Laut Indonesia Dinilai Marak Kejahatan Maritim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat ini, laut Indonesia semakin rawan menjadi tempat terjadinya tindak pidana kejahatan. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia selama bulan Januari 2021 mencatat 12 kejahatan maritim terjadi di laut Indonesia yang dilakukan oleh kapal asing dan kapal Indonesia serta oleh warga negara asing ataupun warga Indonesia.
(Baca juga: Ada Pasar Laut Indonesia, Teten: UMKM Perikanan Bakal Sejahtera)
DFW Indonesia menilai, aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan operasional di laut harus meningkatkan intensitas pengawasan, sinergi antar instansi dan mendorong partisipasi masyarakat untuk melaporkan aktivitas illegal yang terjadi di laut terutama oleh kapal asing.
(Baca juga: Tata Kelola Keamanan Laut Indonesia)
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan membeberkan bahwa kejahatan di laut Indonesia cukup tinggi dalam awal tahun 2021.
"Terdapat 12 kejahatan atau pelanggaran yang tertangkap aparat penegak hukum yang melibatkan 10 kapal asing dan 3 kapal dalam negeri," kata Abdi dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Hal tersebut kata dia, mengindikasikan tingginya tingkat kerawanan laut Indonesia atas kegiatan kejahatan maritim (ocean crime).
"Modus kejahatan yang dominan di laut Indonesia selama Januari adalah illegal fishing, penyeludupan lobster, penyelundupan BBM dan penyelundupan narkoba," kata Abdi.
Laut merupakan jalur favorit penyelundupan narkoba ke Indonesia. "Tercatat 300 kg sabu-sabu dan jenis lainnya yang diseludupkan lewat laut melalui Aceh dan Selat Malaka," ujar Abdi.
Pihaknya juga menemukan adanya unsur kesengajaan dan upaya melawan hukum nasional dan ketentuan internasional yang dilakukan oleh kapal asing yang melintasi perairan Indonesia.
"Kapal riset China (Xiang Yang Hong 03 ), kapal ikan Taiwan (Hai Chien Hsing 20) dan 2 kapal tanker masing-masing MT Horse berbendera Iran dan MT Frea berbendera Panama memiliki modus yang sama yaitu mematikan Automatic Identification System (AlS)," kata Abdi.
Khususnya kapal ikan berbendera Taiwan Hai Chien Hsing 20 ditemukan telah cukup lama mematikan AIS selama melakukan operasi penangkapan ikan. "Kapal Hai Chien Hsing 20 terakhir kali mengaktifkan AIS sekitar 3 bulan lalu tepatnya 6 Oktober 2020)," tuturnya.
Baca juga: Menlu Baru AS Tegaskan Siap Bantu ASEAN Hadapi Tekanan China di LCS
Ketentuan yang dilanggar adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 Tentang pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal Yang Berlayar Di Wilayah Perairan Indonesia, Konvensi Safety Of Life At Sea (SOLAS) dan Tokyo MoU.
"Ada ancaman sanksi administrasi menurut ketentuan internasional dan ancaman pidana jika melanggar hukum nasional," ucapnya.
Peneliti DFW Indonesia Baso Hamdani menambahkan bahwa titik rawan kejahatan di laut Indonesia berada di perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Selat Malaka. Baso menyarankan agar kemampuan operasi Badan Keamanan laut (Bakamla) perlu ditingkatkan.
"Kemampuan dan kapasitas Bakamla saat ini hanya 30% dari kebutuhan ideal sehingga perlu ada dukungan dan upaya meningkatkan kemampuan operasional Bakamla," kata Baso.
Baso mengingatkan, eskalasi dan ketegangan di Laut China Selatan yang akan berdampak pada Indonesia terutama di Natuna.
"Pemerintah perlu mengantisipasi pembangunan di Natuna dengan mendorong semua sektor pembangunan agar bisa sinergis. Pendekatan keamanan dan kesejahteraan mesti berjalan bersamaan di Natuna. Ini yang belum nampak," pungkasnya.
(Baca juga: Ada Pasar Laut Indonesia, Teten: UMKM Perikanan Bakal Sejahtera)
DFW Indonesia menilai, aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan operasional di laut harus meningkatkan intensitas pengawasan, sinergi antar instansi dan mendorong partisipasi masyarakat untuk melaporkan aktivitas illegal yang terjadi di laut terutama oleh kapal asing.
(Baca juga: Tata Kelola Keamanan Laut Indonesia)
Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan membeberkan bahwa kejahatan di laut Indonesia cukup tinggi dalam awal tahun 2021.
"Terdapat 12 kejahatan atau pelanggaran yang tertangkap aparat penegak hukum yang melibatkan 10 kapal asing dan 3 kapal dalam negeri," kata Abdi dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Hal tersebut kata dia, mengindikasikan tingginya tingkat kerawanan laut Indonesia atas kegiatan kejahatan maritim (ocean crime).
"Modus kejahatan yang dominan di laut Indonesia selama Januari adalah illegal fishing, penyeludupan lobster, penyelundupan BBM dan penyelundupan narkoba," kata Abdi.
Laut merupakan jalur favorit penyelundupan narkoba ke Indonesia. "Tercatat 300 kg sabu-sabu dan jenis lainnya yang diseludupkan lewat laut melalui Aceh dan Selat Malaka," ujar Abdi.
Pihaknya juga menemukan adanya unsur kesengajaan dan upaya melawan hukum nasional dan ketentuan internasional yang dilakukan oleh kapal asing yang melintasi perairan Indonesia.
"Kapal riset China (Xiang Yang Hong 03 ), kapal ikan Taiwan (Hai Chien Hsing 20) dan 2 kapal tanker masing-masing MT Horse berbendera Iran dan MT Frea berbendera Panama memiliki modus yang sama yaitu mematikan Automatic Identification System (AlS)," kata Abdi.
Khususnya kapal ikan berbendera Taiwan Hai Chien Hsing 20 ditemukan telah cukup lama mematikan AIS selama melakukan operasi penangkapan ikan. "Kapal Hai Chien Hsing 20 terakhir kali mengaktifkan AIS sekitar 3 bulan lalu tepatnya 6 Oktober 2020)," tuturnya.
Baca juga: Menlu Baru AS Tegaskan Siap Bantu ASEAN Hadapi Tekanan China di LCS
Ketentuan yang dilanggar adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 Tentang pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal Yang Berlayar Di Wilayah Perairan Indonesia, Konvensi Safety Of Life At Sea (SOLAS) dan Tokyo MoU.
"Ada ancaman sanksi administrasi menurut ketentuan internasional dan ancaman pidana jika melanggar hukum nasional," ucapnya.
Peneliti DFW Indonesia Baso Hamdani menambahkan bahwa titik rawan kejahatan di laut Indonesia berada di perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Selat Malaka. Baso menyarankan agar kemampuan operasi Badan Keamanan laut (Bakamla) perlu ditingkatkan.
"Kemampuan dan kapasitas Bakamla saat ini hanya 30% dari kebutuhan ideal sehingga perlu ada dukungan dan upaya meningkatkan kemampuan operasional Bakamla," kata Baso.
Baso mengingatkan, eskalasi dan ketegangan di Laut China Selatan yang akan berdampak pada Indonesia terutama di Natuna.
"Pemerintah perlu mengantisipasi pembangunan di Natuna dengan mendorong semua sektor pembangunan agar bisa sinergis. Pendekatan keamanan dan kesejahteraan mesti berjalan bersamaan di Natuna. Ini yang belum nampak," pungkasnya.
(maf)