji kembali dengan kemampuan adaptasi sekaligus kemampuan menetapkan strategi terjitu di zaman yang "baru".
Vice President sebuah bank BUMN
Restrukturisasi kredit bukanlah hal yang baru di dalam proses penyaluran kredit perbankan atau lembaga keuangan lainnya di bidang pembiayaan (lending ). Ia merupakan upaya penyelamatan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan penyaluran kredit itu sendiri. Pihak peminjam atau debitur, pihak pemberi pinjaman atau kreditur, dan bahkan lebih mulia lagi: sektor usaha dan sektor ekonomi yang menjadi komoditi atau objek pembiayaan.
Bisa dibayangkan. Jika perubahan struktur pinjaman tidak segera disesuaikan dengan ketidakkondusifan ekonomi dan usaha, masa depan sektor ekonomi, keberlanjutan usaha debitur, eksistensi bank dan lembaga pembiayaan lainnya akan menjadi pertaruhan besarnya. Akibat paling sederhana, antara lain, kematian usaha debitur, stagnasi lalu lintas transaksi dan perkembangan komoditi, serta ketidakmampuan bank atau lembaga pembiayaan untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga.
Di lembaga perbankan, "ancaman" itu nyata adanya. Pendapatan bank bisa tergerus ke titik ekstrem. Sementara bank harus membayar kewajiban bunga (yang tidak bisa ditunda) kepada para penyimpan dananya (deposan). Seperti yang sudah awam ketahui bahwa pendapatan bunga masih menjadi penyangga utama pendapatan bagi sebagian besar bank. Hanya segelintir lembaga perbankan yang (mungkin) sudah bisa mulai mengandalkan pendapatan dari fee base income transaksi atau dari pendapatan jasa lainnya.
Kondisi Khusus
Kendati bukan barang baru, ada beberapa hal yang sangat berbeda ketika restrukturisasi kredit menjadi sebuah tuntutan yang harus dilakukan pada masa pandemi Covid-19 ini. Pertama penyebab perlambatan ekonomi, penurunan daya beli, ketidaklancaran distribusi komoditi dan sebagainya bukan sekadar kesalahan penerapan strategi ekonomi yang diterapkan sebuah negara. Seperti kita tahu, penyebabnya adalah bencana kesehatan oleh entah berapa banyak virus berukuran 120-160 nanometer yang saat ini disinyalir ada di sekitar kita, tak kasatmata, tapi menyimpan potensi mematikan yang luar biasa bagi kehidupan biologis kita sebagai manusia.
Berkeliarannya virus tak diundang dan cara penyebarannya yang masif ini memaksa kita menghindar dari tempat aktivitas rutin perekonomian kita selama ini. Pusat transaksi keuangan dan perdagangan, kantor, pabrik, tempat wisata, rumah makan, event area dan festival, serta public space lainnya. Daya beli yang semula ada, tak bisa teraktualisasikan. Beruntung, saat ini kita sudah masuk era digital. Belanja bisa dilakukan secara virtual, meski tetap saja kita membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya logistik untuk distribusinya. Ketika penjarakan fisik (phisycal distancing ) menjadi hal yang wajib dilakukan, banyak perusahaan bertenaga kerja besar merumahkan pekerjanya, baik sementara ataupun permanen. Pendapatan individu menjadi tidak jelas dan daya beli tidak hanya menurun, namun berpotensi ke taraf hilang.
Kedua, globalnya kejadian pandemi Covid-19 ini. Nyaris tidak ada satu pun negara di dunia yang tidak mengalami wabah luar biasa ini. Yang celakanya, justru menghantam sangat parah di negeri-negeri pelaku utama ekonomi dunia seperti China dan Amerika Serikat (AS). Lalu lintas global orang dan barang menjadi semakin masif, karena kita semua terlambat mengantisipasi dan sempat menganggap "remeh" ancaman Covid-19 di awal kemunculannya. Tentu, ini mengakibatkan penyelamatan ekonomi suatu negara tidak bisa serta merta diupayakan oleh negara itu sendiri. Tapi, harus secara simultan dan bersama ditanggulangi oleh semua negara di dunia. Tak ada gunanya sebuah negara bebas Covid-19, sementara negara lainnya masih bergumul dengan dampak ekonomi yang diakibatkannya.
Ketiga, belum ada yang bisa memastikan sampai kapan pandemi Covid-19 ini akan selesai. Prediksi para ahli kesehatan dan ahli statistik bisa saja disampaikan. Tapi, faktor yang melingkupi prediksi ini terlalu sulit untuk di-caterisparibus -kan. Seperti penjarakan sosial itu sendiri, imbauan stay at home , kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan dan sebagainya di tengah tuntutan dasar manusia untuk tetap hidup. Di mana untuk tetap hidup, mereka harus tetap memastikan perolehan pendapatan, minimal untuk kepentingan konsumsi dasar.
Keempat, kalaupun era pandemi ini segera berakhir, tidak mudah bagi siapa pun untuk segera mengembalikan kondisi ekonomi dan kondisi hidup ke arah normal. Bahkan, saat ini sudah diyakini bahwa dunia segera bertemu dengan sebuah norma baru (new norm ) sekaligus kenormalan baru (new normal ), termasuk di bidang ekonomi. Seorang jurnalis senior bahkan menyebut akan lahirnya era "coronomics". Artinya, siapa pun itu pelaku ekonominya, ia harus diuji kembali dengan kemampuan adaptasi sekaligus kemampuan menetapkan strategi terjitu di zaman yang "baru".