Tantangan Restrukturisasi Kredit Era Pandemi

Selasa, 19 Mei 2020 - 06:30 WIB
loading...
A A A
Tidak ada jaminan lagi bahwa pengusaha hebat pada masa prapandemi bisa meneruskan kehebatannya di era pascapandemi jika ia tidak bisa menyesuaikan diri. Sebaliknya, bisa jadi pendatang baru ekonomi (economic new comer ) yang justru mendapat berkah dari pandemi ini karena kejeliannya melihat peluang usaha menggunakan platform yang baru. Dan, ini baru bicara soal kemampuan adaptasi. Belum bicara tentang kesiapan permodalannya kembali. Akan semakin kompleks pastinya.

Tantangan Restrukturisasi

Jadi, memang benar bahwa masa depan "jangka pendek" era pandemi dan pascapandemi penuh dengan ketidakpastian ekonomi. Berlipat besar persentase atau amplitudo ketidakpastiannya jika dibandingkan dengan ketidakpastian yang selama ini tentu juga selalu ada. Disebut "jangka pendek", karena setelah kenormalan ekonomi yang baru, segala sesuatunya akan menjadi lebih terukur kembali. Lain halnya jika ada wabah baru sebagai "kembangan" bencana kesehatan Covid-19 ini. Naudzubillahi min dzalik , semoga tidak terjadi.

Kembali kepada bahasan utama artikel ini. Dari keempat kondisi di atas, jelas bahwa restrukturisasi kredit era pandemi ini tidak gampang dilakukan secara teknis, sebagaimana restrukturisasi di zaman "old normal "; kenormalan sebelum pandemi.

Pertama , tingginya tantangan pihak perbankan atau lembaga pembiayaan untuk memastikan benar tidaknya suatu kondisi usaha terdampak pandemi ini. Jawabannya, diyakini semua terdampak. Pengamat ekonomi dan akademisi pun mengamini hal tersebut.

Namun, tantangan yang kedua adalah bagaimana pihak kreditur mampu memastikan besaran reduksi kemampuan bayar si debitur yang murni (pure ) akibat pandemi ini. Perbedaan komoditi, perbedaan letak geografis (kota, desa, daerah perkebunan atau daerah permukiman), dan perbedaan kondisi demografi (jumlah usia produktif, jumlah penduduk bekerja dan sebagainya), pasti menciptakan dampak yang berbeda. Bahkan, dalam area ekonomi yang sama, derajat terdampaknya bisa berbeda. Penurunan omzet dan laba usaha senantiasa berbeda antara satu debitur dengan debitur yang lain.

Ini membutuhkan kejelian yang luar biasa dari para analis restrukturisasi kredit guna memastikan bahwa "obat" yang akan diberikan kepada debitur yang sedang "sakit" ini pas dengan penyakitnya, tepat secara takaran atau dosisnya, dan terhindar dari potensi "malpraktik restrukturisasi kredit". Lalu, apakah kepintaran dan kejelian yang tinggi dari analis kredit saja cukup? Khusus di era pandemi ini, jawabannya adalah tidak. Ia masih harus berhadapan dengan dua subtantangan yang lain: (1) tuntutan penjarakan sosial dan pembatasan aktivitas, serta (2) potensi moral hazard dari debitur yang sesungguhnya tidak terlalu, atau bahkan sama sekali tidak terdampak.

Tuntutan physical dan bahkan social distancing menciptakan keterbatasan bagi para analis untuk bisa secara langsung berinteraksi dan mengamati sejauh mana dampak yang dialami debitur. Jika dahulu analis leluasa untuk melakukan kunjungan analisis (on the spot ), jelas hari ini tidak bisa lagi. Para analis terpaksa hanya bermodal wawancara jarak jauh, dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang ada, baik melalui video call , WhatsApp tekstual dan gambar, pengiriman dokumen virtual dan sejenisnya yang masih sangat menggantungkan kepada kepemilikan dan keberadaan fitur.

Menjadi lebih tidak mudah jika bicara tentang debitur usaha kecil yang berada di "pelosok" dengan kondisi sinyal telekomunikasi "minimalis" atau bahkan belum terjangkau. Belum lagi jika bicara tentang kondisi usaha mikro, yang bahkan—mohon maaf—gadget pun belum tentu dimiliki. Kalaupun ada, sangat mungkin bahwa ia belum dilengkapi dengan fitur atau aplikasi yang dibutuhkan.

Dus, potensi deviasi (bias) terhadap hasil analisis usaha dan kemampuan bayar (repayment capasity ) debitur bisa sangat besar. Ini mau tak mau menjadi "kelemahan" proses analisis restrukturisasi hari ini. Yang jika berkelindan dengan iktikad tidak baik (moral hazard ) para debitur, kesalahan analisis menjadi hal yang tak terelakkan. Debitur yang semestinya masih mampu membayar kewajiban dan seharusnya cukup diobati dengan level restrukturisasi dan relaksasi kredit yang minimal, akhirnya mendapat fasilitas restrukturisasi level maksimal. Pertaruhannya jelas ada di bank atau lembaga pembiayaan, yang akan terancam kemampuan likuiditasnya. Begitu juga sebaliknya. Debitur yang sesungguhnya sudah sakit parah bisa jadi mendapat level restrukturisasi yang justru memberatkan. Pada akhirnya, tujuan restrukturisasi tak akan tercapai.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1292 seconds (0.1#10.140)